I. INFORMASI FILM
Judul Film : Freedom Writers
Jenis : Drama
Durasi : 120 Menit
Penulis & Sutradara : Richard Lagravenes
Produksi : Paramount Pictures.Tahun: 2007 Long Beach, California
Pemain : Hillary Swank sebagai Errin Gruwell Patrick Dempsey sebagai Scott Casey (Suami Errin) Mario sebagai Andre Brion, dll
II. SINOPSIS
Film Freedom Writers diangkat dari buku harian murid-murid yang berada di ruang 203 Woodrow Wilson H.S Long Beach, California, Amerika Serikat. Writers merupakan film yang diangkat dari kisah nyata perjuangan seorang guru di wilayah New Port Beach, Amerika Serikat dalam membangkitkan kembali semangat anak-anak didiknya untuk belajar. Dikisahkan, Erin Gruwell, seorang wanita idealis berpendidikan tinggi, datang ke Woodrow Wilson High School sebagai guru Bahasa Inggris untuk kelas khusus anak-anak korban perkelahian antargeng rasial. siswa-siswanya berasal dari berbagai daerah yang tentunya berbeda-beda ras, warna kulit, dsb. Siswa-siswa tersebut dilabeli oleh guru-guru lain dengan “tidak bisa diatur”, “tidak bisa diajari”, “tidak aman”, “penuh resiko”. Bukan tanpa alasan, siswa-siswa tersebut adalah para gangster, pengedar narkoba, dsb. Padahal waktu itu (tahun 1992-1994), juga sedang terjadi konflik rasisme di Amerika, dimana masing-masing ras, saling berusaha menyerang ataupun mempertahankan diri, wilayah, dsb. Siswa-siswa tersebut memang tidak berniat untuk bersekolah. Mereka bersekolah karena sistem yang dibuat pemerintah, membuat mereka harus sekolah. Walaupun di kelas, mereka juga tidak belajar sebagaimana mestinya. Misi Erin sangat mulia, ingin memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak bermasalah yang bahkan guru yang lebih berpengalaman pun enggan mengajar mereka. Tapi kenyataan tidak selalu seperti yang dipikirkan Erin. Di hari pertamanya mengajar, ia baru menyadari bahwa perang antargeng yang terjadi di kota tersebut juga terbawa sampai ke dalam kelas. Di dalam kelas mereka duduk berkelompok menurut ras masing-masing. Tak ada seorang pun yang mau duduk di kelompok ras yang berbeda. Kesalahpahaman kecil yang terjadi di dalam kelas bisa memicu perkelahian antarras.
Erin mencoba menaklukkan murid-muridnya dengan meminta mereka menulis semacam buku harian. Di buku harian itu, mereka boleh menulis apa pun yang mereka inginkan, rasakan, dan alami. Cara ini ternyata berhasil. Buku-buku harian dari para murid-muridnya setiap hari kembali pada Erin dengan tulisan mereka tentang apa yang mereka alami dan mereka pikirkan setiap hari.
Dari buku-buku harian itu, Erin paham bahwa dia harus membuat para muridnya sadar bahwa perang antargeng yang mereka alami bukanlah segalanya di dunia. Melalui cara mengajarnya yang unik, dia berusaha membuat para muridnya sadar bahwa dengan pendidikan mereka akan bisa mencapai kehidupan yang lebih baik.
Walaupun semua usahanya itu tidak didukung oleh rekan-rekan guru yang lain dan pihak sekolah, Erin terus maju. Bahkan, dia rela mengorbankan waktu luangnya untuk bekerja sambilan demi membeli buku-buku bacaan yang berguna bagi para muridnya. Hasilnya, semangat belajar murid-muridnya kembali muncul. Akhirnya, banyak dari murid-murid di kelas Erin Gruwell yang menjadi orang pertama dari keluarga mereka yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Buku harian yang mereka tulis diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul ‘The Freedom Writers Diary’.
Film ini juga menceritakan bagaimana proses pendidikan multikultural berlangsung dan dapat terlaksana dengan baik. Meskipun pihak sekolah yang sudah mendapat otonomi sekolah terintegrasi tidak menjalankan sistem pendidikan multikultural ini, tetapi Erin tetap menjalankannya dengan dukungan dari pihak-pihak lain. Permainan garis dan kunjungan ke museum merupakan pelatihan yang diberikan Erin kepada murid-muridnya agar lebih sadar budaya (kultur), dengan menganalisis kultur yang dipengaruhi faktor historis, sosial, dan politik sehingga membentuk pandangan mereka tentang kultur dan etnis.
Sang guru baru tersebut tentunya kelimpungan. Di hari-hari pertama pelajarannya, siswa-siswanya sama sekali terlihat tidak antusias di kelas. Datang terlambat, ramai sendiri, ngobrol sana sini, dsb. Tapi yang paling mencolok adalah konflik ras dan gangster itu tadi. Di ruangan yang sama, mereka saling menjaga jarak. Ribut, perkelahian, dan baku hantam sering terjadi di kelas ini, bahkan sering juga antar sekolah. Sang guru mau berbicara apa? Dia sama sekali tidak dianggap ada, tidak dihormati, dsb. Sampai-sampai, ada seorang siswa yang terang-terang menyampaikan bahwa mereka tidak akan hormat kepada sang guru.
Sampai pada suatu hari, ketika ada provokasi rasis di dalam kelas tersebut lagi, sang guru benar-benar sudah bosan dan muak dengan para siswanya. Sang guru menyatakan bahwa mereka (siswanya) belum ada apa-apanya. Gangster, ras, yang mereka bela mati-matian, belum ada apa-apanya dibandingkan dengan Holocaust, ketika pada Perang Dunia ke-2 Nazi Jerman membantai habis-habisan kaum Yahudi di Eropa. Di saat sedikit menjelaskan itulah, sang guru bisa mulai sedikit menarik perhatian (hati) para siswanya.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut apa itu Holocaust, sang guru memberi hadiah siswanya dengan buku-buku tulis. Para siswa tersebut dipersilahkan untuk menulis semua, apa saja, tentang kehidupan mereka masing-masing, masa lalu, sekarang, dan harapan di masa depan. Setiap pekannya akan dicek oleh sang guru. Sang guru pun akhirnya mengerti ‘kisah’ anak-anak didiknya tersebut… Di kelas pun bukan kegiatan belajar mengajar, tetapi hanya ajang bercerita (curhat) siswanya.
Di saat siswanya mulai saling terbuka (terbukti dengan mereka mau menulis), menumpahkan segala keluh-kesah, sang guru mengajak mereka berjalan-jalan ke luar kota untuk mencari tahu apa itu Holocaust. Arsip-arsip tulisan, foto, presentasi multimedia, menggugah perasaan para siswanya. Setelah itu, selain masih meneruskan tulisan mereka, mereka juga diberi bacaan baru, The Diary of Anne Frank. Sekedar untuk membandingkan kisah hidup mereka (para siswa) dengan Anne Frank (seorang anak perempuan Yahudi yang terpaksa bersembunyi dari kejaran Nazi Jerman).
Pelan-pelan para siswa yang tadinya ‘keras hati’, ‘kepala batu’, ‘tidak mau hormat’ itu terbuka hatinya dan menyadari bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah salah…
Film ini menggambarkan perjuangan guru tersebut menyentuh hati siswa-siswa yang terkenal paling bengal di distrik negara bagian tersebut. Konflik yang bertambah-tambah (konflik sang guru dengan suaminya, konflik dengan guru lainya: tidak diberi kepercayaan oleh guru2 lain, dsb) membuat sang guru harus kerja ekstra. Tapi hasilnya, guru tersebut menjadi guru paling favorit (sampai-sampai para murid ‘bengal’-nya tadi, meminta sang guru untuk tetap menjadi guru kelas mereka pada tahun-tahun berikutnya -padahal regulasi tidak memperbolehkannya).
III. KAJIAN TEORI DAN PEMBAHASAN
A. Kajian Teori
Permasalahan yang diangkat: Anti Rasisme pada siswa
Rasisme secara umum adalah pendirian yang memperlakukan orang lain secara berbeda dengan memberikan judgement nilai berdasarkan karakteristik ras, suku, sosial, dan kondisi mental tertentu yang merujuk pada self. Dalam ethnicity and racism (1990) paul spoonly merumuskan rasisme ke dalam wilayah yang lebih sempit dengan memproblematisir konsep ras. Ia meyakini bahwa ras merupakan konsepsi kolonialisme yang tumbuh berbarengan dengan semangat ekspansi wilayah bangsa eropa. Spoonly keragaman manusia yang mereka temui. Spoonley melacak kemunculan rasisme secara historis ketika bangsa Eropa berhadapan dengan keragaman manusia yang mereka temui di tanah jajahan. Keragaman itu lebih cenderung dimaknai sebagai keberbedaan.
Sejarah, demikian Spoonley, menunjukkan bahwa rasisme pada akhirnya muncul akibat kemalasan bangsa Eropa untuk mengenal orang lain yang berbeda darinya. Kemalasan ini terwujud dalam upaya bangsa Eropa, yang berkulit putuh, mengklasifikasi keragaman manusia yang ditemuinya berdasarkan karakter fisik.
Ras dan rasisme adalah sesuatu yang tidak terelakkan. Mengapa hal demikian terjadi? Ada dua teori yang menjelaskan hal ini. Pertama. Isu rasial adalah isu yang primordial, seperti halnya isu agama. Pertentangan antara ‘putih’ dan ‘hitam’, menurut Giddens, adalah simbol-simbol budaya yang berakar kuat dalam kebudayaan orang-orang kulit putih. ‘Hitam’, baik direpresentasikan lewat ‘warna’, maupun kondisi, dipandang sebagai simbol iblis yang berinkarnasi (Devils Incarnate) sejak sebelum orang-orang kulit mengadakan kontak sosial secara ekstensif dengan orang-orang kulit hitam. Teori kedua yang menjelaskan terjadinya rasisme di Amerika adalah teori racial formation. Omi dan Winant mengemukakan bahwa pemerintah federal sendirilah yang membentuk masyarakat AS menjadi masyarakat rasis. Buktinya, isu-isu rasial masih tercantum dalam dukumen-dokumen resmi pemerintah. (jurnal Studi Amerika Vol.X No.1 Januari-Juni 2005). Dalam Freedom Writers kita bisa melihat kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan yang tidak populis. Orang-orang non-white merasa didiskriminasi secara individual, institusional, dan struktural.
B. Pembahasan
Permasalahan atau analisis dalam film freedom writers:
1. Rasisme dan Gank
Isu general yang ditampilkan dalam Freedoms Writers adalah isu ras. Kita bisa melihatnya di awal film ketika seorang kerabat Eva (murid Erin keturunan Hispanic dan kulit hitam) ditembak oleh seseorang dari ras lain, dan penangkapan ayahnya oleh polisi kulit putih. Kondisi Amerika di tahun 1990-an masih kental dengan nuansa rasisme, di mana masing-masing ras saling berlomba untuk mendapatkan pengakuan. Dengan kondisi keluarga yang kacau balau, masing-masing anak melakukan pelarian dengan bergabung bersama gank yang senasib dan tentu saja beranggotakan satu ras yang sama.
Bergabungnya mereka bersama gank adalah suatu kompensasi untuk mendapatkan sebuah “kenyamanan”. Dalam film tersebut, diperlihatkan bagaimana gank tersebut menyambut anggota baru dengan cara dipukuli beramai-ramai. Itu artinya, kehidupan ras selain kulit putih di Amerika, khususnya lapisan bawah, terbilang keras. Dengan dilakukannya “inisiasi” dalam gank, mereka “belajar” untuk menghadapi kehidupan yang keras.
Kehidupan anak-anak yang berlindung di bawah naungan gank bermasalah tentu saja tidak diperlihatkan di sekolah, namun kita bisa melihat bagaimana masing-masing ras hanya berkumpul dan mengobrol dengan sesamanya. Ini menunjukkan bahwa ada rasa sentimen dalam diri masing-masing kelompok. Sekalipun sistem pendidikan di sekolah sudah sampai pada tahap reformasi penyatuan, namun hal tersebut tidak berjalan efektif, bahkan cenderung mendiskriminasi.
Kita juga bisa melihat adegan ketika seorang murid Hispanic menggambar orang kulit hitam dengan bibir tebal di kelas. Konflik terjadi, perang mulut tak bisa dihindari. Sejak saat itulah Erin menyadari bahwa murid-muridnya memiliki rasa sentimen terhadap kelompok di luar rasnya, khususnya orang kulit putih. Selain itu, kita juga bisa melihat aksi gank salah seorang murid Erin, Eva, yang kekasihnya amat benci dengan orang kulit hitam, namun tidak sengaja menembak seorang lelaki kamboja. Namun, ironisnya, lelaki kulit hitamlah yang justru dituduh pelaku penembakan.
Sebagai seorang saksi, Eva bisa saja menyelematkan kekasihnya, namun ia telah mendapatkan pelajaran berharga tentang arti “kebenaran” dan “kejujuran” dari wanita penolong “Anne Frank”. Eva pada saat itu menghadapi sebuah benturan antara idealisme dan realita. Gank baginya adalah keluarga, dan takaran ideal di mata keluarganya adalah “menyelamatkan ras” mereka sendiri walau harus menafikan kebenaran. Namun, pada akhirnya, Eva bersaksi apa adanya, dan jika saja ayahnya yang dipenjara sejak ia kecil itu bukan seseorang yang disegani di kelompok rasnya, maka ia akan menjadi korban penembakan selanjutnya.
Dari situ kita juga bisa melihat bahwa sebuah kelompok ras memiliki seorang pemimpin yang disegani. Penokohan inilah yang menyebabkan Eva lolos dari jeratan maut. Pola pikir Eva mengalami pergeseran. Darah Hispanic memang mengalir deras dalam diri Eva, tapi mengatakan kebenaran yang mengandung tanggung jawab moral jauh lebih berharga dibandingkan bersaksi palsu demi kepentingan kelompok.
2. Diskriminasi dalam Dunia Pendidikan
Ketika Erin kali pertama melihat situasi sekolah, yang dilihatnya adalah adanya perbedaan antara kelas unggulan (didominasi oleh kulit putih, dan hanya ada satu kulit hitam). Fasilitas kelasnya pun berbeda, mulai dari kursi, papan tulis, hingga buku-buku. Saya jadi teringat artikel “Savage in equality” dan “Stereotype” tentang ras di luar kulit putih. Freedom Writers menggambarkan apa yang ditulis dalam artikel-artikel tersebut.
Pemisahan kelas yang dilakukan oleh sekolah memang bukan tanpa alasan. Kebanyakan orang kulit hitam, Hispanic, Kamboja, serta ras di luar kulit putih tidak mendapatkan nilai akademis yang tinggi. Sayangnya, karena stereotipe itulah mereka tidak bisa mengasah kemampuan mereka dan tetap menjadi kaum yang termarjinalkan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Civil Right Act yang dikeluarkan pada 1964.
Dalam film tersebut ada seorang kulit putih yang secara akademis kurang, karena itu, ia bergabung bersama orang-orang dari ras lain. Sayangnya, posisi anak kulit putih itu, sungguh dilematis. Di satu sisi, ia harus bergabung karena ia tidak begitu pandai, namun di sisi lain, ia adalah orang yang berada di zona kenyamanan sebagai orang kulit putih yang tidak pernah dihantui perang dan kekerasan. Hal yang sama juga dirasakan oleh seorang anak kulit hitam yang berada di kelas orang kulit putih karena ia baik secara akademis. Sayangnya, kehadiran mereka yang minoritas membuat mereka terpojokkan, sampai-sampai anak kulit hitam yang cerdas meminta pindah ke kelas Erin.
Ada yang mengejutkan dari sekolah ini. Rupanya, kepala sekolah di mana Erin mengajar adalah orang kulit hitam. Satu hal yang saya catat, bahwasanya warga kulit hitam baru akan dipandang ketika ia adalah orang yang cerdas dan berkedudukan tinggi. Namun, fakta di lapangan, secerdas apa pun orang itu, rasa “merendahkan” masih tetap mengakar di hati orang kulit putih. Hal ini terlihat dari perkataan seorang murid kulit putih di kelas unggulan yang ditanya tentang pendapatnya mengenai orang kulit hitam. Itu yang menyebabkan seorang anak kulit hitam di kelas tersebut merasa terpojokkan dan meminta pindah kelas ke ruang 203. Jadi, secerdas apa pun orang kulit hitam, diskriminasi ras tidak bisa dielakkan, bahkan kepala sekolah yang notabene memiliki wewenang tertinggi tidak bisa berbuat apa-apa ketika Erin meminta bantuannya.
Diskriminasi ras yang dilakukan oleh pihak sekolah juga terlihat dari pemberian buku-buku teks bahan ajar. Kelas yang terdiri dari berbagai ras hanya mendapat buku-buku bekas dan usang. Sungguh amat wajar jika ketika Erin memberikan novel baru, mereka merasa “surprised”. Dalam film tersebut, ada seorang guru kulit putih yang semula menerima Erin dengan lapang, namun ketika Erin melakukan berbagai pendekatan kultural dengan anak-anak didiknya, termasuk meminta dana agar mendatangkan wanita penolong Anne Frank dan terus mengajar anak-anak didiknya sampai tingkat akhir, guru tersebut menjadi tersinggung dan merasa tidak dianggap. Itu semua tidak terlepas dari ego yang tinggi, serta pandangan guru tersebut mengenai anak-anak di luar kulit putih.
3. Pemberian Jurnal dan Cerita di Balik Itu
Anak-anak didik Erin adalah anak-anak yang selalu berada di bawah bayang-bayang perang dan berasal dari keluarga yang kacau balau. Dengan diberikannya buku jurnal, mereka merasa bisa menumpahkan emosi mereka dan bercerita tentang latar belakang keluarganya yang penuh lika-liku. Dari bagian ini, kita bisa melihat betapa pentingya media curahan hati bagi mereka. Mereka adalah kaum minoritas yang merasa terpojokkan, mereka butuh sesuatu yang bisa membuat mereka lega. Erin melakukan pendekatan yang luar biasa dengan memberikan buku jurnal tersebut.
Dari cerita-cerita mereka, kita dapat menganalisa betapa kerasnya kehidupan mereka sejak kecil. Hal inilah yang menyebabkan kepribadian mereka menjadi kasar dan cenderung memberontak. Di antara mereka bahkan ada yang memiliki senjata tajam. Entah sudah berapa banyak kawan gank-nya yang menjadi korban penembakan dari gank ras lain. Selain itu, ada juga anak yang diusir oleh orang tuanya karena bergabung bersama gank sebagai pelarian, serta cerita-cerita mengharukan lainnya.
Dari cerita-cerita mereka, dapat disimpulkan bahwa rata-rata keluarga di luar kulit putih, terutama yang berasal dari kalangan bawah, adalah keluarga yang tidak harmonis. Bukan tanpa alasan mengapa keluarga mereka demikian. Kondisi rasis yang terjadi di Amerika menyebabkan mereka saling menjatuhkan satu sama lain untuk mengklaim bahwa ras mereka adalah ras yang sepatutnya dihormati. Segregasi kultural yang terjadi di Amerika kenyataannya telah menyebabkan non-white menjadi underclasses.
4. “Anne Frank” dan Holocaust
Dalam film Freedom Writers, kita juga bisa melihat bagaimana isu tentang holocaust atau pembantaian besar-besaran Hitler terhadap kaum yahudi diangkat. Dikisahkan bahwa Erin memberikan buku tentang novel yang diadopsi dari buku diary Anne Frank kepada murid-muridnya, agar mereka bisa mengerti apa yang akan terjadi jika setiap ras mengklaim dirinyalah yang paling kuat. Mereka juga diajak mengunjungi museum, menonton film-film dokumenter, serta berbagi kisah bersama korban rasisme. Di museum itu pula mereka diperlihatkan foto-foto orang besar yang berasal dari ras mereka sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang non-white juga memiliki sejarah tersendiri dan pernah menjadi orang yang dihormati pada zamannya.
5. Keluarga Erin: Peran Suami dan Ayah
Ketika Erin disibukkan dengan aktivitasnya mengubah pola pikir anak didiknya, keutuhan rumah tangganya malah tidak bisa dipertahankan. Suami Erin yang lebih sering berada di rumah merasa dirinya yang menjadi “istri”. Sebetulnya, sang suami sebelumnya mendukung ia menjadi guru, tapi lama-kelamaan ia keberatan karena Erin tidak memiliki waktu banyak untuk melayaninya. Ternyata, pola pikir suami Erin masih seperti orang kebanyakan, cenderung rasis. Di bagian ini, kita bisa melihat kondisi yang paradoks. Di satu sisi, Erin ingin mengubah pandangan orang-orang di luar kulit putih tentang rasisme, namun di sisi lain, suaminya sendiri belum bisa berpikiran seperti itu. Bahkan, begitu mudahnya perceraian diajukan oleh sang suami. Dalam beberapa kasus, posisi laki-laki dalam rumah tangga cenderung dominan.
Pihak ayah justru sebaliknya. Ia semula tidak mendukung, namun melihat Erin bekerja mati-matian, bahkan hingga diceraikan, ia berbalik menjadi pendukung. Kita bisa melihat sikap ayah Erin yang memandang bahwa profesi “guru” bukan profesi yang istimewa dibandingkan profesi seputar bisnis. Namun, sejak Erin berhasil mendidik murid-muridnya menjadi terpelajar, saat ini, berdasarkan kisah nyata, Erin menjadi dosen di California University berkat dedikasinya yang tinggi sebagai seorang pendidik.
GEJALA YANG SERING DITEMUI DIKELAS
Sering terjadi perdebatan diantara murid ber ras kulit putih, hitam dan ras asia, mereka saling mengejek ras satu sama lain sehingga terjadi kebencian yang sangat mendalam dari masing – masing ras di klas itu. Di dalam kelas tidak ada komunukasi antara ras yang satu dengan yang lain, dalam kelas itu hanya ada komunikasi di dalam kelompok ras masing masing, sehingga ketika di dalam kelas pun mereka duduk sesuai kelompoknya masing masing dan ketika kelompok ras lain lewat atau mendekati kelompok ras lain maka yang terjadi adalah adanya ucapan-ucapan seperti mengejek dan menjelek jelekan kelompok lain. Akhirnya yang terjadi di dalam kelas pun bisa terjadi perkelahian antar ras yang satu dengan yang lain.
PENANGANAN
Metode yang dilakukan : Metode Pengkondisian kelas
Proses pendidikan multikultural berlangsung dan dapat terlaksana dengan baik. Meskipun pihak sekolah yang sudah mendapat otonomi sekolah terintegrasi tidak menjalankan sistem pendidikan multikultural ini, tetapi Erin tetap menjalankannya dengan dukungan dari pihak-pihak lain. Permainan garis dan kunjungan ke museum merupakan pelatihan yang diberikan Erin kepada murid-muridnya agar lebih sadar budaya (kultur), dengan menganalisis kultur yang dipengaruhi faktor historis, sosial. Para siswa tersebut dipersilahkan untuk menulis semua, apa saja, tentang kehidupan mereka masing-masing, masa lalu, sekarang, dan harapan di masa depan. Setiap pekannya akan dicek oleh sang guru. Sang guru pun akhirnya mengerti ‘kisah’ anak-anak didiknya tersebut… Di kelas pun bukan kegiatan belajar mengajar, tetapi hanya ajang bercerita (curhat) siswanya. Pelan-pelan para siswa yang tadinya ‘keras hati’, ‘kepala batu’, ‘tidak mau hormat’ itu terbuka hatinya dan menyadari bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah salah.
Berdasarkan kenyataan di atas, melalui upaya yang sungguh-sungguh, pemerintah dapat meredam konflik-konflik rasisme seperti yang digambarkan dalam film Freedom Writers, sekaligus mengembalikan kepercayaan masyarakat dunia terhadap Amerika yang sempat pudar karena kebijakan-kebijakannya yang tidak populis. Dengan demikian, konflik rasisme di Amerika akan berkurang secara perlahan, hingga akhirnya hilang sama sekali.
IV. KESIMPULAN
Terjadi peperangan di kota New Port Beach, Amerika. Perang antar geng sampai terbawa ke dalam kelas. Siswa dan siswi di kelas tersebut duduk berkelompok sesuai dengan rasnya masing masing sehingga Kesalahpahaman kecil yang terjadi di dalam kelas bisa memicu perkelahian antarras. Film ini menceritakan tentang pendidikan multikultural walaupun pada dasarnya otonomi sekolah tidak menjalankan pendidikan multikultural. Pada awalnya sisiwa memang tidak bisa diatur, namun ketika guru di dalam kelas mengajak siswa membandingkan masalah mereka dengan maslah lain yang lebih besar dan perang antar geng di antara mereka tidak ada apa apanya. Kemudian siswa tersebut mulai tertarik dan memperhatikan guru tersebut. Tidak hanya itu saja disini guru juga memberikan berbagai permainan, kunjungan, cerita yang menarik dan meberi buku bacaan sehingga lebih mengasyikan. Guru juga memberi reward berupa buku sebagai catatan harian siwanya. Sehingga dari situlah guru tersebut mulai paham permasalahan yang dihadapi siswa dan siswinya. Akhirnya mulai terjalain hubungan yang baik anatara siswa dan siswi di dalam kelas tersebut, mereka mulai bertegur sapa dengan yang lainnya, bekerja sama dan tidak ada lagi terlihat geng atau kelompok ras tertentu, mereka menjadi satu dalam kelas tersebut tanpa adanya perbedaan kelompok ras tertentu.
Rasisme sendiri secara umum adalah pendirian yang memperlakukanorang lain secara berbeda dengan memberikan judgment nilai berdasarkan karakteristik ras, sosial, dan kondisi mental tertentu yang merujuk pada self. Dalam ethnicity and racism (1990), Paul Spoonley merumuskan rasisme ke dalamwilayah yang lebih sempit dengan memproblematisir konsep ras. Ia meyakini bahwa ras merupakan konsepsi kolonialiasme yang tumbuh berbarengan dengan semangat ekspansi wilayah bangsa Eropa. Spoonley melacak kemunculan rasisme secara historis ketika bangsa Eropa berhadapan dengan keragaman manusia yang mereka temui di tanah jajahan. Keragaman itu lebih cenderung dimaknai sebagai keberadaan. Sejarah, demikian Spoonley, menunjukkan bahwa rasisme pada akhirnya muncul akibat kemalasan bangsa Eropa untuk mengenal orang lain yang berbeda darinya. Kemalasan ini terwujud dalam upaya bangsa Eropa, yang berkulit putih, mengklasifikasi keragaman manusia yang ditemuinya berdasarkan karakteristik fisik. Di Indonesia barangkali pemisahan konseptual antara pribumi dengan priyayi dapat dianggap berangkat dari kolonialisme dan berujung pada rasisme.
Analisis
Dilihat dari perspektif psikologi pendidikan, Erin Gruwell menggunakan pendekatan humanistik dalam pengajarannya. Adapun prinsip-prinsip humanistik antara lain :
a. Memahami manusia sebagai suatu totalitas
b. Metode yang digunakan adalah life history
c. Mengakui pentingnya personal freedom dan responsibility dalam proses pengambilan keputusan yang berlangsung sepanjang hidup.
d. Mind bersifat aktif, dinamis. Melalui mind, manusia mengekspresikan keunikan kemampuannya sebagai individu, terwujud dalam aspek kognisi, willing, dan judgement.
Berdasarkan prinsip itu, Erin ingin membuat murid-muridnya menjadi individu yang lebih baik dan saling menghormati satu sama lain dengan menggunakan berbagai metode pengajaran yang berbeda-beda dan disesuaikan dengan fenomena yang dialami murid-muridnya. Seperti saat dia membuat permainan garis, mengadakan kunjungan ke museum, dan mengundang Miep Gies.
Judul Film : Freedom Writers
Jenis : Drama
Durasi : 120 Menit
Penulis & Sutradara : Richard Lagravenes
Produksi : Paramount Pictures.Tahun: 2007 Long Beach, California
Pemain : Hillary Swank sebagai Errin Gruwell Patrick Dempsey sebagai Scott Casey (Suami Errin) Mario sebagai Andre Brion, dll
II. SINOPSIS
Film Freedom Writers diangkat dari buku harian murid-murid yang berada di ruang 203 Woodrow Wilson H.S Long Beach, California, Amerika Serikat. Writers merupakan film yang diangkat dari kisah nyata perjuangan seorang guru di wilayah New Port Beach, Amerika Serikat dalam membangkitkan kembali semangat anak-anak didiknya untuk belajar. Dikisahkan, Erin Gruwell, seorang wanita idealis berpendidikan tinggi, datang ke Woodrow Wilson High School sebagai guru Bahasa Inggris untuk kelas khusus anak-anak korban perkelahian antargeng rasial. siswa-siswanya berasal dari berbagai daerah yang tentunya berbeda-beda ras, warna kulit, dsb. Siswa-siswa tersebut dilabeli oleh guru-guru lain dengan “tidak bisa diatur”, “tidak bisa diajari”, “tidak aman”, “penuh resiko”. Bukan tanpa alasan, siswa-siswa tersebut adalah para gangster, pengedar narkoba, dsb. Padahal waktu itu (tahun 1992-1994), juga sedang terjadi konflik rasisme di Amerika, dimana masing-masing ras, saling berusaha menyerang ataupun mempertahankan diri, wilayah, dsb. Siswa-siswa tersebut memang tidak berniat untuk bersekolah. Mereka bersekolah karena sistem yang dibuat pemerintah, membuat mereka harus sekolah. Walaupun di kelas, mereka juga tidak belajar sebagaimana mestinya. Misi Erin sangat mulia, ingin memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak bermasalah yang bahkan guru yang lebih berpengalaman pun enggan mengajar mereka. Tapi kenyataan tidak selalu seperti yang dipikirkan Erin. Di hari pertamanya mengajar, ia baru menyadari bahwa perang antargeng yang terjadi di kota tersebut juga terbawa sampai ke dalam kelas. Di dalam kelas mereka duduk berkelompok menurut ras masing-masing. Tak ada seorang pun yang mau duduk di kelompok ras yang berbeda. Kesalahpahaman kecil yang terjadi di dalam kelas bisa memicu perkelahian antarras.
Erin mencoba menaklukkan murid-muridnya dengan meminta mereka menulis semacam buku harian. Di buku harian itu, mereka boleh menulis apa pun yang mereka inginkan, rasakan, dan alami. Cara ini ternyata berhasil. Buku-buku harian dari para murid-muridnya setiap hari kembali pada Erin dengan tulisan mereka tentang apa yang mereka alami dan mereka pikirkan setiap hari.
Dari buku-buku harian itu, Erin paham bahwa dia harus membuat para muridnya sadar bahwa perang antargeng yang mereka alami bukanlah segalanya di dunia. Melalui cara mengajarnya yang unik, dia berusaha membuat para muridnya sadar bahwa dengan pendidikan mereka akan bisa mencapai kehidupan yang lebih baik.
Walaupun semua usahanya itu tidak didukung oleh rekan-rekan guru yang lain dan pihak sekolah, Erin terus maju. Bahkan, dia rela mengorbankan waktu luangnya untuk bekerja sambilan demi membeli buku-buku bacaan yang berguna bagi para muridnya. Hasilnya, semangat belajar murid-muridnya kembali muncul. Akhirnya, banyak dari murid-murid di kelas Erin Gruwell yang menjadi orang pertama dari keluarga mereka yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Buku harian yang mereka tulis diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul ‘The Freedom Writers Diary’.
Film ini juga menceritakan bagaimana proses pendidikan multikultural berlangsung dan dapat terlaksana dengan baik. Meskipun pihak sekolah yang sudah mendapat otonomi sekolah terintegrasi tidak menjalankan sistem pendidikan multikultural ini, tetapi Erin tetap menjalankannya dengan dukungan dari pihak-pihak lain. Permainan garis dan kunjungan ke museum merupakan pelatihan yang diberikan Erin kepada murid-muridnya agar lebih sadar budaya (kultur), dengan menganalisis kultur yang dipengaruhi faktor historis, sosial, dan politik sehingga membentuk pandangan mereka tentang kultur dan etnis.
Sang guru baru tersebut tentunya kelimpungan. Di hari-hari pertama pelajarannya, siswa-siswanya sama sekali terlihat tidak antusias di kelas. Datang terlambat, ramai sendiri, ngobrol sana sini, dsb. Tapi yang paling mencolok adalah konflik ras dan gangster itu tadi. Di ruangan yang sama, mereka saling menjaga jarak. Ribut, perkelahian, dan baku hantam sering terjadi di kelas ini, bahkan sering juga antar sekolah. Sang guru mau berbicara apa? Dia sama sekali tidak dianggap ada, tidak dihormati, dsb. Sampai-sampai, ada seorang siswa yang terang-terang menyampaikan bahwa mereka tidak akan hormat kepada sang guru.
Sampai pada suatu hari, ketika ada provokasi rasis di dalam kelas tersebut lagi, sang guru benar-benar sudah bosan dan muak dengan para siswanya. Sang guru menyatakan bahwa mereka (siswanya) belum ada apa-apanya. Gangster, ras, yang mereka bela mati-matian, belum ada apa-apanya dibandingkan dengan Holocaust, ketika pada Perang Dunia ke-2 Nazi Jerman membantai habis-habisan kaum Yahudi di Eropa. Di saat sedikit menjelaskan itulah, sang guru bisa mulai sedikit menarik perhatian (hati) para siswanya.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut apa itu Holocaust, sang guru memberi hadiah siswanya dengan buku-buku tulis. Para siswa tersebut dipersilahkan untuk menulis semua, apa saja, tentang kehidupan mereka masing-masing, masa lalu, sekarang, dan harapan di masa depan. Setiap pekannya akan dicek oleh sang guru. Sang guru pun akhirnya mengerti ‘kisah’ anak-anak didiknya tersebut… Di kelas pun bukan kegiatan belajar mengajar, tetapi hanya ajang bercerita (curhat) siswanya.
Di saat siswanya mulai saling terbuka (terbukti dengan mereka mau menulis), menumpahkan segala keluh-kesah, sang guru mengajak mereka berjalan-jalan ke luar kota untuk mencari tahu apa itu Holocaust. Arsip-arsip tulisan, foto, presentasi multimedia, menggugah perasaan para siswanya. Setelah itu, selain masih meneruskan tulisan mereka, mereka juga diberi bacaan baru, The Diary of Anne Frank. Sekedar untuk membandingkan kisah hidup mereka (para siswa) dengan Anne Frank (seorang anak perempuan Yahudi yang terpaksa bersembunyi dari kejaran Nazi Jerman).
Pelan-pelan para siswa yang tadinya ‘keras hati’, ‘kepala batu’, ‘tidak mau hormat’ itu terbuka hatinya dan menyadari bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah salah…
Film ini menggambarkan perjuangan guru tersebut menyentuh hati siswa-siswa yang terkenal paling bengal di distrik negara bagian tersebut. Konflik yang bertambah-tambah (konflik sang guru dengan suaminya, konflik dengan guru lainya: tidak diberi kepercayaan oleh guru2 lain, dsb) membuat sang guru harus kerja ekstra. Tapi hasilnya, guru tersebut menjadi guru paling favorit (sampai-sampai para murid ‘bengal’-nya tadi, meminta sang guru untuk tetap menjadi guru kelas mereka pada tahun-tahun berikutnya -padahal regulasi tidak memperbolehkannya).
III. KAJIAN TEORI DAN PEMBAHASAN
A. Kajian Teori
Permasalahan yang diangkat: Anti Rasisme pada siswa
Rasisme secara umum adalah pendirian yang memperlakukan orang lain secara berbeda dengan memberikan judgement nilai berdasarkan karakteristik ras, suku, sosial, dan kondisi mental tertentu yang merujuk pada self. Dalam ethnicity and racism (1990) paul spoonly merumuskan rasisme ke dalam wilayah yang lebih sempit dengan memproblematisir konsep ras. Ia meyakini bahwa ras merupakan konsepsi kolonialisme yang tumbuh berbarengan dengan semangat ekspansi wilayah bangsa eropa. Spoonly keragaman manusia yang mereka temui. Spoonley melacak kemunculan rasisme secara historis ketika bangsa Eropa berhadapan dengan keragaman manusia yang mereka temui di tanah jajahan. Keragaman itu lebih cenderung dimaknai sebagai keberbedaan.
Sejarah, demikian Spoonley, menunjukkan bahwa rasisme pada akhirnya muncul akibat kemalasan bangsa Eropa untuk mengenal orang lain yang berbeda darinya. Kemalasan ini terwujud dalam upaya bangsa Eropa, yang berkulit putuh, mengklasifikasi keragaman manusia yang ditemuinya berdasarkan karakter fisik.
Ras dan rasisme adalah sesuatu yang tidak terelakkan. Mengapa hal demikian terjadi? Ada dua teori yang menjelaskan hal ini. Pertama. Isu rasial adalah isu yang primordial, seperti halnya isu agama. Pertentangan antara ‘putih’ dan ‘hitam’, menurut Giddens, adalah simbol-simbol budaya yang berakar kuat dalam kebudayaan orang-orang kulit putih. ‘Hitam’, baik direpresentasikan lewat ‘warna’, maupun kondisi, dipandang sebagai simbol iblis yang berinkarnasi (Devils Incarnate) sejak sebelum orang-orang kulit mengadakan kontak sosial secara ekstensif dengan orang-orang kulit hitam. Teori kedua yang menjelaskan terjadinya rasisme di Amerika adalah teori racial formation. Omi dan Winant mengemukakan bahwa pemerintah federal sendirilah yang membentuk masyarakat AS menjadi masyarakat rasis. Buktinya, isu-isu rasial masih tercantum dalam dukumen-dokumen resmi pemerintah. (jurnal Studi Amerika Vol.X No.1 Januari-Juni 2005). Dalam Freedom Writers kita bisa melihat kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan yang tidak populis. Orang-orang non-white merasa didiskriminasi secara individual, institusional, dan struktural.
B. Pembahasan
Permasalahan atau analisis dalam film freedom writers:
1. Rasisme dan Gank
Isu general yang ditampilkan dalam Freedoms Writers adalah isu ras. Kita bisa melihatnya di awal film ketika seorang kerabat Eva (murid Erin keturunan Hispanic dan kulit hitam) ditembak oleh seseorang dari ras lain, dan penangkapan ayahnya oleh polisi kulit putih. Kondisi Amerika di tahun 1990-an masih kental dengan nuansa rasisme, di mana masing-masing ras saling berlomba untuk mendapatkan pengakuan. Dengan kondisi keluarga yang kacau balau, masing-masing anak melakukan pelarian dengan bergabung bersama gank yang senasib dan tentu saja beranggotakan satu ras yang sama.
Bergabungnya mereka bersama gank adalah suatu kompensasi untuk mendapatkan sebuah “kenyamanan”. Dalam film tersebut, diperlihatkan bagaimana gank tersebut menyambut anggota baru dengan cara dipukuli beramai-ramai. Itu artinya, kehidupan ras selain kulit putih di Amerika, khususnya lapisan bawah, terbilang keras. Dengan dilakukannya “inisiasi” dalam gank, mereka “belajar” untuk menghadapi kehidupan yang keras.
Kehidupan anak-anak yang berlindung di bawah naungan gank bermasalah tentu saja tidak diperlihatkan di sekolah, namun kita bisa melihat bagaimana masing-masing ras hanya berkumpul dan mengobrol dengan sesamanya. Ini menunjukkan bahwa ada rasa sentimen dalam diri masing-masing kelompok. Sekalipun sistem pendidikan di sekolah sudah sampai pada tahap reformasi penyatuan, namun hal tersebut tidak berjalan efektif, bahkan cenderung mendiskriminasi.
Kita juga bisa melihat adegan ketika seorang murid Hispanic menggambar orang kulit hitam dengan bibir tebal di kelas. Konflik terjadi, perang mulut tak bisa dihindari. Sejak saat itulah Erin menyadari bahwa murid-muridnya memiliki rasa sentimen terhadap kelompok di luar rasnya, khususnya orang kulit putih. Selain itu, kita juga bisa melihat aksi gank salah seorang murid Erin, Eva, yang kekasihnya amat benci dengan orang kulit hitam, namun tidak sengaja menembak seorang lelaki kamboja. Namun, ironisnya, lelaki kulit hitamlah yang justru dituduh pelaku penembakan.
Sebagai seorang saksi, Eva bisa saja menyelematkan kekasihnya, namun ia telah mendapatkan pelajaran berharga tentang arti “kebenaran” dan “kejujuran” dari wanita penolong “Anne Frank”. Eva pada saat itu menghadapi sebuah benturan antara idealisme dan realita. Gank baginya adalah keluarga, dan takaran ideal di mata keluarganya adalah “menyelamatkan ras” mereka sendiri walau harus menafikan kebenaran. Namun, pada akhirnya, Eva bersaksi apa adanya, dan jika saja ayahnya yang dipenjara sejak ia kecil itu bukan seseorang yang disegani di kelompok rasnya, maka ia akan menjadi korban penembakan selanjutnya.
Dari situ kita juga bisa melihat bahwa sebuah kelompok ras memiliki seorang pemimpin yang disegani. Penokohan inilah yang menyebabkan Eva lolos dari jeratan maut. Pola pikir Eva mengalami pergeseran. Darah Hispanic memang mengalir deras dalam diri Eva, tapi mengatakan kebenaran yang mengandung tanggung jawab moral jauh lebih berharga dibandingkan bersaksi palsu demi kepentingan kelompok.
2. Diskriminasi dalam Dunia Pendidikan
Ketika Erin kali pertama melihat situasi sekolah, yang dilihatnya adalah adanya perbedaan antara kelas unggulan (didominasi oleh kulit putih, dan hanya ada satu kulit hitam). Fasilitas kelasnya pun berbeda, mulai dari kursi, papan tulis, hingga buku-buku. Saya jadi teringat artikel “Savage in equality” dan “Stereotype” tentang ras di luar kulit putih. Freedom Writers menggambarkan apa yang ditulis dalam artikel-artikel tersebut.
Pemisahan kelas yang dilakukan oleh sekolah memang bukan tanpa alasan. Kebanyakan orang kulit hitam, Hispanic, Kamboja, serta ras di luar kulit putih tidak mendapatkan nilai akademis yang tinggi. Sayangnya, karena stereotipe itulah mereka tidak bisa mengasah kemampuan mereka dan tetap menjadi kaum yang termarjinalkan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Civil Right Act yang dikeluarkan pada 1964.
Dalam film tersebut ada seorang kulit putih yang secara akademis kurang, karena itu, ia bergabung bersama orang-orang dari ras lain. Sayangnya, posisi anak kulit putih itu, sungguh dilematis. Di satu sisi, ia harus bergabung karena ia tidak begitu pandai, namun di sisi lain, ia adalah orang yang berada di zona kenyamanan sebagai orang kulit putih yang tidak pernah dihantui perang dan kekerasan. Hal yang sama juga dirasakan oleh seorang anak kulit hitam yang berada di kelas orang kulit putih karena ia baik secara akademis. Sayangnya, kehadiran mereka yang minoritas membuat mereka terpojokkan, sampai-sampai anak kulit hitam yang cerdas meminta pindah ke kelas Erin.
Ada yang mengejutkan dari sekolah ini. Rupanya, kepala sekolah di mana Erin mengajar adalah orang kulit hitam. Satu hal yang saya catat, bahwasanya warga kulit hitam baru akan dipandang ketika ia adalah orang yang cerdas dan berkedudukan tinggi. Namun, fakta di lapangan, secerdas apa pun orang itu, rasa “merendahkan” masih tetap mengakar di hati orang kulit putih. Hal ini terlihat dari perkataan seorang murid kulit putih di kelas unggulan yang ditanya tentang pendapatnya mengenai orang kulit hitam. Itu yang menyebabkan seorang anak kulit hitam di kelas tersebut merasa terpojokkan dan meminta pindah kelas ke ruang 203. Jadi, secerdas apa pun orang kulit hitam, diskriminasi ras tidak bisa dielakkan, bahkan kepala sekolah yang notabene memiliki wewenang tertinggi tidak bisa berbuat apa-apa ketika Erin meminta bantuannya.
Diskriminasi ras yang dilakukan oleh pihak sekolah juga terlihat dari pemberian buku-buku teks bahan ajar. Kelas yang terdiri dari berbagai ras hanya mendapat buku-buku bekas dan usang. Sungguh amat wajar jika ketika Erin memberikan novel baru, mereka merasa “surprised”. Dalam film tersebut, ada seorang guru kulit putih yang semula menerima Erin dengan lapang, namun ketika Erin melakukan berbagai pendekatan kultural dengan anak-anak didiknya, termasuk meminta dana agar mendatangkan wanita penolong Anne Frank dan terus mengajar anak-anak didiknya sampai tingkat akhir, guru tersebut menjadi tersinggung dan merasa tidak dianggap. Itu semua tidak terlepas dari ego yang tinggi, serta pandangan guru tersebut mengenai anak-anak di luar kulit putih.
3. Pemberian Jurnal dan Cerita di Balik Itu
Anak-anak didik Erin adalah anak-anak yang selalu berada di bawah bayang-bayang perang dan berasal dari keluarga yang kacau balau. Dengan diberikannya buku jurnal, mereka merasa bisa menumpahkan emosi mereka dan bercerita tentang latar belakang keluarganya yang penuh lika-liku. Dari bagian ini, kita bisa melihat betapa pentingya media curahan hati bagi mereka. Mereka adalah kaum minoritas yang merasa terpojokkan, mereka butuh sesuatu yang bisa membuat mereka lega. Erin melakukan pendekatan yang luar biasa dengan memberikan buku jurnal tersebut.
Dari cerita-cerita mereka, kita dapat menganalisa betapa kerasnya kehidupan mereka sejak kecil. Hal inilah yang menyebabkan kepribadian mereka menjadi kasar dan cenderung memberontak. Di antara mereka bahkan ada yang memiliki senjata tajam. Entah sudah berapa banyak kawan gank-nya yang menjadi korban penembakan dari gank ras lain. Selain itu, ada juga anak yang diusir oleh orang tuanya karena bergabung bersama gank sebagai pelarian, serta cerita-cerita mengharukan lainnya.
Dari cerita-cerita mereka, dapat disimpulkan bahwa rata-rata keluarga di luar kulit putih, terutama yang berasal dari kalangan bawah, adalah keluarga yang tidak harmonis. Bukan tanpa alasan mengapa keluarga mereka demikian. Kondisi rasis yang terjadi di Amerika menyebabkan mereka saling menjatuhkan satu sama lain untuk mengklaim bahwa ras mereka adalah ras yang sepatutnya dihormati. Segregasi kultural yang terjadi di Amerika kenyataannya telah menyebabkan non-white menjadi underclasses.
4. “Anne Frank” dan Holocaust
Dalam film Freedom Writers, kita juga bisa melihat bagaimana isu tentang holocaust atau pembantaian besar-besaran Hitler terhadap kaum yahudi diangkat. Dikisahkan bahwa Erin memberikan buku tentang novel yang diadopsi dari buku diary Anne Frank kepada murid-muridnya, agar mereka bisa mengerti apa yang akan terjadi jika setiap ras mengklaim dirinyalah yang paling kuat. Mereka juga diajak mengunjungi museum, menonton film-film dokumenter, serta berbagi kisah bersama korban rasisme. Di museum itu pula mereka diperlihatkan foto-foto orang besar yang berasal dari ras mereka sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang non-white juga memiliki sejarah tersendiri dan pernah menjadi orang yang dihormati pada zamannya.
5. Keluarga Erin: Peran Suami dan Ayah
Ketika Erin disibukkan dengan aktivitasnya mengubah pola pikir anak didiknya, keutuhan rumah tangganya malah tidak bisa dipertahankan. Suami Erin yang lebih sering berada di rumah merasa dirinya yang menjadi “istri”. Sebetulnya, sang suami sebelumnya mendukung ia menjadi guru, tapi lama-kelamaan ia keberatan karena Erin tidak memiliki waktu banyak untuk melayaninya. Ternyata, pola pikir suami Erin masih seperti orang kebanyakan, cenderung rasis. Di bagian ini, kita bisa melihat kondisi yang paradoks. Di satu sisi, Erin ingin mengubah pandangan orang-orang di luar kulit putih tentang rasisme, namun di sisi lain, suaminya sendiri belum bisa berpikiran seperti itu. Bahkan, begitu mudahnya perceraian diajukan oleh sang suami. Dalam beberapa kasus, posisi laki-laki dalam rumah tangga cenderung dominan.
Pihak ayah justru sebaliknya. Ia semula tidak mendukung, namun melihat Erin bekerja mati-matian, bahkan hingga diceraikan, ia berbalik menjadi pendukung. Kita bisa melihat sikap ayah Erin yang memandang bahwa profesi “guru” bukan profesi yang istimewa dibandingkan profesi seputar bisnis. Namun, sejak Erin berhasil mendidik murid-muridnya menjadi terpelajar, saat ini, berdasarkan kisah nyata, Erin menjadi dosen di California University berkat dedikasinya yang tinggi sebagai seorang pendidik.
GEJALA YANG SERING DITEMUI DIKELAS
Sering terjadi perdebatan diantara murid ber ras kulit putih, hitam dan ras asia, mereka saling mengejek ras satu sama lain sehingga terjadi kebencian yang sangat mendalam dari masing – masing ras di klas itu. Di dalam kelas tidak ada komunukasi antara ras yang satu dengan yang lain, dalam kelas itu hanya ada komunikasi di dalam kelompok ras masing masing, sehingga ketika di dalam kelas pun mereka duduk sesuai kelompoknya masing masing dan ketika kelompok ras lain lewat atau mendekati kelompok ras lain maka yang terjadi adalah adanya ucapan-ucapan seperti mengejek dan menjelek jelekan kelompok lain. Akhirnya yang terjadi di dalam kelas pun bisa terjadi perkelahian antar ras yang satu dengan yang lain.
PENANGANAN
Metode yang dilakukan : Metode Pengkondisian kelas
Proses pendidikan multikultural berlangsung dan dapat terlaksana dengan baik. Meskipun pihak sekolah yang sudah mendapat otonomi sekolah terintegrasi tidak menjalankan sistem pendidikan multikultural ini, tetapi Erin tetap menjalankannya dengan dukungan dari pihak-pihak lain. Permainan garis dan kunjungan ke museum merupakan pelatihan yang diberikan Erin kepada murid-muridnya agar lebih sadar budaya (kultur), dengan menganalisis kultur yang dipengaruhi faktor historis, sosial. Para siswa tersebut dipersilahkan untuk menulis semua, apa saja, tentang kehidupan mereka masing-masing, masa lalu, sekarang, dan harapan di masa depan. Setiap pekannya akan dicek oleh sang guru. Sang guru pun akhirnya mengerti ‘kisah’ anak-anak didiknya tersebut… Di kelas pun bukan kegiatan belajar mengajar, tetapi hanya ajang bercerita (curhat) siswanya. Pelan-pelan para siswa yang tadinya ‘keras hati’, ‘kepala batu’, ‘tidak mau hormat’ itu terbuka hatinya dan menyadari bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah salah.
Berdasarkan kenyataan di atas, melalui upaya yang sungguh-sungguh, pemerintah dapat meredam konflik-konflik rasisme seperti yang digambarkan dalam film Freedom Writers, sekaligus mengembalikan kepercayaan masyarakat dunia terhadap Amerika yang sempat pudar karena kebijakan-kebijakannya yang tidak populis. Dengan demikian, konflik rasisme di Amerika akan berkurang secara perlahan, hingga akhirnya hilang sama sekali.
IV. KESIMPULAN
Terjadi peperangan di kota New Port Beach, Amerika. Perang antar geng sampai terbawa ke dalam kelas. Siswa dan siswi di kelas tersebut duduk berkelompok sesuai dengan rasnya masing masing sehingga Kesalahpahaman kecil yang terjadi di dalam kelas bisa memicu perkelahian antarras. Film ini menceritakan tentang pendidikan multikultural walaupun pada dasarnya otonomi sekolah tidak menjalankan pendidikan multikultural. Pada awalnya sisiwa memang tidak bisa diatur, namun ketika guru di dalam kelas mengajak siswa membandingkan masalah mereka dengan maslah lain yang lebih besar dan perang antar geng di antara mereka tidak ada apa apanya. Kemudian siswa tersebut mulai tertarik dan memperhatikan guru tersebut. Tidak hanya itu saja disini guru juga memberikan berbagai permainan, kunjungan, cerita yang menarik dan meberi buku bacaan sehingga lebih mengasyikan. Guru juga memberi reward berupa buku sebagai catatan harian siwanya. Sehingga dari situlah guru tersebut mulai paham permasalahan yang dihadapi siswa dan siswinya. Akhirnya mulai terjalain hubungan yang baik anatara siswa dan siswi di dalam kelas tersebut, mereka mulai bertegur sapa dengan yang lainnya, bekerja sama dan tidak ada lagi terlihat geng atau kelompok ras tertentu, mereka menjadi satu dalam kelas tersebut tanpa adanya perbedaan kelompok ras tertentu.
Rasisme sendiri secara umum adalah pendirian yang memperlakukanorang lain secara berbeda dengan memberikan judgment nilai berdasarkan karakteristik ras, sosial, dan kondisi mental tertentu yang merujuk pada self. Dalam ethnicity and racism (1990), Paul Spoonley merumuskan rasisme ke dalamwilayah yang lebih sempit dengan memproblematisir konsep ras. Ia meyakini bahwa ras merupakan konsepsi kolonialiasme yang tumbuh berbarengan dengan semangat ekspansi wilayah bangsa Eropa. Spoonley melacak kemunculan rasisme secara historis ketika bangsa Eropa berhadapan dengan keragaman manusia yang mereka temui di tanah jajahan. Keragaman itu lebih cenderung dimaknai sebagai keberadaan. Sejarah, demikian Spoonley, menunjukkan bahwa rasisme pada akhirnya muncul akibat kemalasan bangsa Eropa untuk mengenal orang lain yang berbeda darinya. Kemalasan ini terwujud dalam upaya bangsa Eropa, yang berkulit putih, mengklasifikasi keragaman manusia yang ditemuinya berdasarkan karakteristik fisik. Di Indonesia barangkali pemisahan konseptual antara pribumi dengan priyayi dapat dianggap berangkat dari kolonialisme dan berujung pada rasisme.
Analisis
Dilihat dari perspektif psikologi pendidikan, Erin Gruwell menggunakan pendekatan humanistik dalam pengajarannya. Adapun prinsip-prinsip humanistik antara lain :
a. Memahami manusia sebagai suatu totalitas
b. Metode yang digunakan adalah life history
c. Mengakui pentingnya personal freedom dan responsibility dalam proses pengambilan keputusan yang berlangsung sepanjang hidup.
d. Mind bersifat aktif, dinamis. Melalui mind, manusia mengekspresikan keunikan kemampuannya sebagai individu, terwujud dalam aspek kognisi, willing, dan judgement.
Berdasarkan prinsip itu, Erin ingin membuat murid-muridnya menjadi individu yang lebih baik dan saling menghormati satu sama lain dengan menggunakan berbagai metode pengajaran yang berbeda-beda dan disesuaikan dengan fenomena yang dialami murid-muridnya. Seperti saat dia membuat permainan garis, mengadakan kunjungan ke museum, dan mengundang Miep Gies.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar