Mahasiswa dari berbagai penjuru telah memasuki kampus untuk menggapai masa depan dan harapan besar orang tuanya. Segudang impian dan harapan telah mem¬bumbung tinggi bahwa kampus adalah tem¬pat yang tepat untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan, agar kelak bisa bertambah pintar memudahkan akses untuk mendapat¬kan pekerjaan. Itulah mimpi-mimpi yang ter¬us berputar di benak kita ketika awal menjadi mahasiswa. Tidak heran banyak orang tua yang rela melakukan apa saja agar anaknya bisa kuliah, sekalipun harus membanting tulang lebih keras karena tidak kecil biaya yang dikeluarkan untuk menguliahkan anak tercinta ke perguruan tinggi.
Di Indonesia terdapat 2767 kampus ter¬diri dari 82 kampus negeri dan sisanya ada¬lah kampus swasta. Jumlah mahasiswa In¬donesia berkisar di atas 3 juta jiwa. Jika kita menginjakkan kaki di kampus saat ini (teru¬tama kampus-kampus besar), kita akan me¬nemukan sosok gedung megah plus seku¬ritinya (satpam) disana sini, tembok-tembok besar yang menghalangi, pintu gerbang yang cukup lux, mahasiswa-mahasiswinya yang ibaratnya foto model, seolah-olah sebuah mall yang menyilaukan mata kita mulai dari gedung dan isinya.
Apa yang kita lihat, ternyata jika dilihat dari biaya pendidikan juga sama halnya. Kampus menawarkan sebuah produk intelektual yang untuk membelinya harus dengan harga ma¬hal, selayaknya kita belanja di sebuah mal. Biaya pendidikan sekarang memang sangat mahal. Rata-rata SPP yang harus dibayarkan saat ini berkisar antara Rp. 600.000 sampai 1.750.000 per semester. Ini belum ditambah berbagai biaya lain seperti IOM/BPI/POM dan sejenisnya yang bisa mencapai Rp 1-2 juta per semester. Ada bahkan yang mencapai Rp 6 juta per semester. Selain itu, terdapat juga pembayaran uang pangkal (Admission fee). Di Univeritas Indonesia (UI) biayanya berkisar Rp. 5–25 juta dan Rp. 25–75 juta. Di Universitas Gadjah Mada (UGM) biayanya Rp. 20 juta. Sementara di Universitas Pad¬jajaran (Unpad), besarannya antara Rp. 7,5–150 juta. Sejak adanya sistem penerimaan mahasisa melalui jalur khusus (di luar jalur reguler) perguruan tinggi seperti UI, ITB, Un¬dip, UGM rata-rata menerima kutipan dana yang mencapai Rp. 15–150 juta. Begitu pun dikampus kita(UAD), biaya sumbangan mencapai 4-31 juta.
Biaya itu tentu masih belum keseluru¬hannya, karena kampus terkadang mener¬apkan berbagai biaya lainnya dengan dalih operasional pendidikan, seperti biaya prak¬tikum, buku, diktat dan sebagainya. Beban pembiayan semakin terasa dengan penge¬luaran biaya harian mahasiswa di luar pem¬biayan kuliah seperti kost-kostan, foto kopi, transportasi dan makan. Dengan naiknya harga BBM dan harga kebutuhan pokok, jelas sekali beban itu semakin terasa. Biaya harian sebulan dari orang tua sekitar Rp. 600 ribu sangat tidak mencukupi tentunya.
Jika kita bandingkan besarnya biaya pendidikan tinggi dengan keadaan umum rakyat Indonesia, pasti akan menimbulkan pertanyaan besar. Jumlah penduduk kurang lebih 220 juta jiwa, dengan 60 % penduduk Indonesia adalah petani, serta 25 % bek¬erja sebagai buruh. Upah petani dalam se¬hari paling tinggi Rp. 15.000 atau sekitar Rp 450.000/bulan (itupun jika setiap hari beker¬ja). Upah buruh di Jogjakarta saja Rp 586.000/bulan atau rata-rata masih di bawah 1 juta per bulan. Dengan upah segitu, sebagian be¬sar penghasilannya habis untuk memenuhi kebutuhan hariannya, belum termasuk ke¬butuhan sekolah anaknya. Pertanyaannya, mampukah mereka menyekolahkan bahkan menguliahkan anaknya? Itulah sebabnya ja¬rang kita menjumpai anak-anak buruh dan tani yang bisa berkuliah. Jangankan berku¬liah, mungkin untuk sekolah saja sudah tidak sanggup
.
Selain biaya pendidikan yang mahal, kam¬pus juga menawarkan berbagai rayuan-rayu¬an yang mampu mengilusi mahasiswa baru. Mahasiswa baru banyak dijejali propaganda-propaganda yang seringkali menyesatkan. Kampus tak ubahnya tukang obat di pinggir jalan. Melalui brosur-brosurnya, dipromosi¬kan bahwa mahasiswa akan mendapatkan fasilitas memadai seperti laboratorium, kelas yang nyaman, standar internasional, dosen bermutu hingga kemudahan mendapatkan lapangan pekerjaan. Kenyataan yang ada seringkali bertolak belakang dengan propa¬ganda yang di gembar-gemborkan di dalam iklan dan brosur-brosurnya. Ternyata laboratoriumnya tidak layak, buku perpustakaan terbatas, dos¬en sesuka hati mengajar, ruangan kelas yang disediakanpun seringkali tidak memadai untuk menampung mahasiswa sehingga membuat ketidaknyamanan mahasiswa saat mengikuti proses belajar mengajar. Hal ini diperparah dengan
Tidak hanya sebatas itu, kampus juga mengkomersilkan beberapa fasilitas yang se¬harusnya bisa digunakan mahasiswa setiap saat tanpa bayar sekalipun. Aula, Auditorium dan gelanggang olahraga saat ini tidak bisa lagi diakses gratis oleh mahasiswa. Kampus lebih senang apabila sarana-sarana umum tersebut menjadi ajang komersil untuk pesta pernika¬han, dan pentas musik komersil, daripada digunakan oleh mahasiswa untuk beraktivitas se¬cara rutin.
Apa bedanya kemudian kampus dengan mal? Memang ada bedanya, tapi hanya soal apa yang dijual. Jika mal menjual barang, maka kampus menjual jasa pendidikan alias menjual ilmu. Sesuatu yang menghinakan kiranya, karena ilmu pengetahuan derajat¬nya telah jatuh demi meraih keuntungan. Dengan menjadikan ilmu pengetahuan seba¬gai bisnis, kampus tidak lagi mencerminkan dirinya sebagai institusi pencerdasan bang¬sa, tetapi perusahaan jasa yang mengelola bisnis pendidikan. Itulah kenapa mahasiswa yang kini berkuliah rata-rata dari kalangan mampu, sementara yang miskin hanya gigit jari. Dengan sendirinya, negara dan kampus telah merampas hak rakyat untuk pendidikan dengan biaya kuliah yang mahal.
Tradisi Ilmiah Dipasung
Kampus juga telah menghilangkan tra¬disi ilmiah di kampus yang merupakan tra¬disi khas dunia pendidikan. Kita akan sering menjumpai berbagai pandangan dan doktrin-doktrin dari dosen-dosen kolot yang anti kritik, ketika mahasiswa bertanya sesuatu atau mengkritisi apa yang dipapar¬kan. Tidak jarang hasil karya mahasiswa seperti riset yang ditolak karena dinilai ter¬lalu kritis atau bahasa lazimnya tidak sesuai kaidah ilmiah. Kegiatan seperti seminar yang mengangkat Paradigma yang dibawa para intelektual seringkali doktrin-doktrin yang mewakili kepentingan penguasa. Sehingga tidak heran bahkan area se mentereng kam¬pus tidak mampu menjawab secara menda¬lam atas berbagai persoalan yang menimpa rakyat Indonesia seperti kenapa pendidikan di Indonesia semakin mahal, atau kenapa kemiskinan kian meningkat padahal negeri kita begitu kaya dan lain sebagainya, ter¬masuk didalamnya bagaimana menjawab persoalan tersebut sampai sedalam-dalam¬nya. Semua ini semakin menjelaskan bahwa kampus memang tidak diarahkan untuk un¬tuk menjawab berbagai problematika rakyat yang pada hakekatnya merupakan masalah umum bagi negara ini, padahal konon kam¬pus merupakan arena ilmiah. Lantas patutlah kita pertanyakan dimana letak keilimiahan kampus, maka akan sangat wajar sampai kapanpun kita kan tetap bahkan selamanya berkutat dengan rendahnya kualitas tenaga produktif (SDM) di Indonesia.
Hal yang harus kita soroti, sekaligus men¬jawab doktrin-doktrin usang kampus, tentang impian pasca mahasiswa akan ada jaminan atas lapangan pekerjaan yang memadai, sekaligus menjelaskan kepentingan imperi¬alisme dan feudalisme atas tenaga produktif suatu bangsa. sesungguhnya imperialisme dan feodalisme sangat takut dan tidak sama sekali menginginkan tumbuh berkembang¬nya tenaga produktif dalam negeri. Maju¬nya tenaga produktif sama saja mendorong kita untuk mendiri lepas dari pengaruh da ketergantungan negara lain. Ini sama saja akan memotong rantai penghisapan rakyat dalam negeri. Sehingga intervensi melalui pemerintah boneka terhadap sektor pendidikan termasuk di kampus untuk dapat di pastikan kepatuhannya sesuai kepentingan imperial¬isme akan dilakukan.
Seperti kepentingan imperialisme atas Upah murah untuk menjalankan industrin¬ya, ini juga sangat erat kaitannya dengan kepentingan imperialisme atas pendidikan. Sehingga pendidikan di orientasikan pada pasar tenaga kerja, yang kecendrungannya adalah tenaga yang tidak membutuhkan skil yang tinggi. Karena industri di Indonesia kebanyakan manufaktur, untuk perakitan, pengepakan yang memang tidak membutuh¬kan skill tinggi.
Menggapai Masa Depan Suram (Madesu)
Meskipun demikian, sekarang ini pen¬didikan di Indonesia tidaklah menjanjikan ketersediaan lapangan pekerjaan. Dapat di lihat dari data pemerintah, Per Pebruari 2008 pengangguran sebanyak 9.427.600 orang yang merupakan pengangguran terbuka di Indonesia, terdiri dari 4.516.100 orang ada¬lah lulusan SMA, SMK, dan Perguan Tinggi Khusus lulusan D1, D2, D3/akademi seban¬yak 519.900 orang dan Lulusan Universitas sebanyak 626.200 orang. Meningkatnya pengangguran khususnya di kalangan ma¬hasiswa saja cukup tinggi. Tahun 2007, sar¬jana yang menanggur 740.000 orang menin¬gkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 409.890 orang, dan lebih drastis tahun 2008 jika di total lulusan sarjana yang mengang¬gur 1.146.100 orang.
Hal ini telah memperlihatkan adanya ancaman bagi hari depan pemuda di Indo¬nesia, tentang tingginya biaya pendidikan di Indonesia kemudian adalah tidak adanya jaminan ketersediaan lapangan pekerjaan layak, yang bebas dari penghisapan politik upah murah, sistem kerja kontrak dan out¬sourching.
Mimpi buruk pemuda mahasiswa pada dasarnya tercipta akibat ulah pemerin¬tahan SBY-Kalla yang menjadi kaki tangan imperialisme dan feodalisme yang dalam hal ini memegang peranan penting dalam mele¬takan pondasi atas liberalisasi pendidikan. Pendidikan diserahkan kepada pasar untuk mengelolanya. Selain pemotongan sub¬sidi setahap demi setahap juga dilakukan, walaupun baru-baru ini ada pidato presiden tentang politik anggaran/fiscal yang menga¬takan pemerintah akan memenuhi amanat 20 % anggaran pendidikan atas APBN 2009, tapi itu masih sangat meragukan kebenaran¬nya. Maka dengan demikian, sesungguhnya apa yang di propagandakan presiden dalam pidatonya, itu semua tidak lebih dari akal bu¬lus tendensius SBY untuk membangun citra yang selama ini buruk bagi rakyat sekaligus sebagai investasi menuju pemilihan presiden tahun 2009.
Jika di simpulkan dengan biaya kuliah yang mahal sekali bagi rakyat Indonesia, itu mencirikan pada pendidikan telah menjadi ajang bisnis, dengan sasaran masyarakat dan mahasiswa menjadi sapi perahan yang terus-menerus di hisap. Kemudian dengan rendahnya kualitas pendidikan, itu juga men¬cirikan Pembunuhan tenaga produktif, artinya pendidikan tidak di tujukan untuk memajukan tenaga produktif yang bisa memajukan taraf kebudayaan bangsa indonesia. Pertanda buruk bagi masa depan tenaga produktif di indonesia, bahkan ini pertanda buruk bagi setiap jengkal jaminan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sesuatu yang harus kita tolak, bahkan kita lawan.
Bagi kawan-kawan mahasiswa baru, penting bagi kita untuk menyadarinya,hal yang perlu diketahui, tradisi-tradisi maha¬siswa baru, pertama yang dihadapi oleh ma¬hasiswa baru adalah prosesi Ospek. Di da¬lam ospek mahasiswa baru biasanya hanya di cekoki dengan tradisi impian-impian, sekalipun ada materi pengenalan kampus itu tidak leb¬ih dari pengenalan teritori kampus semata, serta hal-hal yang umum, itu semua semakin menjauhkan mahasiswa dari kenyataannya sebenarnya, artinya bagi tugas kita seka¬rang membuat kampus menjadi ladang ilmiah, kemudian merangkainya dengan berbagai kegiatan yang utamanya adalah menjadi¬kan kampus sebagai mimbar ilmiah, yang menceritakan secara kongkret bagaimana senyatanya keadaan Indonesia dan masa depan rakyat seluruh Indonesia termasuk masa depan pemuda mahasiswa dalam cengkeraman imperialisme dan feodalisme serta bagaimana cara kita melepaskan diri dari keadaan ini.
(Diambil dari Buletin BEM UAD 08-09)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar