Rabu, 15 Juli 2009

Upeti untuk Punggawa, Nasi Basi untuk Kawula

Oleh: Saiful Azhar Aziz
Pada tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada sepatu itu. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut. Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah tanga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang untuk meminta pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tidak pernah mencukupi.
Sangat mengharukan, ternyata guntingan iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang Hatta. Padahal, jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu, sangatlah mudah bagi beliau untuk memperoleh sepatu Bally. Misalnya, dengan meminta tolong para duta besar atau pengusaha. Namun, disinilah letak keistimewaan Bung Hatta. Kekuasaannya tidak ia jadikan sebagai alat untuk meligitimasi kepentingan pribadinya. Itulah ketauladanan Bung Hatta, apalagi ditengah carut-marut Bangsa ini.
Korupsi merupakan persoalan agama, negara dan relasi kuasa. Secara etimologis korupsi berasal dari bahasa latin, corruptio atau corruptus yang berarti: merusak, tidak jujur, dapat disuap3. Korupsi juga mengandung arti: kejahatan, kebusukan, tidak bermoral, dan kebejatan. Korupsi pula diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi berarti: buruk, rusak, busuk, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Masih menurut kamus ini, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Kartini Kartono, seorang ahli Patologi Sosial, mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan Negara.6 Sementara Jeremy Pope membuat definisi yang cukup simple dan mudah dipahami bahwa korupsi adalah menyalahgunakan kekuasaan atau kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Senada dengan itu, Azyumardi Azra mengutip beberapa definisi korupsi, antara lain: menurut Leiken, korupsi adalah “penggunaan kekuasaan publik (public power) untuk mendapat keuntungan (material) pribadi atau kemanfaatan politik.” Lebih lanjut, Azyumardi juga mengutip pendapat Syed Husein Alatas: “corruption is abuse of trust in the interest of private gain” (penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi).7
Menurut pasal 2 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia No 31/1999, korupsi adalah perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara3. Definisi ini diperkuat lagi pada pasal 3 bahwa korupsi adalah setiap tindakan dengan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau saran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Menurut Syamsul Anwar dalam buku Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah, Korupsi dalam perspektif islam disebut ghulul (QS. Ali Imran: 161). Secara harfiah, ghulul berarti “pengkhianatan terhadap kepercayaan (amanah)”. Selain itu korupsi dideskripsikan dengan kata al-shut (QS. Al-Maidah: 42, 62, 63). Dalam kitab tafsir Ahkam al-Qur’an dikutip definisi sahabat Ibn Mas’ud (w. 32/652) tentang al-shut sebagai “menjadi perantara dengan menerima imbalan antara seseorang dengan pihak penguasa untuk suatu kepentingan.”
Korupsi berkaitan dengan amanah yang secara etimologis berarti “jujur dan lurus”, mempunyai arti terminologis syar’i “sesuatu yang harus dijaga dan disampaikan kepada yang berhak menerimanya.”9
Persoalan korupsi ini memiliki dampak negatif terhadap ekonomi, politik dan keamanan, kesejahteraan pegawai dan rakyat, penegakan hukum (law enforcement), ketersediaan sumber daya alam, dan moral masyarakat.
Menurut Syamsul Anwar dalam buku Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah, dampak negatif korupsi terhadap ekonomi adalah pemusatan ekonomi pada elite kekuasaan. Elite kekuasaan yang dimaksud adalah lingkaran eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang berkolaborasi dengan pengusaha, baik dalam lingkaran kekuasaan di pusat maupun di daerah untuk melakukan aktifitas ekonomi. Pengusaha sebagai pemegang kekuasaan modal bagaimanapun juga ingin agar aktifitas ekonomi yang dijalannkannya mendapat untung sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya. Salah satu cara yang dilakukan ialah memakai jalan pintas melalui praktik sogok atau suap untuk memperoleh fasilitas-fasilitas tertentu yang mengaburkan tegaknya aturan yang dibuat oleh lembaga eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif.
Uang suap tersebut biasanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan atau akses terhadap pengambil keptusan. Artinya, uang tersebut hanya beredar pada lingkaran elite tertentu saja. Jika aliran dana itu hanya berputar pada lingkaran elite kekuasaan di atas, maka sekelompok besar lain yang meliputi masyarakat tanpa kecukupan modal dan kemampuan untuk menembus birokrasi pemerintahan, hanya bisa mengais rezeki sisa.
Dampak berikutnya adalah diskriminasi kebijakan, para pengusaha yang dekat dengan elite kekuasaan seringkali mendapatkan perlindungan khusus bagi kepentingan usahanya, sehingga muncullah diskriminasi perlakuan elite kekuasaan terhadap masyarakat. Diskriminasi ini terkait erat dengan proses penegaakan hukum yang diberlakukan. Contoh yang paling konkret adalah perlakuan pemerintah terhadap PKL (pedagang kaki lima) liar, gelandangan, dan anak-anak jalanan yang harus digusur karena tidak mematuhi aturan pemerintah, sementara para pengusaha yang menyalahi ijin usaha dibiarkan tanpa proses hukum. Polisi dan jaksa mempermasalahkan aktifitas PKL yang hanya mencari sesuap nasi untuk menghidupi keluarganya, namun pada sisi lian membiarkan korupsi dan manipulasi yang dilakukan para pengusaha maupun pejabat tinggi. Dalam hal ini, penegak hukum terlihat hanya berusaha menegakkan street justice (keadilan jalanan), dengan sasaran rakyat kecil yang tidak memiliki kekuasaan modal.
Pembangunan yang tidak transparan menjadi salah satu dampak negatif dari korupsi terhadap ekonomi, karena kewajiban warga negara untuk membayar pajak adalah agar proses pembangunan dapat berkelanjutan. Namun dengan birokrasi pemerintahan yang korup, maka pajak tersebut tidak dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan tetapi dipakai untuk menumpuk kekayaan pribadi pejabat beserta kroninya.
Selain itu, beberapa studi menunjukkan bahwa korupsi mempunyai efek negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena birokrasi yang korup, maka pemodal asing mengalami berbagai hambatan untuk berinvestasi di dalam negeri.
Kemudian aktivitas ekonomi yang dibangun oleh sebuah sistem yang korup akan berdampak pada tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh para pelaku ekonomi. Biaya yang semestinya dapat ditekan, akhirnya harus ditambah dengan biaya yang dikeluarkan utuk menyuap pejabat atau membayar birokrasi. Akibatnya, semua beban tersebut akan ditanggung oleh pegawai dan konsumen.
Selain dampak negatif korupsi terhadap kesejahteraan pegawai dan rakyat, politik dan keamanan, penegakan hukum (law enforcement), ketersediaan sumber daya alam. Moral masyarakat merupakan dampak paling nyata dari korupsi, munculnya perubahan moral masyarakat. Bagaimana korupsi mampu merubah pandangan hidup masyarakat yang penuh semangat gotong royong dan kekeluargaan berubah menjadi masyarakat materialis, dari masyarakat yang suka menolong menjadi masyarakat yang selalu mengharap pamrih.
Menurut Syamsul Anwar dalam buku Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah, dampak korupsi terhadap moral masyarakat adalah:
1. Menciptakan moral masyarakat yang munafik
Ketika seseorang membutuhkan surat keterangan dari kantor pemerintahan dan surat itu sudah selesai dibuat, maka yang bersangkutan lansunh bertanya,”berapa uangnya, pak?”. Pertanyaan itu mencermikan betapa untuk memeproleh pelayanan publik seseorang harus membayar dengan harga yang ditentukan sendiri oleh aparat pemerintah, padahal yang bersangkutan telah digaji oleh negara untuk melakukan tugas-tugas itu.
2. Menyuburkan budaya menjilat
Ketika korupsi sudah menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat, yang terjadi selanjutnya adlah korupsi menjadi penopang dalam setisp pengambilan keputusan. Pada masyarakat yang korup, tidak ada lagi istilah halal dan haram ataupun baik dan buruk. Yang ada adalah bagaimana cara sesuatu yang dilakukan berhasil dan sesuai dengan keinginan meskipun harus bertabrakan dengan norma-norma luhur yang berkembang dalam masyarakat. Sehingga banyak orang mau merendahkan diri sendiri asal sang pejabat atau pemimpin mau mengakomodasi kepentingannya.
Dalam hubungannya dengan atasan, koruptor selalu memposisikan diri sebagi bawahan yang tunduk dan patuh atas tugas-tugas yang dibebankan atasan, padahal sang atasan memanfaatkan tugas tersebut utnuk kepentingan dirinya. Model orang seperti ini sudah tidak malu lagi utnuk menjilat dimuka atasan. Tidak ada lagi rasionalitas yang mampu untuk mengendalikan untuk berkata “tidak” kepada atasan yang mempunyai jabatan yang lebih tinggi.
3. Mendidik masyarakat menjadi penipu
Ciri yang cukup menonjol dari seorang koruptor adalah sikapnya yang tidak jujur, terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri. Ketika pejabat publik yang korup diwajibkan menyerahkan daftar kekayaannya, maka yang terjadi adalah melakukan kebohongan publik dengan menutupi daftar kekayaan sesungguhnya.
Upaya yang harus dilakukan utuk mewujudkan good corporate governance melalui gerakan pencegahan dan pemberantasan korupsi khususnya dilingkungan birokrasi pemerintah (government) sudah merupakan tuntutan universal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Telah banyak bermunculan badan atau lembaga gerakan anti korupsi di hampir seluruh dunia. Sejak United Nation Convention Agains Corruption (UNCAC) dideklarasikan tanggal 31 Oktober 2003, telah banyak Negara-Negara anggota PBB mendukungnya, terutama dari Negara-negara berkembang yang sangat merasakan dampak langsung dan tidak langsung dari tindakan korupsi, seperti kemiskinan, tidak efisiennya birokrasi, pencucian uang, defisit anggaran belanja Negara, daya beli masyarakat yang cenderung melemah, beban pajak beragam yang memebebani rakyat. Berkaitan dengan gerakan global dan universal ini, Sekjen PBB pada hari korupsi sedunia tanggal 9 Desember, berpesan agar Negara-negara di dunia harus terus memerangi korupsi yang merupakan musuh bersama masyarakat dunia.
Tingkat korupsi di lembaga peradilan Indonesia masuk kategori paling tinggi di dunia. Rilis terbaru Transparency International (TI), menyebut tingkat korupsi peradilan Indonesia sejajar dengan yang terjadi di Albania, Yunani, Meksiko, Moldova, Maroko, Peru, Taiwan, dan Venezuela.
”Di lebih dari dua puluh negara lain, sedikitnya tiga dari sepuluh warga negaranya dilaporkan menyuap untuk mendapat keadilan atau hasil yang ‘adil’ dalam pengadilan,” demikian laporan tersebut. Transparency International adalah lembaga swadaya masyarakat (non-governmental organization/ NGO) yang berpusat di Berlin, Jerman yang berfokus pada isu perang melawan korupsi.
Menurut survei Transparency International yang dilansir seputar-indonesia.com/edisicetak/berita-utama/korupsi-peradilan-ri-tertinggi-didunia.html, di Indonesia dan delapan negara di atas,tingkat korupsi peradilan termasuk tinggi karena tiga dari sepuluh warga negaranya melakukan suap untuk mendapatkan keadilan di lembaga peradilan. Diyakini, jumlah pastinya lebih dari angka tersebut. Menanggapi laporan tersebut, Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia, Todung Mulya Lubis menyatakan, apa yang disampaikan Transparency International bukanlah hal yang baru. Praktisi hukum senior ini memandang perlunya segera diambil langkah-langkah strategis untuk melakukan pengawasan terhadap para hakim. Dia menyebut salah satunya adalah membuka pintu pengawasan yang melibatkan masyarakat. Jadi, kata Todung, pengawasan terhadap hakim tidak hanya dilakukan Mahkamah Agung, tapi yang lebih penting memberdayakan Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan tersebut.
Komisi Yudisial menurutnya, telah berhasil membangun budaya kontrol yang membuat para hakim lebih hati-hati. ”Dengan dipangkasnya kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi perilaku hakim, tak ada lagi pengawasan terhadap hakim. Jadi, kewenangan Komisi Yudisial harus kembali diperluas. Caranya, dengan merevisi undang-undang tentang Komisi Yudisial, ”tandasnya. Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yunto yang dilansir di seputar-indonesia.com/edisicetak/berita-utama/korupsi-peradilan-ri-tertinggi-didunia.html, menyatakan, korupsi di lembaga peradilan Indonesia merupakan problem yang seharusnya dipecahkan Mahkamah Agung. Menurut Emerson, problem gaji hakim yang kecil seharusnya tidak menjadi alasan pembenar bagi para hakim untuk melakukan praktik korupsi maupun suap. Emerson mencontohkan apa yang terjadi di Jakarta. Di sini, para hakim cenderung bergaya hidup mewah walaupun gaji mereka sama dengan hakim di daerah. Karenanya, untuk memenuhi gaya hidup mewah itu, mereka melakukan praktik korupsi dan suap. Hal ini, menurut Emerson, memang menjadi sangat penting dan harus menjadi catatan pemerintah untuk menaikkan gaji aparat penegak hukum. ”Kalau gaji sudah dinaikkan, tapi tetap saja melakukan korupsi, harus ada tindakan atau sanksi yang lebih tegas dari pemerintah,” tekannya. Dalam laporan yang sama, Transparency International menegaskan, korupsi telah menghancurkan sistem yudisial di seluruh dunia.
Menurut mereka, korupsi telah menghambat akses rakyat untuk mendapatkan keadilan dan hak asasinya sebagai manusia. Tema itulah yang diangkat dalam laporan bertajuk Korupsi Global 2007: Korupsi dalam Sistem Yudisial. ”Perlakuan setara di hadapan hukum merupakan pilar masyarakat demokratis. Ketika pengadilan dikotori praktik korupsi oleh keserakahan kepentingan politik, nilai-nilai keadilan tergadaikan dan masyarakat awam yang kemudian menderita, ”tegas Huguette Labelle, Ketua Transparency International. Labelle menjelaskan, korupsi menjadi faktor utama terpinggirkannya keadilan bagi mereka yang tidak bersalah. Laporan ini menyimpulkan, korupsi yudisial telah melemahkan kemampuan komunitas internasional untuk mengusut kejahatan lintas negara. Tidak hanya menutup akses keadilan dan pelanggaran HAM, korupsi juga merusak pertumbuhan ekonomi.

Data di atas menunjukkan betapa parahnya kondisi Bangsa Indonesia yang digerogoti virus korupsi, berada di peringkat pertama berprestasi dalam hal korupsi menurut World Bussiness Environment Survey. Dalam kurun waktu 2004-2007, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menghitung bahwa Indonesia mengalami kerugian hingga Rp 12,2 triliun. Kerugian yang berindikasi korupsi hampir Rp 2 triliun. Berdasarkan hasil audit investigasi BPKP selanjutnya, kerugian negara itu terdiri atas 636 kasus tindak pidana korupsi senilai Rp 1,9 triliun, 1.876 kasus bukan tindak pidana korupsi sebesar Rp 1,2 triliun, dan 1.266 kasus kesalahan manajemen anggaran sejumlah Rp 9,1 triliun. Adapun sekitar 75 persen dari kasus berindikasi korupsi itu berkaitan dengan proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah (Majalah Tempo, 23 November 2007). Sebuah pernyataan menarik, pada akhir dasawarsa 1990-an, salah satu jurnal terkemuka di Amerika, Foreign Affairs, mengatakan bahwa korupsi telah menjadi way of life di Indonesia (http:/kangalimursyid.blogspot.com).
Sejalan dengan itu, sistem pendidikan Indonesia yang berkaitan dengan pembinaan moral dan spritual nampaknya baru menyentuh dari aspek kognitif saja, namun belum menyentuh dalam tataran afektif para generasi muda. Berbagai pernyataan, laporan, berita dan fakta mengenai korupsi, sesungguhnya mengindikasikan adanya persoalan yang amat serius di tingkat nasional dan daerah dalam menghadapi bahaya laten korupsi. Sayangnya, meski dari berbagai temuan dan studi terbukti bahwa prevalensi di Indonesia tergolong paling tinggi, akan tetapi langkah-langkah yang mengarah pada upaya pemberdayaan serta pendidikan masyarakat dalam memberantas wabah korupsi masih jarang dilakukan. Sejumlah studi, laporan, ataupun tulisan mengenai tindak korupsi memang telah banyak dilakukan dengan berbagai perspektif dan sudut pandang, namun sayangnya masih jauh dari upaya pendidikan dan pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Upaya mendidik, memberdayakan dan membangkitkan kesadaran mengenai betapa krusialnya persoalan korupsi jelas merupakan sesuatu yang mendesak dilakukan. Warga masyarakat yang sadar dan memiliki pemahaman yang cukup tentang korupsi adalah landasan yang sangat penting bagi usaha menekan derasnya arus korupsi. Karena itu, kunci penyelesaian kasus korupsi di Indonesia adalah pendidikan anti korupsi.
Pendidikan anti korupsi sangat diperlukan karena sistim berpikir kita sudah menempatkan soal korupsi sebagai kondisi yang sudah lumrah, begitu dominannya perbuatan korupsi melingkupi kita dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu pendidikan anti korupsi berbasiskan konsep logotherapy menjadi sebuah tawaran tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Pemahaman mengenai korupsi dan bahaya tidak dapat diberikan sebatas teori dalam hal peningkatan dari aspek kognitif saja, namun hendaknya diarahkan pada aspek psikomotorik dan afektif.
Konsep logotherapy sebagai usaha membangun idealisme generasi muda terhadap gerakan anti korupsi ini menggunakan penyadaran asas hidup yang bermakna ditandai dengan eksistensi adanya nilai kerohanian, kebebasan, serta tanggung jawab. Sebagai motivasi dasar manusia, hasrat untuk hidup bermakna ini mendambakan manusia menjadi seorang yang berharga dan berarti (being some body) dengan mengisinya dengan nilai-nilai yang bermakna dan memiliki nilai-nilai bersikap (Attitudinal Values) untuk tidak menerima korupsi. Remaja diarahkan untuk memiliki harapan bahwa korupsi di Indonesia yang telah membudaya akan sedikit demi sedikit hancur dengan memberikan keyakinan kepada mereka, bahwa merekalah generasi harapan bangsa. Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukanlah stimulasi pelatihan anti korupsi berlandaskan konsep logotherapy sebagai usaha preventif membangun moral generasi muda dalam rangka menghadang budaya laten korupsi di Indonesia. Untuk itu, penulis menawarkan sebuah program pendidikan moral bagi remaja menggunakan pendekatan psikologi untuk menyentuh konsep diri remaja.
Memberikan pelatihan anti korupsi sebagai upaya pendidikan moral bagi remaja yang menjadi sasaran berbasiskan logotherapy, dapat membangun moral generasi muda Indonesia dalam mencegah terjadinya tindakan korupsi di generasi mendatang dengan menciptakan model pendidikan anti korupsi yang mampu merangsang kognitif, psikomotorik, dan afektif remaja sehingga menimbulkan kesadaran anti korupsi.
Sebagai input pengetahuan bagi remaja mengenai bahaya laten korupsi sehingga membangun kesadaran moral bagi generasi muda Indonesia, materi pelatihan yang akan diberikan untuk siswa ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu : a). Penanaman semangat anti korupsi dalam aspek kognitif, afektif,dan psikomotorik berbasis logotherapy b). Skill praktis cara mengenali korupsi dan mengumpulkan bukti, menumbuhkan keberanian untuk melapor, dan memahami proses investigasi korupsi.
Program pendidikan moral “Kelas Anti Korupsi” pada remaja ini, terdapat dua kegiatan yang akan dilaksanakan. Pertama, penyusunan materi atau bahan pelatihan yang akan disesuaikan dengan sasaran pelatihan. Bahan atau materi tersebut diperoleh dari berbagai sumber buku teks tentang psikologi khususnya “logotherapy” maupun upaya membangun kesadaran hukum dalam fokus budaya korupsi. Kedua, pelatihan dengan judul ‘Kelas Anti Korupsi “ berbasis logotherapy pada remaja yang menjadi sasaran pelatihan.
Materi pelatihan pada remaja ini akan disampaikan dengan lima metode, yaitu a) Penyuluhan dengan media audio visual. b) Focus Group Discussion. c) Out bond untuk menemukan makna hidup sebagai individu dan pemimpin yang amanah d) Training spritual berbasis logotherapy dengan media audio visual e) Penayangan cuplikan video/film untuk menguatkan semangat anti korupsi.
Pelatihan dilaksanakan selama 2 hari. Dalam waktu ini, diharapkan sasaran pelatihan dapat menyerap materi pelatihan yang disampaikan, sehingga prinsip anti korupsi dapat menginternalisasi dan terejawantah dalam nilai-nilai spritual dan moral para siswa.
Program ini merupakan salah satu upaya penanggulangan, pencegahan, dan penyadaran kepada generasi muda, karena merekalah yang memiliki potensi besar untuk melakukan perubahan dan perbaikan bangsa Indonesia kedepan kearah yang lebih baik, bermoral dan bermartabat. Dan tentunya tidak lagi kawula memakan nasi basi dan tidak ada lagi upeti untuk punggawa. Namun sebaliknya, seperti perkataan sahabat Nabi Muhammad SAW, Umar bin Khattab, “ketika kesejahteraan dan kebahagiaan itu datang, maka rakyatku yang pertama kali mendapatkan dan merasakannya, sedangkan diriku orang yang paling terakhir menuainya. Dan apabila kesengsaraan dan dan kelaparan, maka aku orang yang pertama kali merasakannya.”


Catatan:
1. Ditulis untuk memenuhi persyaratan khusus Darul Arqam Madya (DAM) IMM Cabang AR. Fachruddin Yogyakarta, 2009
2. Calon peserta DAM IMM Cabang AR. Fachruddin Yogyakarta, 2009
3. Buku Panduan Kamu untuk Ngelawan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hal. 7
4. Ibid
5. Departemen Pendidikan dan kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet. ke-4, hal. 527
6. Kartini Kartono, Patologi Sosial, (jakarta: Raja Grafindo Persada, 1981), hal. 80
7. Syamsul Anwar, Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiya,h (Jakarta Pusat: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2006), hal. 12
8. Buku Panduan Kamu untuk Ngelawan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hal. 10-11
9. Syamsul Anwar, Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiya,h (Jakarta Pusat: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2006), hal. 40
10. seputar-indonesia.com/edisicetak/berita-utama/korupsi-peradilan-ri-tertinggi-didunia.html
Tim PKMM “Kelas Anti Korupsi” (Yogyakarta: Bulletin Insight, 2009), hal.3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar