TEMA : Tips Sukses Jadi Mahasiswa
JUDUL : Langkah Mengukir Prestasi Menjadi Mahasiswa Sukses
Disusun Oleh:
Nama : Muhammad Erwansyah
NIM : 09013082
Fakultas : Psikologi/IB
Dalam Rangka Memeriahkan Acara Kampoeng Seni Bersama
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan
Dengan karya kami hidup
Karena hidup harus berkarya
Renda wawasanmu dengan membaca
Ukir imajinasimu dengan menulis
Keberhasilan adalah hasil dari kerja
Yang tak berkesudahan
Tangga Menuju Keberhasilan
Buat temanku
Yang mengatakan
Wahai saudaraku! bacalah sebab
Alangkah indahnya pengetahuan
Milikilah buku, kisah dan referensi
Belanjakanlah jerih payah dan cucuran keringatmu
Bersabarlah ketika menjumpai kata-kata sulit
Buktikan kesabaranmu didalam tulisan diatas kertas
Bila ungkapanmu telah berkhianat maka robeklah kertasmu
Dan ulangilah usahamu sekali lagi
Ketika kata-kata bersorak memujamu
Hati dipenuhi kecintaan dan kasih sayang padamu
Semoga dengan ini dapat membalas
Sebagian dari jasamu atau
Mengembalikan sebagian hakmu
Wahai temanku,
Pendahuluan
Sungguh beruntung mereka yang dikaruniai Allah dengan potensi dan bakat untuk unggul. Dan lebih beruntung lagi mereka yang dikaruniai kemampuan mengoptimalkan potensi dan bakatnya sehingga menjadi manusia unggul serta prestatif.
Setiap mahasiswa pada dasarnya memiliki potensi untuk unggul. Namun, pada kenyataannya, betapa banyak pula mahasiswa yang cukup potensial tapi tidak pernah menjadi mahasiswa unggul. Betapa banyak mahasiswa yang memiliki bakat terpedam dan tetap terpendam tak tergali, karena dia tak tahu ilmu untuk mengoptimalkannya. Oleh karena itu, mungkin yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya untuk menjadi mahasiswa prestatif? Setidaknya ada lima langkah-langkah yang dapat memacu mahasiswa untuk sukses dalam ibadah, belajar dan berorganisasi.
Permasalahan
Apakah makna kesuksesan itu? Mengapa banyak para pejabat dan pengusaha kaya yang masih merasa belum sukses? Mengapa masih ada orang yang telah memiliki sederet gelar akademis merasa belum sukses juga?
Secara sederhana sukses bisa dikatakan sebagai sebuah keberhasilan akan tercapainya sesuatu yang telah ditargetkan. Sukses adalah milik semua orang, tetapi tidak semua orang tahu bagaimana cara mendapatkan atau meraih kesuksesan itu.
Untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan maka masalah yang dibahas dibatasi pada masalah langkah-langkah mengukir prestasi menjadi mahasiswa sukses dalam ibadah, belajar dan berorganisasi terkait dengan pelaksanaan progam pendidikan diperguruan tinggi maka masalah yang diidentifikasi sebagai berikut:
Bagaimanakah langkah-langkah mengukir prestasi menjadi mahasiswa sukses dalam ibadah, belajar dan berorganisasi?
Tujuan penulisan
Tujuan penulis ini adalah untuk mengetahui langkah-langkah mengukir prestasi menjadi mahasiswa sukses dalam ibadah, belajar dan berorganisasi.
Landasan Teori
Sukses menurut Dzulkifli adalah suatu usaha yang dioptimalkan yang bisa menghasilkan keberhasilan yang dicapai dengan sebuah proses (Dzulkifli:2009).
Sukses menurut Anaswati adalah suatu keberhasilan yang ditargetkan dengan usaha dan disertai dengan do’a sebagai wujud syukur kepada Tuhan (Anaswati:2009).
Sukses(dari bahasa inggris;succes) yang artinya adalah hasil baik, suatu hasil yang bisa dikatakan memuaskan dan mempunyai kriteria tertentu. (Depdibud,1998, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta; Balai Pustaka).
Sukses adalah usaha yang dioptimalkan yang bisa menghasilkan keberhasilan yang dicapai dengan sebuah proses dan kerja keras (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta; Balai Pustaka).
Pembahasan
Setidaknya ada lima langkah-langkah yang dapat memacu mahasiswa untuk sukses dalam ibadah, belajar dan berorganisasi yakni sebagai berikut:
1. Percepatan Diri
Salah satu kunci untuk memacu prestasi diri adalah kemampuan mengelola waktu. Mahasiswa yang akan unggul adalah mahasiswa yang berbuat lebih banyak dari mahasiswa lain dalam rentang waktu yang sama. Jatah waktu kita dalam sehari adalah sama yaitu 24 jam. Marilah kita mulai dari sekarang dalam waktu sama, tapi isi beda!
Yahya bin Hubairah, guru Ibnu Qayyim Al-Jauziah berkata: "Waktu adalah barang paling berharga untuk kau jaga. Menurutku, ia adalah barang yang paling mudah hilang darimu". Waktu adalah hidup kita, orang bodoh ada¬lah mereka yang diberi modal waktu namun disia-siakan."
Sosok mahasiswa Unggul pantang berbuat sia-sia. Sebaiknya kita menjaga waktu sebab semua yang kita perbuat pasti butuh waktu, sedangkan ia sangat berharga. Dalam Alquran : "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS Al Israa: 27 ).
Keunggulan itu lebih dekat dengan orang yang paling efektif dalam memanfaatkan waktu. Islam adalah agama yang sangat menekankan pentingnya waktu. Allah SWT telah mendisiplinkan kita dengan rutinitas shalat lima waktu dalam sehari-semalam. Seorang mukmin pasti terjaga dengan waktu shalatnya.
Segala bentuk kemalasan, keengganan harus dibuang jauh kalau kita ingin masa depan cerah. Bagi yang mendambakan keunggulan, ketika melihat orang lain belajar lima jam sehari, maka dia harus punya bonus waktu bela¬jar lebih dari porsi lima jam itu. Demikianlah, salah satu ciri orang yang unggul adalah memiliki kebiasaan melakukan sesuatu dimana orang lain enggan melakukannya.
Maka, tidak ada waktu yang sia-sia. Ajaran Islam sa¬ngat menghormati dan menghargai waktu serta melarang kesia-siaan. Rasulullah SAW bersabda, "Di antara tanda kebaikan akhlak manusia muslim itu adalah meninggalkan apa yang tidak perlu." (HR Turmudzi). Untuk itu, kalau kita melakukan sesuatu, pikirkan manfaatnya. Tanyakan pada nurani, "Bagaimana kalau saya mati dalam keadaan melalaikan waktu?" Naudzubillah.
2. Sistem yang Kondusif
Andaikata kita susah memiliki percepatan diri, maka kita harus masuk ke dalam sistem atau lingkungan yang membuat kita bisa bergerak lebih cepat.
Misalnya, ada dua ekor kupu-kupu. Kupu-kupu yang satu masuk kedalam mobil dan mobil pun melesat maju. Sedangkan kupu-kupu yang lain tidak masuk ke mobil, hanya terbang menggunakan sayapnya. Lalu ukur dalam waktu lima menit, mana yang lebih dulu sampai ke tujuan? Jelas akan ada beda kecepatan dan jarak tempuh yang signifikan. Kupu-kupu yang terbawa mobil tentu lebih unggul.
Tapi, kalau mobilnya berhenti atau mogok, maka mungkin yang lebih cepat adalah dengan terbang sendiri. Artinya, sistem yang kita masuki sangat mempengaruhi per¬cepatan diri. Salah dalam memilih lingkungan, akibatnya akan segera kita rasakan. Kita harus mencari sistem ling¬kungan dan teman-teman pergaulan yang berkualitas, unggul, terjaga, memiliki kehalusan budi pekerti.
Lembaga atau organisasi yang memiliki sistem yang unggul, banyak yang telah dapat membuktikan dirinya tampil dalam kehidupan bermasyarakat. Kalau ingin memiliki pribadi prestatif dan tangguh, pastikan untuk tidak salah dalam memilih pergaulan. Sebab, salah dalam memilih lingkungan, salah dalam memilih sistem, berarti telah salah dalam memilih kesuksesan. Ingatlah akan riwayat, "Bergaul dengan tukang minyak wangi akan ter¬bawa wangi dan bergaul dengan pandai besi akan terbawa bau bakaran.".
Apabila kita salah dalam memilih teman, salah dalam memilih lingkungan, salah dalam memilih sistem, berarti kita telah salah dalam memilih masa depan. Sebab bergaul dengan metal akan kebawa metal; bergaul dengan tukang pacaran akan terbawa pacaran; bergaul dengan santri akan terbawa nyantri. Begitulah. Maka, carilah lingkung¬an atau sistem yang baik, yang dapat mengkatrol tata nilai kehidupan kita menjadi lebih baik.
3. Berdaya Saing Positif
Kiat menjadi mahasiswa unggul dan sukses dalam ibadah, belajar dan berorganisasi yang ketiga adalah memiliki naluri berdaya saing positif. Dalam setiap kesempatan dan lingkungan, kita harus memiliki naluri berdaya saing posi¬tif .
Sebenarnya setiap orang memiliki naluri untuk berlomba-lomba dalam kebajikan. Celakanya, kita sering melihat pesaing kita itu sebagai musuh yang dapat merintangi kita untuk berbuat kebajikan. Melihat sesuatu yang sama atau bahkan lebih, sering dipandang sebagai sebuah ancaman. Padahal jika kita lihat hal itu dengan hati yang jernih, maka pesaing itu adalah karunia Allah yang tak ternilai.
Yang membuat kita terpuruk sebenarnya bukan musuh, tapi kualitas dan kemampuan kita sendiri yang terbatas. Tidak perlu emosional, saingan adalah aset, bukan ancaman. Kita hancur justru bisa oleh diri sendiri. Kalau niat salah, itu bisa menghancurkan. Orang yang memiliki men¬tal bersaing secara positif, justru akan menanggapi adanya saingan dengan senang hati, seolah dia mendapat sparring patner yang akan memacu kerja lebih berkualitas.
Sebuah ungkapan, "Lebih baik jadi juara kedua di antara para juara umum, daripada jadi juara pertama di antara yang lemah." Orang-orang yang suka iri hati, sebel, dongkol kepada prestasi orang lain, biasanya tidak akan unggul. Berani bersaing secara sehat dan positif adalah kunci menuju gerbang kesuksesan.
4. Mampu Bersinergi (Berjamaah)
Masih ingat kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang yang bulan Agustus 1945 luluh lantak oleh bom atom Sekutu? Ya, ingatan kita akan segera menerawang, ketika bagaimana sebuah benda yang besarnya tidak lebih dari tubuh manusia itu bisa meratakan hampir seisi kota den¬gan hanya satu kali ledakan yang sangat dahsyat.
Menurut para ahli fisika, ledakan dahsyat ini terjadi karena adanya sinergi beberapa proses berantai, yaitu sinergi antara atom satu yang bersinggungan dengan atom yang lain. Atom-atom itu saling bersinggungan satu sama lain. Dalam waktu yang beberapa detik saja jutaan bahkan miliaran atom telah saling bersinggungan menghasilkan benturan kekuatan yang sangat dahsyat.
Belajar dari fenomena atom, jika kita ingin unggul, nikmati hidup berjamaah. Kita harus senang hidup berjamaah dengan yang lain. Tapi tentu saja berjamaah dengan arti positif, karena adakalanya dalam berjamaah itu juga sal¬ing melemahkan, saling melumpuhkan.
5. Manajemen Qalbu
Tidak bisa tidak, bagi pribadi yang ingin unggul dan prestatif, maka dia harus mampu mengendalikan suasana hatinya. Rasulullah SAW bersabda, "Ingatlah dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya akan rusak pula seluruh tubuhnya. Segum¬pal daging itu bernama hati." (HR Bukhari-Muslim).
Dalam organisasi, misalnya, kita harus mampu mengelola konflik. Ingat, konflik bukan untuk dihindari atau dihilangkan. Konflik adalah untuk dikelola agar menjadi sebuah kekuatan yang positif. Banyak fakta membuktikan bahwa rubuhnya organisasi itu karena pengelolaan hati para pengurusnya kurang baik. Ingatlah pepatah, "Kekayaanku adalah hatiku, apapun yang engkau lakukan, yang penting adalah jangan kau curi hatiku."
Selamat menderita bagi orang yang busuk hati. Maka, bagi siapapun yang tidak bisa menata hati, waktu kita akan habis meladeni kebusukan hati itu. Kita akan terhambat, tidak akan berprestasi karena energi habis untuk memikirkan orang lain.
Untuk dapat mengelola hati dengan baik, maka bekal yang utama adalah ilmu, ingatlah konsep perubahan. Seseorang itu berubah bukan karena tahu, tapi karena paham. Orang bisa paham karena ada informasi atau ilmu. Bagaimana kita dapat membersihkan hati ini jika tidak tahu ilmu tentang hati?
Oleh karena itu dari sekarang sisihkanlah waktu, tenaga, biaya untuk menggali ilmu. Ingat, upaya itu selain un¬tuk tahu, adalah juga untuk paham. Setelah tahu ilmu, segera amalkan! Bagi mereka yang ahli dalam menjaga hati, insa Allah lulus menjadi pribadi unggul. Wallahu a'lam bis-shawab.
Tips dan trik sukses ibadah dan belajar
”T¬_SEVENT”
• Sikap terencana
• Sikap tenang
• Sikap terampil
• Sikap tertib
• Sikap tekun
• Sikap tegar
• Sikap tawadhu’
(Dzulkifli:2009)
Tips dan trik sukses berorganisasi
“ASSAL PD”
A: analisalah sikap anda terhadap manejemen waktu dan kenalilah sejauh mana kemampuan anda dalam mengelola waktu.
S: sadarilah nilai urgensi waktu serta sejauh mana kebutuhan anda dalam manejemen waktu.
S: susunlah skala prioritas dan jangan lupa pada kewajiban anda.
A: atasilah hal-hal yang dapat menyia nyiakan waktu anda.
L: luruskanlah persepsi anda yang keliru mengenai efisiensi waktu anda.
P: pelajarilah cara mengoptimalkan waktu santai dan waktu senggang.
D: didiklah teman teman anda dan orang orang disekitar anda untuk menghargai sebuah waktu.
(Dzulkifli:2009)
Kesimpulan
Berdasarkan uraian bahasan penulis “langkah mengukir prestasi menjadi mahasiswa sukses dalam ibadah belajar dan beroganisasi dapat disimpulkan bahwa:
Setidaknya ada 5 hal yang dapat memacu mahasiswa menjadi pribadi yang sukses ibadah, belajar dan berorganisasi serta prestatif diantaranya:
1. Percepatan diri
2. Sistem yang kondusif
3. Berdaya saing positif
4. Mampu bersinergi
5. Manajemen qolbu
Saran
Hendaknya mahasiswa bisa mengoptimalkan menjadi pribadi yang sukses ibadah, belajar dan berorganisasi serta prestatif.
DAFTAR PUSTAKA
Andreas, “Mematahkan Belenggu Motivasi” Jakarta ; Gramedia, Agustus 2003.
Depak, 1996, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta; Balai Pustaka.
Depdibud,1998, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta; Balai Pustaka.
El-Qosam Fadlan, Super Teeneger, Yogyakarta; Book Magz,2006, Cetakan-3.
Lubis Hudi Satrio, Total Motivasi, Yokyakarta; Pro You, 2009, Cetakan-3.
Manis Hoeda, Jadilah Dirimu Sendiri, Semarang; Dhara Prize, 2005, Cetakan-3.
Assalaamu'alaikum... SELAMAT DATANG DI KAWASAN PSIKOLOGI. Jalan Kapas No. 9 Kampus I UAD Yogyakarta. Bagi tmn2 yang mau nulis.. kirim aja ke Email: immpsi_uad@yahoo.com "Menolak Tunduk Bangkit Melawan, Maju Bersama IMM atau Mati Demi Islam, Teruslah Berjuang, Senyum Sapa dan Salam"
Jumat, 20 November 2009
IMM CERMINAN GENERASI MASA DEPAN
Oleh: Laeli Wahidatul Hidayati
Ikatan mahasiswa yang kemudian disingkat menjadi IMM merupakan organisasi otonom Muhammadiyah yang berada dan bergerak dalam mesyarakat mahasiswa. Ikatan ini tidek didirikan tanpa adanya faktor-faktor yang melatar belakanginya dan tak mungkin pula tanpa tujuan dan maksud tertentu. Muhammadiyah mempunyai motivasi idealis berupa dorongan untu kmengembangkan ideologi, paham dan cita-cita. Untuk merealisasikanya Muhammadiyah haruslah bersinggungan diberbagai lapisan masyarakat termasuk mahasiswa sebagai kader penerus gerakan, inilah yang menjadi faktor intrn perlunya didirikan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Pada masa dididrikanya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ini, situasi dan kondisi kehidupan di luar dan di sekitar Muhammaadiyah berkaitan erat dengan rakyat, bangsa dan negara indonesia benar-benar dalam kaedaan kritis, kondisi yang dihadapi pada waktu itu diantaranya adalah situasi pemerintahan yang menjuru pada suasana diktator , yang seolah-olah bangsa ini berada dalam pemerintahan fasis (dengan PKI-nya), merosotnya akhlak dan agama, dimana politik menjadi panglima, terjadinya ketegangan dalm bentuk intrik, teror, kecurigaan dan terbingkai-bingkainya mahasiswa, dan terbelenggunya kebebasan dan kemerdekaan berpendapat serta semakin merosotnya kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Untuk itu perlu adanya partisipasi dan peran penting di kalangan mahasiswa dalam wadah-wadah organisasi yang diharapkan dapat membantu dalam penyeleseian masalah ini, Akhirnya didirikanlah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ini pada tanggal 14 Maret 1964/29 syawal 1384 H di Yogyakarta
Seperti yang dijelaskan tadi, bahwasanya IMM ini tidak mungkin didirikan tanpa adanya maksud dan tujuan tertentu. Adapun maksud dan tujuan tersebut adalah:
1. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam
Berda’wah dan berjihad di jalan Alloh demi menegakkan islam merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Begitu pula IMM sebgai gerakan dakwah islam amar ma’ruf nahi munkar. Melihat keadaan umat islam seperti saat ini, IMM dirtuntut untuk semakin kerja ekstra dalam upaya perjuangan. Keadaan umat islam saat ini sangat kritis dan kacau. Kristenisasi semaki merajalela bahkan karena benteng keimanan masing-masing muslim tidak algi kuat, mereka justru memilih murtad dari pada harus berislam. Belum lagi masalah perbaikan aqidah dan sebagainya. Disinilah peran penting IMM sebagai gerakan islam da’wah amar ma’ruf nahi munkar harus direalisasikan.
2. Turut memelihara martabat dan membela kejayaan bangsa
IMM harus mampu ikud serta dalam menjalankan peran pentingnya sebagai mahasiswa dalam usaha pembelaan kejayaan serta martabat bangsa indonesia, hingga indonesia menjadi negara maju dan berkualitas, hingga negara-negara asing yang berambisi menguasai indonesia tak mampu melaksanakanya. Apalagi indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, maka IMM juga harus turut serta membantu dalam pengelolahan dan peningkatan mutu SDA dan SDM bangsa, agar kejayaan ii tidak lambat laun menyusut tapi justru akan semakin maju.
3. Menjadi upaya untuk menopang, melangsungkan dan meneruskan cita-cita Muhammadiyah.
IMM harus memberikan kekuatan bahkan bila mungkin, IMM harus menyempurnakanya. Kekuatan ini akan menjadi basis pendukung yang pada saatnya akan tampil menjadi init gerakan. Disinilah peran penting IMM sebagai penerus dalam memenuhi kebutuhan persyarikatan. IMM merupakan bagian dari organisasi otonom Muhammadiyah dengan basis anggota yang relatif homogen, yaitu mahasiswa. Sebagai wahana kaderisasi IMM diharapkan dapat menghasilkan komunitas kader-kader yang memiliki kualitas intelektual, kapasitas moral dan peran sosial yang memadai. Untuk itu, dalam IMM diperlukan sistem perkaderan dengan strategi yang serius, kerangka kerja serta metode yang optimal, hingga terbentklah kader yang siap berkembang sesuai dengan spesifikasi profesi yang ditekuninya, kritis, logis, terampil, dan progresif. Kualitas kader ini kemudian ditransformasikan dalam tiga lahan aktualisasi yakni: persyarikatan, umat dan bangsa.
4. Menjadi pelopor, pelangsung, dan penyempurna cita-cita pembaharuan dan amal usaha Muhammadiyah.
IMM diharapkan dapat membuka jalan, melaksanakan dan menyempurnakan cita-cita pembaharuan dan amal usaha Muhammadiyah. Hal ini berkaitan dengan semakin banyaknya pemikiran-pemikran pembaharuan tentang islam di Indonesia, pemikiran-pemikiran yang bermunculan ini terutama adalah bagaimana agar islam tetap aktif memberikan warna dalm pergulatan modernisasi. Maka IMM juga harus memberikan peran pentingnya dalam membantu mengelolah amal usaha muhammadiyah khususnya dalam bidang keagamaan,keilmuan, dan kemasyarakatan, yang kemudian diharapkan banyak melahirkan pemimpin umat, baik tingkat regional maupun nasional.
5. Membina, meningkatkan, dan memadukan iman, ilmu, serta amal dalam kehidupan bangsa, umat, dan persyarikatan
Dalam hal ini IMM sendiri harus memperbaiki dan meningkatkan kualitas iman, ilmu, dan amal dalam diri yang kemudian IMM diharapkan dapat menjadi seri tauladan bagi muslim yang lain hingga non muslim sekalipun diiringi usaha bagaimana dalam membina, meningkatkan dan memadukanya guna untuk menjadikan kehidupan bangsa, dan persyarikatan yang lebih baik.
Dari tujuan-tujuan inilah IMM dapat merealisasikan dalam bebtuk program kerja ikatan. Namun, perlu adanya penguatan terlebih dahulu dalam diri ikatan akrena semua tidak akan mampu berjalan tanpa adanya loyalitas dan semangat berjuang dari anggota sendiri. IMM juga harus mampu menjadi cerminan sebagai muslim ideal yang dapat menjadi suri tauladan yang baik bagi muslim – muslim lainya. Sebagaimana tujuan IMM yang sudah diresmikan dalam anggaran dasar IMM yaitu:” Mengusahakan terbentuknya akademisi islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah”. Adapun tujuan Muhammadiyah sendiri adlah mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya, adil, makmur, dan diridhoi Alloh Subhanallohuta’ala, Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur.
Perubahan yang begitu cepat akan kondisi sosiologi masyarakat, politik, budaya, dan intelektual menuntut IMM untuk bisa mengambil kebijakan secara cerdas dan bersifat preventif, jangan justru terhegemoni dan terlarut dalam perubahan tanpa bisa dikendalikan arah perubahan yang ada. Kemudian yang perlu diperhatikan lagi adlah identitas IMM itu sendiri yang tergabung dalam tipologi IMM yang merupakan tiga basis kerangka berfikirkader IMM yang menyatu dan tidak dapat dipisah satu sama lain aplikasinya dalam gerakan. Tipologi tersebut adalah Religiusitas (keberagamaan), Intelektualitas ( Keilmuan), dan Humanitas ( Kemasyarakatan). Gerakan-gerakan yang dilakukan tidak hanya pada satu dataran saja, misalnya dalam mengembangkan intelektualitas IMM juga harus memandang dari sisi keagamaan dan segala sesuatunya harus dikembalikan kepada dua sumber pokok yaitu Al-quran dan Assunnah agar kembali pada nilai-nilai syariat agama. Namun, religiusitas tidak terbatas hanya dengan melakukan pengajian-pengajian dalam masjid saja, religiusitas tersebut dicoba diterjemahkan dalam basis intelektualitas dan dibumikan dalm agenda-agenda kemasyarakatan. Hal inilaj yang menjadikan bahwa IMM merupakan cerminan generasi masa depan.
REFERENSI:
1. Buku saku selayang pandang IMM
2. Buku panduan Musycab IMM cabang jasman Al-kindy periode 2006-2007
3. Keputusan tanwir XVI DPP IMM 2003
4. Aktualisasi pendidikan kemuhammadiyaan dan islam. Karya : Drs. H.M Margono PS
Ikatan mahasiswa yang kemudian disingkat menjadi IMM merupakan organisasi otonom Muhammadiyah yang berada dan bergerak dalam mesyarakat mahasiswa. Ikatan ini tidek didirikan tanpa adanya faktor-faktor yang melatar belakanginya dan tak mungkin pula tanpa tujuan dan maksud tertentu. Muhammadiyah mempunyai motivasi idealis berupa dorongan untu kmengembangkan ideologi, paham dan cita-cita. Untuk merealisasikanya Muhammadiyah haruslah bersinggungan diberbagai lapisan masyarakat termasuk mahasiswa sebagai kader penerus gerakan, inilah yang menjadi faktor intrn perlunya didirikan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Pada masa dididrikanya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ini, situasi dan kondisi kehidupan di luar dan di sekitar Muhammaadiyah berkaitan erat dengan rakyat, bangsa dan negara indonesia benar-benar dalam kaedaan kritis, kondisi yang dihadapi pada waktu itu diantaranya adalah situasi pemerintahan yang menjuru pada suasana diktator , yang seolah-olah bangsa ini berada dalam pemerintahan fasis (dengan PKI-nya), merosotnya akhlak dan agama, dimana politik menjadi panglima, terjadinya ketegangan dalm bentuk intrik, teror, kecurigaan dan terbingkai-bingkainya mahasiswa, dan terbelenggunya kebebasan dan kemerdekaan berpendapat serta semakin merosotnya kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Untuk itu perlu adanya partisipasi dan peran penting di kalangan mahasiswa dalam wadah-wadah organisasi yang diharapkan dapat membantu dalam penyeleseian masalah ini, Akhirnya didirikanlah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ini pada tanggal 14 Maret 1964/29 syawal 1384 H di Yogyakarta
Seperti yang dijelaskan tadi, bahwasanya IMM ini tidak mungkin didirikan tanpa adanya maksud dan tujuan tertentu. Adapun maksud dan tujuan tersebut adalah:
1. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam
Berda’wah dan berjihad di jalan Alloh demi menegakkan islam merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Begitu pula IMM sebgai gerakan dakwah islam amar ma’ruf nahi munkar. Melihat keadaan umat islam seperti saat ini, IMM dirtuntut untuk semakin kerja ekstra dalam upaya perjuangan. Keadaan umat islam saat ini sangat kritis dan kacau. Kristenisasi semaki merajalela bahkan karena benteng keimanan masing-masing muslim tidak algi kuat, mereka justru memilih murtad dari pada harus berislam. Belum lagi masalah perbaikan aqidah dan sebagainya. Disinilah peran penting IMM sebagai gerakan islam da’wah amar ma’ruf nahi munkar harus direalisasikan.
2. Turut memelihara martabat dan membela kejayaan bangsa
IMM harus mampu ikud serta dalam menjalankan peran pentingnya sebagai mahasiswa dalam usaha pembelaan kejayaan serta martabat bangsa indonesia, hingga indonesia menjadi negara maju dan berkualitas, hingga negara-negara asing yang berambisi menguasai indonesia tak mampu melaksanakanya. Apalagi indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, maka IMM juga harus turut serta membantu dalam pengelolahan dan peningkatan mutu SDA dan SDM bangsa, agar kejayaan ii tidak lambat laun menyusut tapi justru akan semakin maju.
3. Menjadi upaya untuk menopang, melangsungkan dan meneruskan cita-cita Muhammadiyah.
IMM harus memberikan kekuatan bahkan bila mungkin, IMM harus menyempurnakanya. Kekuatan ini akan menjadi basis pendukung yang pada saatnya akan tampil menjadi init gerakan. Disinilah peran penting IMM sebagai penerus dalam memenuhi kebutuhan persyarikatan. IMM merupakan bagian dari organisasi otonom Muhammadiyah dengan basis anggota yang relatif homogen, yaitu mahasiswa. Sebagai wahana kaderisasi IMM diharapkan dapat menghasilkan komunitas kader-kader yang memiliki kualitas intelektual, kapasitas moral dan peran sosial yang memadai. Untuk itu, dalam IMM diperlukan sistem perkaderan dengan strategi yang serius, kerangka kerja serta metode yang optimal, hingga terbentklah kader yang siap berkembang sesuai dengan spesifikasi profesi yang ditekuninya, kritis, logis, terampil, dan progresif. Kualitas kader ini kemudian ditransformasikan dalam tiga lahan aktualisasi yakni: persyarikatan, umat dan bangsa.
4. Menjadi pelopor, pelangsung, dan penyempurna cita-cita pembaharuan dan amal usaha Muhammadiyah.
IMM diharapkan dapat membuka jalan, melaksanakan dan menyempurnakan cita-cita pembaharuan dan amal usaha Muhammadiyah. Hal ini berkaitan dengan semakin banyaknya pemikiran-pemikran pembaharuan tentang islam di Indonesia, pemikiran-pemikiran yang bermunculan ini terutama adalah bagaimana agar islam tetap aktif memberikan warna dalm pergulatan modernisasi. Maka IMM juga harus memberikan peran pentingnya dalam membantu mengelolah amal usaha muhammadiyah khususnya dalam bidang keagamaan,keilmuan, dan kemasyarakatan, yang kemudian diharapkan banyak melahirkan pemimpin umat, baik tingkat regional maupun nasional.
5. Membina, meningkatkan, dan memadukan iman, ilmu, serta amal dalam kehidupan bangsa, umat, dan persyarikatan
Dalam hal ini IMM sendiri harus memperbaiki dan meningkatkan kualitas iman, ilmu, dan amal dalam diri yang kemudian IMM diharapkan dapat menjadi seri tauladan bagi muslim yang lain hingga non muslim sekalipun diiringi usaha bagaimana dalam membina, meningkatkan dan memadukanya guna untuk menjadikan kehidupan bangsa, dan persyarikatan yang lebih baik.
Dari tujuan-tujuan inilah IMM dapat merealisasikan dalam bebtuk program kerja ikatan. Namun, perlu adanya penguatan terlebih dahulu dalam diri ikatan akrena semua tidak akan mampu berjalan tanpa adanya loyalitas dan semangat berjuang dari anggota sendiri. IMM juga harus mampu menjadi cerminan sebagai muslim ideal yang dapat menjadi suri tauladan yang baik bagi muslim – muslim lainya. Sebagaimana tujuan IMM yang sudah diresmikan dalam anggaran dasar IMM yaitu:” Mengusahakan terbentuknya akademisi islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah”. Adapun tujuan Muhammadiyah sendiri adlah mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya, adil, makmur, dan diridhoi Alloh Subhanallohuta’ala, Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur.
Perubahan yang begitu cepat akan kondisi sosiologi masyarakat, politik, budaya, dan intelektual menuntut IMM untuk bisa mengambil kebijakan secara cerdas dan bersifat preventif, jangan justru terhegemoni dan terlarut dalam perubahan tanpa bisa dikendalikan arah perubahan yang ada. Kemudian yang perlu diperhatikan lagi adlah identitas IMM itu sendiri yang tergabung dalam tipologi IMM yang merupakan tiga basis kerangka berfikirkader IMM yang menyatu dan tidak dapat dipisah satu sama lain aplikasinya dalam gerakan. Tipologi tersebut adalah Religiusitas (keberagamaan), Intelektualitas ( Keilmuan), dan Humanitas ( Kemasyarakatan). Gerakan-gerakan yang dilakukan tidak hanya pada satu dataran saja, misalnya dalam mengembangkan intelektualitas IMM juga harus memandang dari sisi keagamaan dan segala sesuatunya harus dikembalikan kepada dua sumber pokok yaitu Al-quran dan Assunnah agar kembali pada nilai-nilai syariat agama. Namun, religiusitas tidak terbatas hanya dengan melakukan pengajian-pengajian dalam masjid saja, religiusitas tersebut dicoba diterjemahkan dalam basis intelektualitas dan dibumikan dalm agenda-agenda kemasyarakatan. Hal inilaj yang menjadikan bahwa IMM merupakan cerminan generasi masa depan.
REFERENSI:
1. Buku saku selayang pandang IMM
2. Buku panduan Musycab IMM cabang jasman Al-kindy periode 2006-2007
3. Keputusan tanwir XVI DPP IMM 2003
4. Aktualisasi pendidikan kemuhammadiyaan dan islam. Karya : Drs. H.M Margono PS
Minggu, 15 November 2009
Menggagas Pemimpin Masa Depan
PADA tanggal 17 Mei 1956 Presiden Soekarno mendapat kehormatan untuk menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat dalam rangka kunjungan resminya ke negeri tersebut.
Sebagaimana dilaporkan dalam halaman pertama New York Times pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih Soekarno menyerang kolonialisme. Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme," kata Bung Karno, "telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad." Tetapi, tambahnya, perjuangan itu masih belum selesai. "Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bias menikmati kemerdekaan?" pekik Soekarno di depan para pendengarnya.
Menarik untuk disimak bahwa meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS). Namun, lebih menarik lagi karena pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno. Sebagaimana kita tahu, kuatnya semangat antikolonialisme dalam pidato itu bukanlah merupakan hal baru bagi Bung Karno. Bahkan sejak masa mudanya, terutama pada periode tahun 1926-1933, semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas tampak. Bisa dikatakan bahwa sikap antikolonialisme dan anti-imperialisme Soekarno pada tahun 1950-an dan selanjutnya hanyalah merupakan kelanjutan dari pemikiran-pemikiran dia waktu muda.
Anti asing dalam arti positif mungkin bisa disebut sebagai penegakan martabat dan kemandirian bangsa diseluruh dimensi kehidupan bernegara untuk menjadikan semua gerak pembangunan benar-benar murni dilakukan oleh, dari, ke dan untuk rakyat. Dengan pengertian ini, semua sumber daya, potensi dan kekayaan Indonesia hanya bisa dipergunakan dan diperuntukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Makna anti asing yang seperti ini memang telah lama hilang dari kultur pemerintahan Indonesia setidaknya sejak Suharto melancarkan ‘kudeta merangkak’ terhadap Soekarno 44 tahun yang lalu. Dengan demikian, hingga pemerintahan SBY sekalipun, jerat asing dalam pengelolaan negara masih belum terhindarkan.
Fenomena privatisasi BUMN dan aset negara lainnya menjadi salah satu ciri serius dari praktek ketergantungan dan tidak anti asing yang terus berlangusng pada pemerintahan-pemerintahan di Indonesia sejak Soekarno. Praktek ini jelas memberi dampak krusial bukan hanya pada sistematika dan pola pembangunan setiap pemerintahan yang harus terus menerus melanjutkan hutang dan pelaksanaan kontinyuitas pesanan paket-paket kebijakan lembaga keuangan internasional tapi juga menumbuhkan mentalitas elit dan birokrasi yang tidak mandiri dan bahkan koruptif. Dengan budaya yang tidak anti asing ini, Indonesia dimungkinkan diancam oleh setidaknya dua wabah yang berbahaya bagi tujuan kehidupan bangsa: ketergantungan eksternal (yang berpotensi berujung pada eksploitasi abadi) dan kerusakan internal (korupsi, rent seeker, bisnis politik dan sejenisnya).
Dahulu, ketika mahasiswa di era awal 1990-an, kami berkesimpulan bahwa terdapat hubungan yang erat antara presiden, militer dan kekuatan asing dengan sebutan makelar, centeng dan pemilik modal yang status makelar presiden bisa segera berubah menjadi real president bila ia (presiden) berani menolak ketergantungan asing dan menempatkan militer dalam kontrol sipil. Tentu saja hal tersebut tidaklah mudah, karena penempatan militer dibawah kontrol sipil saat inipun masih dihadapi oleh resistensi yang tidak kecil oleh perwira politisi (petinggi tentara yang berpolitik) antara lain dengan menghidupkan kembali fungsi-fungsi komando teritorial, intelijen, komponen cadangan dan sebagainya langsung atau tidak langsung.
Dalam beberapa fakta yang harus diuji kembali bisa disebutkan bahwa, keberadaan Free Port Amerika di tanah Papua merupakan pergulatan kompensasi panjang yang sempat tertahan di era Soekarno dan mulai terbuka di era orde baru Soeharto ditandai dengan lahirnya UU PMA 1967. Tarik ulur penyerahan Papua dari Belanda yang ditentukan Washington ke ibu pertiwi oleh Soekarno diubah menjadi salah satu simbol kran awal eksploitasi asing di Indonesia. Tak heran hingga kini Freeport masih bercokol dan memiliki konsensi setengah abadi dikawasan gunung emas tersebut, setidaknya mungkin hingga hanya tersisa beberapa gram bulir emas. Dengan bahaya yang seperti ini, mencari pemimpin yang anti asing agaknya semakin perlu dan mendesak untuk dilakukan.
Perkembangan dunia ditandai oleh arus globalisasi yang makin meluas dalam memasuki abad ke-21 yang juga disebut era Milenium Ketiga. Fenomena global itu ditandai oleh interkoneksi antar wilayah (internasional, regional, nasional, dan lokal) dan antrasektor kehidupan (politik, ekonomi, sosial, budaya, keagamaan, dan lain-lain) yang serba menyeluruh, menyatu, melintasi, dan mendunia dalam tatanan dunia yang cenderung menjadi tunggal dan membentuk global system (sistem global) dan world society (masyarakatdunia).
Terkait dengan era kesejagatan (borderless) yang melanda semua bangsa saat ini, proses penyebaran budaya global menjadi tidak terelakkan . Informasi tanpa batas merupakan ciri khas dari proses kesejagatan itu sendiri. Dalam kondisi yang demikian, proses transfer informasi dan budaya menjadi tidak terelakkan sehingga pertemuan dan persinggungan antara nilai-nilai budaya satu dengan budaya yang lainnya menjadi suatu keniscayaan. Kenyataan tersebut memaksa bangsa yang ketahanan budayanya rendah untuk mudah terjebak dan larut dengan nilai-nilai budaya baru yang nampak gemerlap; padahal, tidak semua nilai budaya tersebut selalu positif dalam konteks memajukan bangsa. Hal ini akan berbeda dengan bangsa yang berketahanan budaya tinggi yang memiliki kemampuan untuk menyeleksi nilai-nilai budaya baru yang ditawarkan sehingga mampu memaksimalkan nilai positif-produktifnya dan sedapat mungkin meminimalisir nilai negatif-destruktifnya. Oleh sebab itu, menjaga budaya dan nilai lama yang masih baik dengan senantiasa berupaya melakukan perbaikan melalui upaya pengadopsian nilai-nilai dan budaya baru yang lebih baik.
Globalisasi menawarkan tantangan sekaligus peluang sehingga kemampuan suatu bangsa untuk mengoptimalkannya akan menghasilkan percepatan kemajuan yang dasyat dan kelalaian dalam memanfaatkan globalisasi akan menjadi petaka, tersingkirkan. Berbagai perubahan di berbagai aspek kehidupan perlu ditanggapi dengan tepat dan cermat. Untuk itu diperlukan konsep baru, semangat baru, dan juga wajah baru dalam kepemimpinan bangsa. Fenomena Barrack Obama dengan The Audacity of Hope yang artinya kurang lebih mempunyai keberanian mengambil resiko untuk mewujudkan cita dan perubahan. Simbol yang dicoba ditawarkan oleh Obama adalah Brand of Change yang pada saat yang sama mampu membangun kemandirian politik termasuk dalam pendanaannya di saat harta dan kuasa demikian lengket. Demam Obama jika menang di AS akan berpengaruh pada asa kaum muda di negeri lain termasuk Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, sejarah telah membuktikan bahwa kepeloporan dan pembaharuan bangsa selalu dimotori oleh prakarsa generasi mudanya sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa kaum muda merupakan aset bangsa yang sangat berharga. Tinta emas sejarah mencatat setidaknya ada tiga peristiwa besar yang menunjukkan peran kepeloporan kaum muda dalam pembangunan bangsa. Pertama, pada tahun 1908-1928, kaum muda memainkan peran sebagai pemersatu bangsa dengan dicetuskannya Sumpah Pemuda. Kedua, pada tahun 1945-1948, dengan semangat patriotisme kaum muda mengambil peran sebagai pejuang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Ketiga, pada tahun 1966, 1974, dan 1998, kaum muda berperan sebagai kekuatan pengontrol dan lokomotif perubahan sosial. Hal ini terbukti dengan dimulainya gerakan reformasi sehingga memaksa tumbangnya rezim orde baru yang telah berkuasa lebih dari tiga dasawarsa.
Dengan demikian, sebagai aset bangsa kaum muda tidak dapat diabaikan dalam setiap proses pembangunan, termasuk dalam konteks kepemimpinan. Mengabaikan kaum muda sama artinya dengan menghentikan roda pembangunan dan memotong regenerasi kepemimpinan apalagi jika dilihat secara kuantitatif jumlah kaum muda Indonesia sangat signifikan, yaitu mencapai 80,8 juta orang yang berarti lebih dari separuh angkatan kerja nasional.
Selain itu, kaum muda muda adalah pelanjut kehidupan bangsa dan negaranya sehingga mereka harus dilibatkan sejak awal dalam setiap proses pembangunan bangsa dan negaranya. Dengan cara tersebut, kelak akan lahir pemimpin-pemimpin bangsa yang tangguh, kredibel, matang dan dapat dipercaya.
Upaya membangun generasi telah berhasil meningkatkan partisipasi kaum muda dalam kehidupan kemasyarakatan, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, bahkan dalam proses reformasi politik pada pertengahan tahun 1998 yang lalu di mana kepeloporan kaum muda menunjukkan efektivitasnya. Meskipun demikian, pencapaian tersebut masih menyisakan pekerjaan rumah yang lebih rumit dan konkret, yaitu terbatasnya kesempatan kerja sehingga melahirkan pengangguran di kalangan kaum muda. Oleh sebab itu, muncul harapan agar upaya membangun kaum muda mampu menjawab sebagian tantangan bangsa.
Harapan tersebut adalah sangat logis, mengingat kaum muda merupakan salah satu elemen bangsa yang sangat penting karena: (1) merupakan angkatan kerja produktif; dan (2) jumlahnya cukup besar, yang menurut Susenas 2006 mencapai 80,8 juta atau sekitar 36,52 persen dari jumlah total penduduk Indonesia (Susenas BPS, 2006). Dibandingkan dengan jumlah kaum muda tahun 2000 yang sebanyak 74,3 juta jiwa, maka terdapat pertambahan sebesar 6 juta jiwa. Jika dilihat menurut daerah tempat tinggal, tampak bahwa kaum muda yang tinggal di daerah perdesaan lebih banyak dibandingkan dengan yang tinggal di perkotaan, yaitu 53,72 persen berbanding 46,28 persen. Namun, bila dibandingkan dengan jumlah penduduk terlihat bahwa proporsi kaum muda di perkotaan lebih besar dibandingkan di perdesaan, yaitu 40 persen berbanding 35,1 persen. Lantas dari segi persebaran penduduk, ternyata kaum muda terkonsentrasi di propinsi Jawa dan Sumatera, yaitu Jawa Barat 14,5 juta jiwa, Jawa Timur 12,8 juta jiwa, dan Jawa Tengah 10,9 juta jiwa (Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga dan BPS, 2006).
Dengan melihat potensi jumlah kaum muda tersebut di atas, maka posisi kaum muda berada pada tempat yang sangat strategis, yaitu sebagai sumber daya manusia yang menjadi tulang punggung pembangunan dan kemajuan bangsa. Namun di sisi lain, jumlah yang besar tersebut juga mempunyai kontribusi pada angka pengangguran terbuka kaum muda. Berdasarkan data dari Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga dan BPS, pada tahun 2005 sekitar 16,67 persen kaum muda menganggur. Dari jumlah angka pengangguran kaum muda tersebut, 20,7 persen berdomisili di perkotaan, sedangkan 13,6 persen perdesaan. Artinya, pengangguran terbuka kaum muda yang terkonsentrasi di daerah perkotaan yang dapat memicu tindak kriminalitas dan kekerasan sosial. Tentunya hal ini perlu mendapat perhatian kita bersama.
Di samping masalah pengangguran, kaum muda juga menghadapi masalah lain yang tidak sederhana, yaitu belum memadainya kualitas kaum muda dalam menghadapi persaingan global yang semakin ketat di masa depan, utamanya dikaitkan dengan daya saing bangsa kita yang semakin mengkhawatirkan. Salah satu Indikator adalah indeks pertumbuhan daya saing nasional (Growth Competitiveness Index). Berdasarkan survei World Economic Forum tersebut Indonesia bertengger di peringkat ke-69 di tahun 2004, dan membaik di tahun 2007 menjadi peringkat ke-54. Meskipun secara kuantitatif mengalami kenaikan namun secara komparatif masih mencemaskan, terutama apabila dibandingkan dengan negeri jiran serumpun Malaysia yang peringkatnya semakin menanjak, yaitu dari nomor 31 pada tahun 2004 menjadi nomor 21 pada tahun 2007.
Di era kompetisi global ini, pengetahuan, keterampilan, kreatifitas, dan daya adaptasi yang tinggi serta sikap mental yang tangguh merupakan keniscayaan bagi kaum muda agar mampu bersaing. Sayangnya, prasyarat tersebut belum sepenuhnya dimiliki oleh kaum muda Indonesia yang ditandai oleh: Pertama, rendahnya tingkat pendidikan kaum muda, di mana sekitar 1,7 persen kaum muda tidak/belum sekolah. Selanjutnya, jika dilihat menurut jenjang pendidikan yang ditamatkan, masing-masing sekitar 30,8 persen, 28,59 persen, 27,11 persen, dan 4,93 persen kaum muda yang tamat SD, SLTP, SMU, dan perguruan tinggi (Susenas BPS 2006). Sementara itu, kaum muda yang tidak berpendidikan (tidak tamat SD) sekitar 8,99 persen. Kedua, masih tingginya angka pengangguran terbuka di kalangan kaum muda yang mencapai sekitar 18,67 persen (Susenas, 2006). Ketiga, adanya kecenderungan berkembangnya masalah sosial di kalangan kaum muda, seperti kriminalitas, premanisme, narkotika, psikotropika, zat adiktif (NAPZA), dan HIV/AIDS. Disorientasi tata nilai, ditambah dengan tumbuh suburnya semangat kebebasan, telah menyuburkan tumbuhnya pandangan yang serba boleh (permisif). Sikap permisif yang berlebihan akan menyulitkan upaya untuk memadukan gerak langkah usaha memajukan bangsa, juga cenderung memicu konflik diberbagai tataran kehidupan.
Meskipun sudah 64 tahun merdeka, Indonesia masih dibayangi krisis kepemimpinan masih, bahkan apabila kita introspeksi diri secara jujur, sejatinya krisis berkepanjangan yang melanda Negeri ini bermula dari krisis kepemimpinan. Dapat dikatakan, pemimpin bangsa ini sudah kehilangan ruh trilogi kepemimpinan Ki Hajar Dewantara yang meliputi: Ing Ngarso Sung Tuladha (di depan memberi contoh); Ing Madya Mangun Karsa (di tengah memberi semangat); dan Tutwuri Handayani (di belakang memberi tuntunan). Bahkan jika ditilik dari konsepsi kepemimpinan ideal junjunan Nabi Muhammad SAW semakin langka, mulai dari kejujuran (sidiq), amanah, kecerdasan (fatonah), dan komunikatif (tabligh). Dijebloskannya banyak pemimpin di semua level institusi publik -baik elit pemerintah, BUMN, swasta, LSM, Perguruan Tinggi, bahkan pemuka agama- merupakan bukti paling telanjang parahnya potret kepemimpinan bangsa.
Dalam teori organisasi, esensi dari sebuah organisasi adalah manajemen, sedangkan esensi dari manajemen adalah kepemimpinan. Roda organisasi negara-bangsa akan macet manakala dipimpin oleh seorang pemimpin yang kurang cakap (tidak fatonah). Di era globalisasi, seorang pemimpin tidak hanya membutuhkan dukungan rakyat, tapi juga profesionalisme, rasa tanggung jawab, dan sikap yang merakyat sebagaimana dirumuskan dalam konsepsi sidiq-amanah-fatonah-tablig empat belas abad yang lalu.
Krisis kepemimpinan yang saat ini terjadi, salah satunya disebabkan oleh model kepemimpinan yang bertumpu pada kharisma. Sebenarnya kharisma merupakan keunggulan alamiah yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Akan tetapi, acapkali pemimpin kharismatik cenderung menciptakan semangat primordialisme, patronase, komunalisme dan anti-kritik. Tentunya pemimpin yang primordialistik, pratnosistik, komunalistik dan anti-kritik tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang saat ini sedang kita bangun bersama.
Belajar dari pengalaman sejarah, kepemimpinan kharismatik yang anti-kritik bisa menyalahgunakan wewenang dan tanggung jawab, bahkan melanggar konstitusi. Di era persaingan global, pemimpin yang tidak bersedia menerima masukan dan kritikan akan tertinggal oleh perubahan zaman. Di sinilah urgensi kepemimpinan kaum muda, yaitu untuk melakukan perubahan secara bertahap dari model kepemimpinan kharismatik menuju model kepemimpinan yang lebih profesional, rasional, dan terbuka. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mempersiapkan pemimpin-pemimpin generasi muda yang terbebas dari semangat primordialisme dan komunalisme, serta patronase harta dan kuasa.
Menurut Folke Bernadotte Academy dari Swedia, kepemimpinan yang baik (good leadership) lebih terkait dengan kapasitas dan kapabilitas kolektif untuk menciptakan perubahan. Kapasitas tersebut tidak harus bertumpu pada individu tertentu, namun dapat juga dalam bentuk kapasitas organisasi maupun gerakan. Dengan demikian, di samping penguatan keterampilan di kalangan individu generasi muda juga perlu diperkuat institusi yang memfasilitasi pengembangan generasi muda yang meliputi antara lain: Kepanduan, kaum muda mesjid, karang taruna dan sejenisnya.
Keberhasilan ikhtiar mendorong kepemimpinan kaum muda dalam jangka panjang tidak hanya bergantung pada kepuasan masyarakat atas kiprah yang dilakukan, tetapi juga atas ketertarikan, keikutsertaan, dan dukungan dari masyarakat kepada kaum muda. Demokrasi yang sehat tergantung pada bagaimana masyarakat mendapatkan informasi yang baik dan dapat memilih pemimpin yang tepat.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat pesat telah mendorong berbagai negara untuk mengembangkan kekuatannya sehingga mampu bersaing di era global. Perubahan yang serba cepat dan persaingan yang semakin tajam menuntut sumber daya yang handal dan mampu mengantisipasi segala perubahan dan mengadaptasikan dirinya dengan perubahan tersebut.
Kaum muda sebagai tulang punggung bangsa perlu mempersiapkan dirinya agar memiliki pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan sikap mental yang positif untuk memberikan kontribusi dan mengadaptasikan dirinya secara cepat pada perubahan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Tanpa penguasaan keempat hal tersebut, maka kuantitas kaum muda Indonesia yang demikian besar tidak akan dapat memberikan kontribusi yang signifikan. Di samping kemampuan individual yang handal, generasi muda harus mampu secara kolektif untuk bekerja bersama dalam mencapai tujuannya.
Mengutip pesan intelektual terkemuka Jerman, Erich Fromm, ”Bukanlah tugas kita untuk menyelesaikan pekerjaan sampai sempurna, tetapi yang jelas kita sama sekali tidak berhak untuk tidak mengawalinya sekarang”.
Kesimpulannya adalah gagasan mengenai pemimpin masadepan perlu kita rumuskan bersama dalam wadah pendidikan dengan kriteria-kriteria yang memadai, hal itu bisa dilihat dari berbagai perjalanan pemimpin-pemimpin besar yang mampu membawa perubahan dan hal positif yang kita ambil, pemimpin yang muda, anti asing, memiliki keberanian dalam mengambil resiko untuk mengadakan suatu perubahan, mencintai keadilan dan terbiasa dengan kejujuran.
(Dari berbagai sumber)
Oleh: Saiful Azhar Aziz
Bahan Diskusi Publik "Menggagas Pemimpin Masa Depan"
di Aula Kedaulatan Rakyat, 14 November 2009
Sebagaimana dilaporkan dalam halaman pertama New York Times pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih Soekarno menyerang kolonialisme. Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme," kata Bung Karno, "telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad." Tetapi, tambahnya, perjuangan itu masih belum selesai. "Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bias menikmati kemerdekaan?" pekik Soekarno di depan para pendengarnya.
Menarik untuk disimak bahwa meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS). Namun, lebih menarik lagi karena pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno. Sebagaimana kita tahu, kuatnya semangat antikolonialisme dalam pidato itu bukanlah merupakan hal baru bagi Bung Karno. Bahkan sejak masa mudanya, terutama pada periode tahun 1926-1933, semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas tampak. Bisa dikatakan bahwa sikap antikolonialisme dan anti-imperialisme Soekarno pada tahun 1950-an dan selanjutnya hanyalah merupakan kelanjutan dari pemikiran-pemikiran dia waktu muda.
Anti asing dalam arti positif mungkin bisa disebut sebagai penegakan martabat dan kemandirian bangsa diseluruh dimensi kehidupan bernegara untuk menjadikan semua gerak pembangunan benar-benar murni dilakukan oleh, dari, ke dan untuk rakyat. Dengan pengertian ini, semua sumber daya, potensi dan kekayaan Indonesia hanya bisa dipergunakan dan diperuntukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Makna anti asing yang seperti ini memang telah lama hilang dari kultur pemerintahan Indonesia setidaknya sejak Suharto melancarkan ‘kudeta merangkak’ terhadap Soekarno 44 tahun yang lalu. Dengan demikian, hingga pemerintahan SBY sekalipun, jerat asing dalam pengelolaan negara masih belum terhindarkan.
Fenomena privatisasi BUMN dan aset negara lainnya menjadi salah satu ciri serius dari praktek ketergantungan dan tidak anti asing yang terus berlangusng pada pemerintahan-pemerintahan di Indonesia sejak Soekarno. Praktek ini jelas memberi dampak krusial bukan hanya pada sistematika dan pola pembangunan setiap pemerintahan yang harus terus menerus melanjutkan hutang dan pelaksanaan kontinyuitas pesanan paket-paket kebijakan lembaga keuangan internasional tapi juga menumbuhkan mentalitas elit dan birokrasi yang tidak mandiri dan bahkan koruptif. Dengan budaya yang tidak anti asing ini, Indonesia dimungkinkan diancam oleh setidaknya dua wabah yang berbahaya bagi tujuan kehidupan bangsa: ketergantungan eksternal (yang berpotensi berujung pada eksploitasi abadi) dan kerusakan internal (korupsi, rent seeker, bisnis politik dan sejenisnya).
Dahulu, ketika mahasiswa di era awal 1990-an, kami berkesimpulan bahwa terdapat hubungan yang erat antara presiden, militer dan kekuatan asing dengan sebutan makelar, centeng dan pemilik modal yang status makelar presiden bisa segera berubah menjadi real president bila ia (presiden) berani menolak ketergantungan asing dan menempatkan militer dalam kontrol sipil. Tentu saja hal tersebut tidaklah mudah, karena penempatan militer dibawah kontrol sipil saat inipun masih dihadapi oleh resistensi yang tidak kecil oleh perwira politisi (petinggi tentara yang berpolitik) antara lain dengan menghidupkan kembali fungsi-fungsi komando teritorial, intelijen, komponen cadangan dan sebagainya langsung atau tidak langsung.
Dalam beberapa fakta yang harus diuji kembali bisa disebutkan bahwa, keberadaan Free Port Amerika di tanah Papua merupakan pergulatan kompensasi panjang yang sempat tertahan di era Soekarno dan mulai terbuka di era orde baru Soeharto ditandai dengan lahirnya UU PMA 1967. Tarik ulur penyerahan Papua dari Belanda yang ditentukan Washington ke ibu pertiwi oleh Soekarno diubah menjadi salah satu simbol kran awal eksploitasi asing di Indonesia. Tak heran hingga kini Freeport masih bercokol dan memiliki konsensi setengah abadi dikawasan gunung emas tersebut, setidaknya mungkin hingga hanya tersisa beberapa gram bulir emas. Dengan bahaya yang seperti ini, mencari pemimpin yang anti asing agaknya semakin perlu dan mendesak untuk dilakukan.
Perkembangan dunia ditandai oleh arus globalisasi yang makin meluas dalam memasuki abad ke-21 yang juga disebut era Milenium Ketiga. Fenomena global itu ditandai oleh interkoneksi antar wilayah (internasional, regional, nasional, dan lokal) dan antrasektor kehidupan (politik, ekonomi, sosial, budaya, keagamaan, dan lain-lain) yang serba menyeluruh, menyatu, melintasi, dan mendunia dalam tatanan dunia yang cenderung menjadi tunggal dan membentuk global system (sistem global) dan world society (masyarakatdunia).
Terkait dengan era kesejagatan (borderless) yang melanda semua bangsa saat ini, proses penyebaran budaya global menjadi tidak terelakkan . Informasi tanpa batas merupakan ciri khas dari proses kesejagatan itu sendiri. Dalam kondisi yang demikian, proses transfer informasi dan budaya menjadi tidak terelakkan sehingga pertemuan dan persinggungan antara nilai-nilai budaya satu dengan budaya yang lainnya menjadi suatu keniscayaan. Kenyataan tersebut memaksa bangsa yang ketahanan budayanya rendah untuk mudah terjebak dan larut dengan nilai-nilai budaya baru yang nampak gemerlap; padahal, tidak semua nilai budaya tersebut selalu positif dalam konteks memajukan bangsa. Hal ini akan berbeda dengan bangsa yang berketahanan budaya tinggi yang memiliki kemampuan untuk menyeleksi nilai-nilai budaya baru yang ditawarkan sehingga mampu memaksimalkan nilai positif-produktifnya dan sedapat mungkin meminimalisir nilai negatif-destruktifnya. Oleh sebab itu, menjaga budaya dan nilai lama yang masih baik dengan senantiasa berupaya melakukan perbaikan melalui upaya pengadopsian nilai-nilai dan budaya baru yang lebih baik.
Globalisasi menawarkan tantangan sekaligus peluang sehingga kemampuan suatu bangsa untuk mengoptimalkannya akan menghasilkan percepatan kemajuan yang dasyat dan kelalaian dalam memanfaatkan globalisasi akan menjadi petaka, tersingkirkan. Berbagai perubahan di berbagai aspek kehidupan perlu ditanggapi dengan tepat dan cermat. Untuk itu diperlukan konsep baru, semangat baru, dan juga wajah baru dalam kepemimpinan bangsa. Fenomena Barrack Obama dengan The Audacity of Hope yang artinya kurang lebih mempunyai keberanian mengambil resiko untuk mewujudkan cita dan perubahan. Simbol yang dicoba ditawarkan oleh Obama adalah Brand of Change yang pada saat yang sama mampu membangun kemandirian politik termasuk dalam pendanaannya di saat harta dan kuasa demikian lengket. Demam Obama jika menang di AS akan berpengaruh pada asa kaum muda di negeri lain termasuk Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, sejarah telah membuktikan bahwa kepeloporan dan pembaharuan bangsa selalu dimotori oleh prakarsa generasi mudanya sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa kaum muda merupakan aset bangsa yang sangat berharga. Tinta emas sejarah mencatat setidaknya ada tiga peristiwa besar yang menunjukkan peran kepeloporan kaum muda dalam pembangunan bangsa. Pertama, pada tahun 1908-1928, kaum muda memainkan peran sebagai pemersatu bangsa dengan dicetuskannya Sumpah Pemuda. Kedua, pada tahun 1945-1948, dengan semangat patriotisme kaum muda mengambil peran sebagai pejuang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Ketiga, pada tahun 1966, 1974, dan 1998, kaum muda berperan sebagai kekuatan pengontrol dan lokomotif perubahan sosial. Hal ini terbukti dengan dimulainya gerakan reformasi sehingga memaksa tumbangnya rezim orde baru yang telah berkuasa lebih dari tiga dasawarsa.
Dengan demikian, sebagai aset bangsa kaum muda tidak dapat diabaikan dalam setiap proses pembangunan, termasuk dalam konteks kepemimpinan. Mengabaikan kaum muda sama artinya dengan menghentikan roda pembangunan dan memotong regenerasi kepemimpinan apalagi jika dilihat secara kuantitatif jumlah kaum muda Indonesia sangat signifikan, yaitu mencapai 80,8 juta orang yang berarti lebih dari separuh angkatan kerja nasional.
Selain itu, kaum muda muda adalah pelanjut kehidupan bangsa dan negaranya sehingga mereka harus dilibatkan sejak awal dalam setiap proses pembangunan bangsa dan negaranya. Dengan cara tersebut, kelak akan lahir pemimpin-pemimpin bangsa yang tangguh, kredibel, matang dan dapat dipercaya.
Upaya membangun generasi telah berhasil meningkatkan partisipasi kaum muda dalam kehidupan kemasyarakatan, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, bahkan dalam proses reformasi politik pada pertengahan tahun 1998 yang lalu di mana kepeloporan kaum muda menunjukkan efektivitasnya. Meskipun demikian, pencapaian tersebut masih menyisakan pekerjaan rumah yang lebih rumit dan konkret, yaitu terbatasnya kesempatan kerja sehingga melahirkan pengangguran di kalangan kaum muda. Oleh sebab itu, muncul harapan agar upaya membangun kaum muda mampu menjawab sebagian tantangan bangsa.
Harapan tersebut adalah sangat logis, mengingat kaum muda merupakan salah satu elemen bangsa yang sangat penting karena: (1) merupakan angkatan kerja produktif; dan (2) jumlahnya cukup besar, yang menurut Susenas 2006 mencapai 80,8 juta atau sekitar 36,52 persen dari jumlah total penduduk Indonesia (Susenas BPS, 2006). Dibandingkan dengan jumlah kaum muda tahun 2000 yang sebanyak 74,3 juta jiwa, maka terdapat pertambahan sebesar 6 juta jiwa. Jika dilihat menurut daerah tempat tinggal, tampak bahwa kaum muda yang tinggal di daerah perdesaan lebih banyak dibandingkan dengan yang tinggal di perkotaan, yaitu 53,72 persen berbanding 46,28 persen. Namun, bila dibandingkan dengan jumlah penduduk terlihat bahwa proporsi kaum muda di perkotaan lebih besar dibandingkan di perdesaan, yaitu 40 persen berbanding 35,1 persen. Lantas dari segi persebaran penduduk, ternyata kaum muda terkonsentrasi di propinsi Jawa dan Sumatera, yaitu Jawa Barat 14,5 juta jiwa, Jawa Timur 12,8 juta jiwa, dan Jawa Tengah 10,9 juta jiwa (Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga dan BPS, 2006).
Dengan melihat potensi jumlah kaum muda tersebut di atas, maka posisi kaum muda berada pada tempat yang sangat strategis, yaitu sebagai sumber daya manusia yang menjadi tulang punggung pembangunan dan kemajuan bangsa. Namun di sisi lain, jumlah yang besar tersebut juga mempunyai kontribusi pada angka pengangguran terbuka kaum muda. Berdasarkan data dari Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga dan BPS, pada tahun 2005 sekitar 16,67 persen kaum muda menganggur. Dari jumlah angka pengangguran kaum muda tersebut, 20,7 persen berdomisili di perkotaan, sedangkan 13,6 persen perdesaan. Artinya, pengangguran terbuka kaum muda yang terkonsentrasi di daerah perkotaan yang dapat memicu tindak kriminalitas dan kekerasan sosial. Tentunya hal ini perlu mendapat perhatian kita bersama.
Di samping masalah pengangguran, kaum muda juga menghadapi masalah lain yang tidak sederhana, yaitu belum memadainya kualitas kaum muda dalam menghadapi persaingan global yang semakin ketat di masa depan, utamanya dikaitkan dengan daya saing bangsa kita yang semakin mengkhawatirkan. Salah satu Indikator adalah indeks pertumbuhan daya saing nasional (Growth Competitiveness Index). Berdasarkan survei World Economic Forum tersebut Indonesia bertengger di peringkat ke-69 di tahun 2004, dan membaik di tahun 2007 menjadi peringkat ke-54. Meskipun secara kuantitatif mengalami kenaikan namun secara komparatif masih mencemaskan, terutama apabila dibandingkan dengan negeri jiran serumpun Malaysia yang peringkatnya semakin menanjak, yaitu dari nomor 31 pada tahun 2004 menjadi nomor 21 pada tahun 2007.
Di era kompetisi global ini, pengetahuan, keterampilan, kreatifitas, dan daya adaptasi yang tinggi serta sikap mental yang tangguh merupakan keniscayaan bagi kaum muda agar mampu bersaing. Sayangnya, prasyarat tersebut belum sepenuhnya dimiliki oleh kaum muda Indonesia yang ditandai oleh: Pertama, rendahnya tingkat pendidikan kaum muda, di mana sekitar 1,7 persen kaum muda tidak/belum sekolah. Selanjutnya, jika dilihat menurut jenjang pendidikan yang ditamatkan, masing-masing sekitar 30,8 persen, 28,59 persen, 27,11 persen, dan 4,93 persen kaum muda yang tamat SD, SLTP, SMU, dan perguruan tinggi (Susenas BPS 2006). Sementara itu, kaum muda yang tidak berpendidikan (tidak tamat SD) sekitar 8,99 persen. Kedua, masih tingginya angka pengangguran terbuka di kalangan kaum muda yang mencapai sekitar 18,67 persen (Susenas, 2006). Ketiga, adanya kecenderungan berkembangnya masalah sosial di kalangan kaum muda, seperti kriminalitas, premanisme, narkotika, psikotropika, zat adiktif (NAPZA), dan HIV/AIDS. Disorientasi tata nilai, ditambah dengan tumbuh suburnya semangat kebebasan, telah menyuburkan tumbuhnya pandangan yang serba boleh (permisif). Sikap permisif yang berlebihan akan menyulitkan upaya untuk memadukan gerak langkah usaha memajukan bangsa, juga cenderung memicu konflik diberbagai tataran kehidupan.
Meskipun sudah 64 tahun merdeka, Indonesia masih dibayangi krisis kepemimpinan masih, bahkan apabila kita introspeksi diri secara jujur, sejatinya krisis berkepanjangan yang melanda Negeri ini bermula dari krisis kepemimpinan. Dapat dikatakan, pemimpin bangsa ini sudah kehilangan ruh trilogi kepemimpinan Ki Hajar Dewantara yang meliputi: Ing Ngarso Sung Tuladha (di depan memberi contoh); Ing Madya Mangun Karsa (di tengah memberi semangat); dan Tutwuri Handayani (di belakang memberi tuntunan). Bahkan jika ditilik dari konsepsi kepemimpinan ideal junjunan Nabi Muhammad SAW semakin langka, mulai dari kejujuran (sidiq), amanah, kecerdasan (fatonah), dan komunikatif (tabligh). Dijebloskannya banyak pemimpin di semua level institusi publik -baik elit pemerintah, BUMN, swasta, LSM, Perguruan Tinggi, bahkan pemuka agama- merupakan bukti paling telanjang parahnya potret kepemimpinan bangsa.
Dalam teori organisasi, esensi dari sebuah organisasi adalah manajemen, sedangkan esensi dari manajemen adalah kepemimpinan. Roda organisasi negara-bangsa akan macet manakala dipimpin oleh seorang pemimpin yang kurang cakap (tidak fatonah). Di era globalisasi, seorang pemimpin tidak hanya membutuhkan dukungan rakyat, tapi juga profesionalisme, rasa tanggung jawab, dan sikap yang merakyat sebagaimana dirumuskan dalam konsepsi sidiq-amanah-fatonah-tablig empat belas abad yang lalu.
Krisis kepemimpinan yang saat ini terjadi, salah satunya disebabkan oleh model kepemimpinan yang bertumpu pada kharisma. Sebenarnya kharisma merupakan keunggulan alamiah yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Akan tetapi, acapkali pemimpin kharismatik cenderung menciptakan semangat primordialisme, patronase, komunalisme dan anti-kritik. Tentunya pemimpin yang primordialistik, pratnosistik, komunalistik dan anti-kritik tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang saat ini sedang kita bangun bersama.
Belajar dari pengalaman sejarah, kepemimpinan kharismatik yang anti-kritik bisa menyalahgunakan wewenang dan tanggung jawab, bahkan melanggar konstitusi. Di era persaingan global, pemimpin yang tidak bersedia menerima masukan dan kritikan akan tertinggal oleh perubahan zaman. Di sinilah urgensi kepemimpinan kaum muda, yaitu untuk melakukan perubahan secara bertahap dari model kepemimpinan kharismatik menuju model kepemimpinan yang lebih profesional, rasional, dan terbuka. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mempersiapkan pemimpin-pemimpin generasi muda yang terbebas dari semangat primordialisme dan komunalisme, serta patronase harta dan kuasa.
Menurut Folke Bernadotte Academy dari Swedia, kepemimpinan yang baik (good leadership) lebih terkait dengan kapasitas dan kapabilitas kolektif untuk menciptakan perubahan. Kapasitas tersebut tidak harus bertumpu pada individu tertentu, namun dapat juga dalam bentuk kapasitas organisasi maupun gerakan. Dengan demikian, di samping penguatan keterampilan di kalangan individu generasi muda juga perlu diperkuat institusi yang memfasilitasi pengembangan generasi muda yang meliputi antara lain: Kepanduan, kaum muda mesjid, karang taruna dan sejenisnya.
Keberhasilan ikhtiar mendorong kepemimpinan kaum muda dalam jangka panjang tidak hanya bergantung pada kepuasan masyarakat atas kiprah yang dilakukan, tetapi juga atas ketertarikan, keikutsertaan, dan dukungan dari masyarakat kepada kaum muda. Demokrasi yang sehat tergantung pada bagaimana masyarakat mendapatkan informasi yang baik dan dapat memilih pemimpin yang tepat.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat pesat telah mendorong berbagai negara untuk mengembangkan kekuatannya sehingga mampu bersaing di era global. Perubahan yang serba cepat dan persaingan yang semakin tajam menuntut sumber daya yang handal dan mampu mengantisipasi segala perubahan dan mengadaptasikan dirinya dengan perubahan tersebut.
Kaum muda sebagai tulang punggung bangsa perlu mempersiapkan dirinya agar memiliki pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan sikap mental yang positif untuk memberikan kontribusi dan mengadaptasikan dirinya secara cepat pada perubahan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Tanpa penguasaan keempat hal tersebut, maka kuantitas kaum muda Indonesia yang demikian besar tidak akan dapat memberikan kontribusi yang signifikan. Di samping kemampuan individual yang handal, generasi muda harus mampu secara kolektif untuk bekerja bersama dalam mencapai tujuannya.
Mengutip pesan intelektual terkemuka Jerman, Erich Fromm, ”Bukanlah tugas kita untuk menyelesaikan pekerjaan sampai sempurna, tetapi yang jelas kita sama sekali tidak berhak untuk tidak mengawalinya sekarang”.
Kesimpulannya adalah gagasan mengenai pemimpin masadepan perlu kita rumuskan bersama dalam wadah pendidikan dengan kriteria-kriteria yang memadai, hal itu bisa dilihat dari berbagai perjalanan pemimpin-pemimpin besar yang mampu membawa perubahan dan hal positif yang kita ambil, pemimpin yang muda, anti asing, memiliki keberanian dalam mengambil resiko untuk mengadakan suatu perubahan, mencintai keadilan dan terbiasa dengan kejujuran.
(Dari berbagai sumber)
Oleh: Saiful Azhar Aziz
Bahan Diskusi Publik "Menggagas Pemimpin Masa Depan"
di Aula Kedaulatan Rakyat, 14 November 2009
Jumat, 13 November 2009
Sekilas tentang Barrack Obama
Barack Obama lahir di Honolulu, Hawaii, dari pasangan Barack Hussein Obama, Sr., seorang Kenya dari Nyang’oma Kogelo, Distrik Siaya, Kenya, dan Ann Dunham, seorang Amerika Serikat dari Wichita, Kansas. Orangtuanya bertemu ketika bersekolah di Universitas Hawaii, tempat ayahnya belajar dengan status sebagai murid asing. Keduanya berpisah ketika Obama berusia dua tahun dan akhirnya bercerai.. Ayah Obama kembali ke Kenya dan melihat anaknya untuk terakhir kalinya sebelum meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas tahun 1982. Setelah bercerai, Dunham menikahi Lolo Soetoro, dan keluarganya pindah ke Jakarta, Indonesia tahun 1967. Obama kemudian bersekolah di SD Santo Fransiskus Asisi di Tebet, lalu pindah ke SDN Menteng 1 (sekarang SD Besuki) di Menteng hingga ia berusia 10 tahun. Saat ini Obama masih dapat berbicara bahasa Indonesia dengan tingkat dasar. sewaktu mendengar Presiden Republik Indonesia diberitakan sakit Pak Obama menyempatkan diri menelpon Susilo Bambang Yudhoyono (Pak SBY) di kediaman pribadinya di Cikeas, Kab. Bogor pada pukul 19.45 WIB, hari Jumat tgl 13 Maret 2009 beliau membalas sapaan "apa kabar ?" dengan menjawab 'baik-baik saja'..
Ia kembali ke Honolulu untuk tinggal bersama kakek dan neneknya dan belajar di Sekolah Punahou sejak kelas lima tahun 1971 hingga lulus SMA pada 1979. Ibu Obama kembali ke Hawaii tahun 1972 selama beberapa tahun dan kemudian ke Indonesia untuk menyelesaikan kerja lapangan untuk disertasi doktoral. Ia meninggal karena kanker rahim tahun 1995. Sebagai seorang dewasa, Obama mengakui bahwa ketika SMA ia menggunakan mariyuana, kokain, dan alkohol, yang ia jelaskan pada Forum Sipil Presiden 2008 sebagai kesalahan moralnya yang terbesar. Setelah SMA, Obama pindah ke Los Angeles lalu ia belajar di Perguruan Tinggi Occidental selama dua tahun. Ia kemudian dipindahkan ke Universitas Columbia di New York City, dan kemudian ia lulus dalam bidang pengetahuan politik dengan kelebihan pada hubungan internasional. Obama lulus dengan B.A. dari Columbia tahun 1983, kemudian bekerja selama setahun di Business International Corporation dan kemudian di New York Public Interest Research Group.
Setelah empat tahun di New York City, Obama pindah ke Chicago, lalu ia menjabat sebagai direktur Developing Communities Project (DCP), sebuah perkumpulan masyarakat berbasis gereja yang sebenarnya terdiri dari delapan paroki Katolik di South Side, Chicago, dan bekerja di sana selama tiga tahun mulai Juni 1985 hingga Mei 1988. Selama menjabat sebagai direktur DCP, stafnya bertambah dari satu menjadi tiga belas pendapatan per tahunnya meningkat dari $70.000 menjadi $400.000, dengan keberhasilan meliputi membantu membuat program pelatihan kerja, program pelatihan persiapan perguruan tinggi, dan organisasi hak penjual di Altgeld Gardens, Chicago. Obama juga bekerja sebagai konsultan dan instruktur untuk Gamaliel Foundation, sebuah institut perkumpulan masyarakat. Di pertengahan 1988, ia untuk pertama kalinya mengunjungi Eropa selama tiga minggu dan lima minggu di Kenya, dan ia banyak bertemu saudara Kenya-nya untuk pertama kalinya. Obama masuk Sekolah Hukum Universitas Harvard pada 1988. Pada akhir tahun pertamanya, ia dipilih, menurut kelasnya dan kompetisi menulis, sebagai editor Harvard Law Review. Bulan Februari 1990, di tahun keduanya, ia terpilih menjadi presiden Law Review, sebuah posisi sukarela penuh waktu yang berguna sebagai pimpinan editor dan pemantau 80 editor Law Review. Pemilihan Obama sebagai presiden Law Review berkulit hitam pertama diketahui secara luas dan diikuti oleh beberapa profil yang panjang. Pada musim panas, ia kembali ke Chicago untuk bekerja sebagai associate musim panas di firma hukum Sidley & Austin tahun 1989 dan Hopkins & Sutter tahun 1990. Setelah lulus dengan magna cum laude Juris Doctor (J.D.) dari Harvard tahun 1991, ia kembali ke Chicago. Publisitas dari pemilihannya sebagai presiden Harvard Law Review berkulit hitam pertama membawanya pada kontrak penerbitan dan pembuatan buku mengenai hubungan ras. Dalam usaha untuk merekrutnya ke fakultas mereka, Sekolah Hukum Universitas Chicago menyediakan Obama beasiswa dan kantor untuk membuat bukunya. Ia awalnya berencana menyelesaikan buku tersebut dalam satu tahun, tapi ternyata membutuhkan waktu yang lebih lama setelah buku ini berubah menjadi memoir pribadi. Untuk bekerja tanpa gangguan, Obama dan istrinya, Michelle, berlibur ke Bali dan ia menulis bukunya selama beberapa bulan. Manuskrip tersebut akhirnya diterbitkan pada pertengahan 1995 dengan judul Dreams from My Father.[24]Obama memimpin Project Vote Illinois mulai April hingga Oktober 1992, dengan registrasi pemilih dnegan sepuluh staf dan tujuh ratus sukarelawan; tujuannya berhasil dengan mendaftarkan 150.000 dari 400.000 orang Afrika-Amerika di negara bagian itu, sehingaga Crain's Chicago Business menempatkan Obama dalam daftar "40 under Forty" tahun 1993.
Berawal tahun 1992, Obama mengajarkan hukum konstitusional di Sekolah Hukum Universitas Chicago selama dua belas tahun, menjadi yang pertama dikelompokkan sebagai Penceramah sejak 1992 hingga 1996, dan kemudian sebagai Penceramah Senior sejak 1996 hingga 2004.[26]Ia juga, tahun 1993, bergabung dengan Davis, Miner, Barnhill & Galland, sebuah firma hukum dengan dua belas pengacara yang berpengalaman dalam litigasi hak-hak sipil dan pembangunan ekonomi masyarakat, dan ia adalah seorang associate selama tiga tahun sejak 1993 hingga 1996, kemudian of counsel mulai 1996 hingga 2004, dengan lisensi hukumnya berakhir tahun 2002. Obama adalah anggota pendiri dewan direktur Public Allies tahun 1992, mengundurkan diri sebelum istrinya, Michelle, menjadi direktor eksekutif pendiri Public Allies Chicago di awal 1993. Ia menjabat dari 1993 hingga 3008 pada dewan direktur Woods Fund of Chicago, yang pada 1985 telah menjadi yayasan pertama yang mendanai Developing Communities Project, dan juga sejak 1994 hingga 2002 pada dewan direktur The Joyce Foundation. Obama bekerja pada dewan direktur Chicago Annenberg Challenge pada 1995-2002, sebagai presiden pendiri dan pimpinan dewan direktur sejak 1995-1999. Ia juga bekerja pada dewan direktur Chicago Lawyers' Committee for Civil Rights Under Law, Center for Neighborhood Technology, dan Lugenia Burns Hope Center.
Ia kembali ke Honolulu untuk tinggal bersama kakek dan neneknya dan belajar di Sekolah Punahou sejak kelas lima tahun 1971 hingga lulus SMA pada 1979. Ibu Obama kembali ke Hawaii tahun 1972 selama beberapa tahun dan kemudian ke Indonesia untuk menyelesaikan kerja lapangan untuk disertasi doktoral. Ia meninggal karena kanker rahim tahun 1995. Sebagai seorang dewasa, Obama mengakui bahwa ketika SMA ia menggunakan mariyuana, kokain, dan alkohol, yang ia jelaskan pada Forum Sipil Presiden 2008 sebagai kesalahan moralnya yang terbesar. Setelah SMA, Obama pindah ke Los Angeles lalu ia belajar di Perguruan Tinggi Occidental selama dua tahun. Ia kemudian dipindahkan ke Universitas Columbia di New York City, dan kemudian ia lulus dalam bidang pengetahuan politik dengan kelebihan pada hubungan internasional. Obama lulus dengan B.A. dari Columbia tahun 1983, kemudian bekerja selama setahun di Business International Corporation dan kemudian di New York Public Interest Research Group.
Setelah empat tahun di New York City, Obama pindah ke Chicago, lalu ia menjabat sebagai direktur Developing Communities Project (DCP), sebuah perkumpulan masyarakat berbasis gereja yang sebenarnya terdiri dari delapan paroki Katolik di South Side, Chicago, dan bekerja di sana selama tiga tahun mulai Juni 1985 hingga Mei 1988. Selama menjabat sebagai direktur DCP, stafnya bertambah dari satu menjadi tiga belas pendapatan per tahunnya meningkat dari $70.000 menjadi $400.000, dengan keberhasilan meliputi membantu membuat program pelatihan kerja, program pelatihan persiapan perguruan tinggi, dan organisasi hak penjual di Altgeld Gardens, Chicago. Obama juga bekerja sebagai konsultan dan instruktur untuk Gamaliel Foundation, sebuah institut perkumpulan masyarakat. Di pertengahan 1988, ia untuk pertama kalinya mengunjungi Eropa selama tiga minggu dan lima minggu di Kenya, dan ia banyak bertemu saudara Kenya-nya untuk pertama kalinya. Obama masuk Sekolah Hukum Universitas Harvard pada 1988. Pada akhir tahun pertamanya, ia dipilih, menurut kelasnya dan kompetisi menulis, sebagai editor Harvard Law Review. Bulan Februari 1990, di tahun keduanya, ia terpilih menjadi presiden Law Review, sebuah posisi sukarela penuh waktu yang berguna sebagai pimpinan editor dan pemantau 80 editor Law Review. Pemilihan Obama sebagai presiden Law Review berkulit hitam pertama diketahui secara luas dan diikuti oleh beberapa profil yang panjang. Pada musim panas, ia kembali ke Chicago untuk bekerja sebagai associate musim panas di firma hukum Sidley & Austin tahun 1989 dan Hopkins & Sutter tahun 1990. Setelah lulus dengan magna cum laude Juris Doctor (J.D.) dari Harvard tahun 1991, ia kembali ke Chicago. Publisitas dari pemilihannya sebagai presiden Harvard Law Review berkulit hitam pertama membawanya pada kontrak penerbitan dan pembuatan buku mengenai hubungan ras. Dalam usaha untuk merekrutnya ke fakultas mereka, Sekolah Hukum Universitas Chicago menyediakan Obama beasiswa dan kantor untuk membuat bukunya. Ia awalnya berencana menyelesaikan buku tersebut dalam satu tahun, tapi ternyata membutuhkan waktu yang lebih lama setelah buku ini berubah menjadi memoir pribadi. Untuk bekerja tanpa gangguan, Obama dan istrinya, Michelle, berlibur ke Bali dan ia menulis bukunya selama beberapa bulan. Manuskrip tersebut akhirnya diterbitkan pada pertengahan 1995 dengan judul Dreams from My Father.[24]Obama memimpin Project Vote Illinois mulai April hingga Oktober 1992, dengan registrasi pemilih dnegan sepuluh staf dan tujuh ratus sukarelawan; tujuannya berhasil dengan mendaftarkan 150.000 dari 400.000 orang Afrika-Amerika di negara bagian itu, sehingaga Crain's Chicago Business menempatkan Obama dalam daftar "40 under Forty" tahun 1993.
Berawal tahun 1992, Obama mengajarkan hukum konstitusional di Sekolah Hukum Universitas Chicago selama dua belas tahun, menjadi yang pertama dikelompokkan sebagai Penceramah sejak 1992 hingga 1996, dan kemudian sebagai Penceramah Senior sejak 1996 hingga 2004.[26]Ia juga, tahun 1993, bergabung dengan Davis, Miner, Barnhill & Galland, sebuah firma hukum dengan dua belas pengacara yang berpengalaman dalam litigasi hak-hak sipil dan pembangunan ekonomi masyarakat, dan ia adalah seorang associate selama tiga tahun sejak 1993 hingga 1996, kemudian of counsel mulai 1996 hingga 2004, dengan lisensi hukumnya berakhir tahun 2002. Obama adalah anggota pendiri dewan direktur Public Allies tahun 1992, mengundurkan diri sebelum istrinya, Michelle, menjadi direktor eksekutif pendiri Public Allies Chicago di awal 1993. Ia menjabat dari 1993 hingga 3008 pada dewan direktur Woods Fund of Chicago, yang pada 1985 telah menjadi yayasan pertama yang mendanai Developing Communities Project, dan juga sejak 1994 hingga 2002 pada dewan direktur The Joyce Foundation. Obama bekerja pada dewan direktur Chicago Annenberg Challenge pada 1995-2002, sebagai presiden pendiri dan pimpinan dewan direktur sejak 1995-1999. Ia juga bekerja pada dewan direktur Chicago Lawyers' Committee for Civil Rights Under Law, Center for Neighborhood Technology, dan Lugenia Burns Hope Center.
Langganan:
Postingan (Atom)