Sejak dulu hingga sekarang manusia selalu merindukan sosok pemimpin yang berkualitas, yang sesuai dengan kriteria, dan tentunya mempunyai idealisme dalam gaya kepemimpinannya. Bagi umat Islam, sosok pemimpin yang ideal telah diteladankan oleh manusia berakhlak Al-Quran, sang rosul pilihan, Muhammad SAW. Beliau dengan cemerlang menunjukkan profil seorang pemimpin yang mampu mengemban amanahnya, dipercaya karena kejujurannya, teruji kecerdasannya dan terbukti transparansinya. Ada 4 sifat yang bisa dirumuskan dari gaya kepemimpinan Rosulullah, agar mudah mengingatnya saya buat sebuah akronim, yaitu “STAF”.
S adalah SIDIQ. Dalam konteks sederhana, sidiq dapat diartikan sebagai suatu kejujuran. Ya, kejujuran. Suatu kriteria yang sekarang ini dirindukan oleh seluruh elemen bangsa, yang sudah bosan dengan segala kebohongan, yang sudah muak melihat ‘topeng’ yang dipakai segelintir orang untuk menarik simpati masyarakat. Kejujuran adalah suatu kriteria yang selalu ada pada berbagai teori kepemimpinan. Karena tidak jujur, para pemimpin mau melakukan korupsi. Karena tidak jujur, pemimpin mau menerima suap. Karena tidak jujur, bermacam-macam pungutan liar dilakukan oleh para penegak hukum. Ada sebuah pepatah Jawa tentang kejujuran, “wong jujur bakale luhur”. Sebenarnya sejak dulu nilai kejujuran ini telah tertanam kuat di hati masyarakat. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, berkembangnya konsep bahwa suatu tujuan itu harus bisa dicapai, bagaimanapun caranya atau dalam istilah mudahnya, dengan menghalalkan segala cara. Hal ini telah menggerogoti nilai mulia kejujuran, bahkan muncul kalimat sebagai pengganti konsep pepatah Jawa yang saya sebut di atas, yaitu “wong jujur bakale ajur/ancur”. Orang yang jujur akan hancur, suatu pernyataan yang seharusnya tidak pernah ada, akan tetapi ini adalah fakta dari perkembangan dunia modern sekarang ini. Oleh karena itu, profil pemimpin yang jujur mutlak diperlukan agar dengan kejujurannya para pemimpin bisa menyentuh hati umatnya, agar bisa merubah pola pikir rakyatnya, agar dapat menghantarkan masyarakatnya menuju kemakmuran dan kesejahteraan.
T adalah TABLIGH, menyampaikan atau dalam istilah sekarang bisa disebut transparansi, keterbukaan. Bukan zamannya lagi rakyat tidak boleh ‘menyentuh’ segala sesuatu yang berbau istana, bukan eranya lagi umat ‘buta’ terhadap sistem administrasi negara. Rosulullah selalu terbuka, selalu menyampaikan wahyu yang beliau terima. Beliau juga terbuka untuk menerima pendapat dari para sahabatnya. Tanpa transparansi, bisa dilakukan berbagai penggelapan dana. Tanpa keterbukaan informasi, bisa terjadi berbagai manipulasi data. Mutlak dibutuhkan suatu keterbukaan dalam diri pemimpin, agar umatnya tahu apa yang terjadi dalam organisasinya, tahu apa yang terjadi dalam negaranya sehingga bisa memberikan kontribusi dan aspirasi positif demi kemajuan dan kemaslahatan bersama.
A adalah AMANAH, dapat dipercaya. Rosululloh dengan gemilang memberikan teladan dalam hal ini. Sejak kecil beliau telah menjadi sosok yang dapat dipercaya dalam segala hal, bahkan musuh-musuhnya pun (dalam hal ini kaum Quroisy) sangat percaya pada beliau hingga bila menitipkan suatu barang atau yang lain mereka lebih yakin bila dititipkan pada Muhammad. Sikap amanah akan menimbulkan kewibawaan bagi seorang pemimpin. Dengan adanya kewibawaan maka pemimpin akan dipatuhi oleh rakyatnya sehingga dengan ini akan lebih mudah bagi pemimpin untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk melaksanakan program-program pembangunannya.
F adalah FATHONAH. Tanpa kecerdasan sulit bagi pemimpin untuk mengatasi masalah-masalah yang ada. Nilai kecerdasan ini telah melekat dalam pribadi Rosululloh. Tanpa kecerdasan ini mustahil bagi Rosululloh menjadi pedagang sukses pada usia 25 tahun dan sekaligus mampu menikahi wanita terhormat di kalangan Quroisy, Khadijah r.a. Para sahabat juga mewarisi kecerdasan ini. Contoh kecilnya adalah kecemerlangan akal Salman Al Farisi yang mengusulkan strategi membuat parit pada perang Khandaq, padahal strategi seperti ini tidak pernah dikenal oleh bangsa Arab.
Untaian kalimat berikut cukup menggambarkan pemimpin yang ideal, yang meneladani kepribadian Rosul dan para sahabat. “Apabila ditakdirkan Allah menjadi seorang pemimpin umat, hendaknya ia berlaku amanat, berbuat adil terhadap rakyat, kasih sayang dan mencintai mereka, memenuhi kebutuhan mereka dan lebih mementingkan hajat mereka daripada urusan pribadi dan keluarganya. Seorang pemimpin umat sejati adalah manakala manusia merasa aman dari gangguan tangannya, tentram dan damai dalam hidupnya, jauh dari kerusuhan dan kekacauan, rakyat mencintainya karena keadilan dan kebijaksanaan hukumnya. Ia dicintai bukan karena harta yang dimiliki, disegani karena wibawa dan ketaqwaannya kepada Allah. Ia betanggung jawab di hadapan Allah jika ternyata ada rakyatnya yang kekurangan, hidupnya dalam ketakutan, selalu melarat dan ditimpa kemiskinan. Itulah yang dilakukan Umar bin Khatab dalam kepemimpinannya, beliau tidak tidur di malam hari, agar hak-hak Allah tidak luput darinya, begitupun di siang hari, ia tidak banyak tidur agar hak-hak rakyatnya dapat dipenuhi. Seorang pemimpin harus menjamin kebutuhan hidup rakyatnya, sandang pangannya, keamanannya, akidah dan ibadahnya, prinsip dan keyakinannya, hak bersuara dan berpendapat. Dan yang lebih penting lagi adalah memberi jaminan lima unsur pokok dalam hidupnya yaitu agamanya, akalnya, jasmaninya, kehormatan dan keturunannya. Ia selalu membersihkan diri dan kelurganya dari harta umat yang tidak halal bagi mereka. Tidak halal bagi seorang pemimpin menjadikan kekuasaan dan jabatannya sebagai jalan menumpuk harta kekayaan dan kepentingan pribadinya. Tidak halal bagi dirinya menngunakan fasilitas Negara/ milik rakyat untuk kepentingan pribadi dan keluarganya dengan cara yang tidak dibenarkan hukum dan syar’i. tidak ada nepotisme dalam kepemimpinnya, tidak juga memberikan jabatan pada orang yang rakus dan berambisi untuk mendudukinya. Ia selalu menepati janji, akad dan persetujuan yang telah disepakati dengan rakyat ataupun orang lain. Memiliki peran yang kompleks dalam seluruh aspek kehidupan bagi rakyatnya. Ia harus menghidupkan kewajiban jihad dan memberikan semangat pada umatnya untuk melaksanakannya, memberikan peringatan bagi mereka yang malas melakukannya. Memperhatikan fasilitas dan sarana Negara, terutama menyangkut kepentingan umum bagi umatnya. Bertanggung jawab atas kemakmuran negaranya. Bertanggung jawab atas berlakunya hukum-hukum Allah, bersihkan Negara dari segala bid’ah dan khurafat, terbebasnya umat dari segala bentuk kejahiliyahan dan kemaksiatan. Bertanggung jawab atas kepemimpinannya, berbaur dan menyatu bersama umatnya tanpa ada jarak yang memisahkannya. Dia dapat memberikan tauladan yang baik bagi rakyatnya tentang kehidupan keluarganya, rumah tangganya, pendidikan anak-anaknya dan qudwah dalam seluruh kepribadiannya secara umum.”*
Para sahabat telah mewarisi idealisme kepemimpinan Rosululloh Muhammad SAW. Khulafaur Roshydin yang pertama, Abu Bakar r.a. memiliki profil yang mulia sebagai seorang khalifah, pemimpin umat Islam. Beliau berjuluk Ash-Shidiq, yang jujur dan selalu mengatakan kebenaran serta tak pernah ragu dalam membela Rosululloh. Beliau mempunyai karakter-karakter unggul dalam kepemimpinannya, antara lain : sangat mencintai Rosululloh sehingga Abu Bakar juga meneladani sifat-sifat mulia Rosululloh. Selain itu, Abu Bakar adalah sahabat yang unggul dalam kebaikan, dermawan, teguh pada ajaran Rosul dan memiliki ketenangan jiwa. Kepribadian ini telah menghantarkan Abu Bakar sebagai pemimpin umat Islam yang mengukir sejarah mulia.
Bukan hanya Abu Bakar yang mempunyai karakter pemimpin ideal, tetapi juga Umar bin Khatab dengan sifat mas’uliyahnya yang tinggi, keadilannya, kecerdasannya. Begitu juga Utsman bin Affan dengan sifat saja’ahnya dan kedermawanannya. Tidak ketinggalan juga Ali bin Abi Thalib dengan kepercayaan diri dan kezuhudannya. Profil para sahabat ini telah cukup, bahkan lebih dari cukup untuk memberikan teladan bagi para pemimpin dari tingkat pemimpin organisasi sampai pemimpin negara.
Karakter umat yang heterogen dengan membawa idealisme masing-masing memang sangat membutuhkan sosok mas’ul dakwah yang mampu memahami, mampu mengerti dan paham akan apa yang dibutuhkan oleh umat serta mengetahui celah-celah untuk memasukkan nilai-nilai Keislaman.
(dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar