Rabu, 23 Februari 2011

Mengenal Lebih Dekat “Anak Luar Biasa”

Oleh: Saiful Azhar Aziz

Anak merupakan anugerah Alloh SWT. Kehadiran anak didalam sebuah keluarga bisa menjadi sebuah kebahagian, karena ia akan menjadi penerus keberlangsungan eksistensi orangtua. Namun, terkadang orangtua bisa menjadi sulit menerima kehadiran seorang anak yang tidak seperti biasanya. Seorang anak yang berbeda dengan anak-anak lainnya. Perbedaan inilah yang terkadang membuat anak-anak dilingkungannya sulit pula untuk menerimanya. Sebagian orangtua memilih untuk tidak banyak berbicara karena merasa malu dengan keadaan anaknya. Perasaan malu inilah yang membuat orangtua kehilangan kepercayaan dirinya, sehingga berdampak kepada pendidikan anak tersebut. Oleh karena itu, pada bagian pertama ini kita perlu mengetahui lebih mendalam tentang anak luar biasa. Dalam buku psikologi anak luar biasa, Sutjihati Somantri (2006) mengklasifikasikan enam katagori anak luar biasa:
1. Tunanetra (Penyandang Hambatan Penglihatan)
Individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari disebut tunanetra.

2. Tunarungu (Penyandang Hambatan Pendengaran)
Andreas Dwidjosumarto (1990:1) mengemukakan bahwa seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua katagori yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing). Tuli adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengaran tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids).

3. Tunagrahita (Penyandang Gangguan Perkembangan Intelegensi)
Anak-anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata disebut tunagrahita. Dalam kepustakaan bahasa asing digunakan istilah-istilah mental retardation, mentally retarded, mental deficiency, mental defective.
American Association of Mental Deficiency (AAMD) mendefinisikan tunagrahita sebagai berikut: “Keterbelakangan mental menunjukkan fungsi intelektual di bawah rata-rata secara jelas dengan disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan” (Kauffman dan Hallahan, 1986)

4. Tunadaksa (Penyandang Hambatan Fisik dan Gerak)
Tunadaksa berarti suatu keadaan rusak atau tergangu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir (White House Conference, 1931).

5. Tunalaras
Anak tunalaras sering juga disebut anak tunasosial, karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat, seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain.
Kauffman (1977) mengemukakan batasan mengenai anak yang mengalami gangguan perilaku “sebagai anak yang secara nyata dan menahun merespon lingkungan tanpa ada kepuasan pribadi namun masih dapat diajarkan perilaku-perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat dan dapat memuaskan pribadinya”.
Sedangkan Departemen Pendidikan Budaya (1977:13) memberikan batasan bahwa “anak yang berumur 6-17 tahun dengan karakteristik anak tersebut mengalami gangguan atau hambatan emosi dan berkelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat”.

6. Anak Berbakat
Lucito (dalam Cartwright, 1984) mengklasifikasikan definisi keberbakatan sebagai berikut:
a. Ex post facto, yang didasarkan atas penampilan prestasi yang luar biasa dalam bidang tertentu
b. Intelligence-test, yang didasarkan atas skor IQ setelah diukur oleh tes kecerdasan
c. Social, yang didasarkan atas kecakapan-kecakapan yang secara sosial dapat disetujui (diterima)
d. Percentage, yang didasarkan atas persyaratan masyarakat akan jumlah rang berbakat yang dikehendaki untuk memainkan peran-peran khusus.
e. Creativity, yang didasarkan atas perilaku dan/atau unjuk-kerja sebagaimana diukur oleh pengukuran kreativitas
Sedangkan Renzulli (1978) merumuskan keberbakatan terbentuk dari hasil interaksi tiga kluster aspek penting, yaitu: kecakapan diatas rata-rata, komitmen tugas yang tinggi, dan kreativitas. Dan Clark (1988:48) mengatakan “….creativity, the highest expression of giftedness…”
7. Anak Berkesulitan Belajar
Dalam berbagai literatur psikologi, istilah anak berkesulitan belajar lebih sering disebut kelompok learning disabilities. Siapakah yang dimaksud dengan anak berkesulitan belajar?. Mari kita amati kasus dengan ilustrasi sebagai berikut:
Lina, seorang anak perempuan berusia 9 tahun yang menunjukkan ketidakmampuan dalam berkonsentrasi terhadap pekerjaan sekolah kecuali dalam beberapa menit saja. Secara konstan dia selalu keluar dari tempat duduknya dan mengganggu temannya. Ketika dia melakukan konsentrasi, seringkali dia tertahan terhadap hal-hal detil yang tak berarti, seperti dia hanya memperhatikan bagian kecil dari gambar ketimbang memperhatikan gambar secara keseluruhan. Dia menunjukkan kekacauan di dalam permainan di lapangan. Dia tak mampu melempar atau menangkap bola dengan tepat dan terkoordinasi sebagaimana gadis lain seusianya. Dia bersifat impulsive untuk menyakiti anak lain tanpa alasan yang jelas. Lina adalah seorang anak yang berkesulitan belajar, dia tidak mampu melakukan tugas-tugas akademik dengan baik kendatipun fakta menunjukkan bahwa dia memperoleh skor inteligensi dalam rentang rata-rata.
Menurut para ahli, seperti Samuel A.Kirk (1971) dan Haring (1974), dalam buku psikologi anak luar biasa, Sutjihati Somantri (2006:195) dari kasus di atas, anak berkesulitan belajar tidak termasuk ke dalam kelompok anak luar biasa, tetapi mereka termasuk ke dalam kelompok tersendiri yang disebut learning disabilities,
Dari beberapa katagori anak luar biasa yang didefinisikan, dapat kita pahami bersama bahwa keberadaan mereka adalah nyata ditengah-tengah kehidupan kita. Di dalam Undang-undang No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 8 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa:
(1) Warga Negara yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa.
(2) Warga Negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus.
Artinya, pemerintah dan masyarakat turut serta dalam proses pendidikan mereka melalui sekolah luar biasa (SLB), maupun pendampingan di dalam lingkungan masyarakat. Pendampingan tersebut bisa dilakukan secara aktif, minimal dapat memberikan pandangan positif terhadap anak luar biasa atau memperlakukan mereka sebagaimana anak-anak lainnya.

Dari berbagai sumber
Kader IMM Djazman al-Kindi Kota YK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar