Anggina Oktapia Latief
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) terlahir dari rahim persyarikatan Muhammadiyah yang kehadirannya dinanti dan perjuangannya diamati. Layaknya seorang anak yang berusia 46 tahun, ia seharusnya telah mampu hidup diatas kakinya sendiri bahkan mampu menghidupi orang lain serta telah memiliki kepribadian yang matang. Sangat mungkin bagi yang berusia 46 tahun harus lebih mempersiapkan diri menjelang masa tuanya, namun tidak demikian dengan IMM, IMM tidak akan pernah tua dimakan masa, meski usianya kelak akan terus bertambah namun hal tersebut bukan menjadi alasan bagi IMM untuk rapuh dan pasarah karena ia memiliki peran penting dalam membentuk masyrakat Islam yang sebenar-benarnya yakni membentuk akademisi Islam yang berakhlaq mulia.
Akademisi Islam merupakan bagian dari kepribadian seorang muslim yang terwujud dengan optimalnya peran cipta atau ’aql. ’Aql mampu memperoleh pengetahuan melalui daya argumentatif, (Hartati, dkk., 2004). Daya argumentatif termunculkan melaui suatu proses belajar yang melibatakan pembelajar dan pengajar serta media dan metode pembelajaran. IMM sebagai gerakan intelektual perlu kiranya memaksiamalkan perannya sebagai wadah yang melahirkan akademisi-akademisi Islam melalui  proses pembelajaran yang tentunya sangat dekat dengan lingkungan kader-kader IMM yakni, kampus. Kampus bagi pergerakan mahasiswa bukan hanya sekedar tempat bernaung saat menerima transfer informasi atau ilmu dari dosen atau penagajar lainnya, namun kampus dijadikan mereka sebagai tempat belajar dan mempelajari setiap sendi kehidupan yang tergambar melalui gerak-gerik dan diamnya civitas akademika, perilaku dan sikap pegawai atau karyawan serta kebijakan dan peraturan yang mengarahkan atau bahkan memenjarakan penghuni kampus itu sendiri. Sampah, asap rokok, kondisi tolilet, perpustakaan dan tempat beribadah menjadi ’bacaan’ yang menarik untuk dipelajari mahasiswa suatu pergerakan yang juga IMM termasuk didalamnya. Proses belajar tersebut menjadi wajib sebetulnya bagi setiap penghuni kampus hanya saja, masing-masing mereka tidak semua mewajibkan diri untuk terlibat belajar didalamnya. Maka, bagi IMM hal tersebut bukan merupakan himbauan atau ajakan, namun suatu kewajiban yang sangat menguntungkan agar pencapaian tujuannya tercapai dengan cepat dan tepat serta bermanfaat bagi sebanyak-banyak umat. Dengan belajarnya IMM kepada setiap apa yang ada disekitarnya, minimal kampus atau dunia mahasiswa, maka akan menjadikan potensi akalnya termaksimalkan yang kemudian memicu gerak tubuh dan gerak lisannya untuk berbuat kebaikan yang semakin banyak serta menggerakkan pintu hati untuk semakin terbuka sehingga apa yang ada didalam (hati) nya, semakin jelas ’terlihat’, -apa yang ada didalam hati- menurut Riyadi (2008) adalah ruh, ruh yang mampu memancarkan nur Allah yang dapat mengendalikan jasad fisik. Tetapi bila hati manusia penuh dengan kotoran, maka akan dapat mengelabui akal untuk selalu berbuat kejahatan. Dengan demikian hubungan hati dan akal sangat erat, sehingga tidak cukup sesorang memiliki kecerdasan intelegensi saja, namun harus dibarengi dengan kecerdasan emosi.
IMM dengan potensi sumber daya mahasisawanya harus mampu mengambil peran lebih maksimal dalam mewujudkan suatu kehidupan yang sejahtera. Pemanfaatan potensi ini dapat dimulai dengan membiasakan diri untuk bersungguh-sungguh dalam belajar dibangku kuliha yang kemudian pembelajaran tersebut teraplikasikan dalam keseharian yang selam pembelajarannya beriringan dengan interaksi diri terhadap lingkungan sekitar yang meliputi lingkungan sosial dan non sosial yang akan semakin mempercepat pencapaian proses pembelajaran pada hasil yang maksimal. Mahasiswa Muhammadiyah menjadi tongkat perjuangan persyarikatan yang tiada pernah berakhir, tongkat ini haruslah dibuat dari bahan yang kuat karena ia akan menopang amanah yang cukup berat, kekuatan ini dapat diperoleh melalui daya kritis mahsiswa pada ilmu-ilmu yang didapatkannya dari proses pembelajarannya di dunia kampus, tongkat ini pun harus memiliki ukuran yang sesuai dengan pengguna agar tidak malah menyulitkan saat digunakan dan jauh dari kemanfaatan, maka IMM dalam pergerakkannya perlu menysuaikan diri dengan Muhammadiyah tanpa harus mematikan daya kreatifitas dan kekritisannya, terlebih tongkat ini harus berdaya guna tidak hanya sebagai penopang tubuh ’sang ayah’ yang tengah berusia 100 tahun, namun ia harus mampu menjadi penjaga saat ’sang ayah’ harus berjalan digelapnya malam atau remang-remangnya lampu jalanan yang dapat membantu langkah kakinya agar tidak terantuk batu, menginjak duri atau tersandung kedalam lubang, meski penglihatannya masih baik, dalam hal ini IMM kiranya harus mampu lebih tajam membaca kodisi masyarakat saat ini yang sangat cepat mengalami perubahan, perubahan-perubahan masyarakat dapat mudah terlihat gambaranya  melalui tingkah laku dan gaya hidup serta cara berfikir mahasiswa dikampus yang sangat bersentuhan dengan IMM sehingga baik IMM maupaun Muhammadiyah akan lebh reaktif dalam bergerak. Gerakan yang diharapkan muncul adalah gerakan yang cepat dan tepat.
Cepatnya gerakan atau respon dan ketepatannya bukan suatu hal yang dapat diperoleh melalui sekedar mengikuti pelatihan atau kursus singkat, namun dalam hal ini sangat diperlukan pembiasaan, lebih tepatnya pembiasaan dari suatu pengetahuan dan dasar yang benar. Upaya pembiasaan yang berhasil akan terlihat dari kepribadian dan akhlak yang muncul pada orang yang mengupayakan tersebut. Baik-buruknya kepribadian dan akhlak dipengaruhi pula oleh kerja akal seperti yang telah disebutkan diatas, sehingga perlu kiranya IMM yang berlandasakan Al-quran dan As-sunnah mempelajari dasar hidupnya dengan akal sehat dan cerdas, memahami makna yang tersirat didalamnya dengan hati dan keyakinan kuat pada pemberi keduanya, serta mengupayakan secara maksimal pengamalan dari apa-apa yang didapatkannya kedalam kehidupannya dan kehidupan disekitarnya.
Setelah mencoba menjadi ’tongkat’ yang kuat, serasi dan berdaya guna dengan bahan dasar kefahaman terhadap Al-quran dan As-sunnah, perlu kiranya IMM mencoba memantaskan diri sebagai ’diri’ yang diamanahi beramar ma’ruf nahyi munkar disetiap geraknya. Amar ma’ruf nahyi munkar  adalah tugas setiap umat manusia terutama umat muslim sebagai uapaya meneguhkan kedudukan mereka dihadapan Allah. Sebagaimana firman Allah SWT.:
”Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
[Q.S. Muhammad (47) : 7]
Tugas beramar ma’ruf nahyi munkar akan optimal bilamana pelaksana memahami ajaran agama Islam terlebih dahulu sebagai modal utama. Ajaran agama Islam merupakan ilmu yang tiada pernah ada habisnya meskipun seiring berjalannya waktu ilmu tersebut akan terkikis secara perlahan, bahkan tertutup atau terhalang oleh pengikutnya sendiri seperti yang pernah dinyatakan oleh Imam Al-Ghazali. Ilyas (2009), mengelompokkan ilmu menjadi dua bagian. Pertama, ilmu-ilmu kealaman (al-’ulum al-kauniyah), baik eksak maupun sosial yang secara dikotomis disebut ilmu umum. Kedua, ilmu-ilmu kewahyuan (al-’ulum al-qauliyah) yang lagi-lagi secara dikotomis disebut ilmu-ilmu agama. Islam mewajibkan kepada umatnya untuk menuntut kedua macam ilmu tersebut. Namun sifat wajibnya ada yang ’aini (kewajiban individual) dan ada yang kifayah (kewajiban kolektif). Mempelajari segala sesuatu sebatas mengenal kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan bagi seorang Muslim hukumnya fardhu’ain.
Melihat hukum menuntut ilmu tersebut maka IMM maupun Muhamadiyah sebgai firqoh (golongan kaum muslimin) memiliki kewajiban tersendiri, begitu pula setiap anggota IMM maupun Muhammadiyah masing-masing memiliki kewajiban individu. IMM sebagai firqoh perlu menguatkan perannya sebagai pemenuhan kebutuhan masyrakat atau umat secara luas dan juga sebagai bentuk kepatuhan kepada perinta Allah SWT., yang terdapat dalam Q.S. At taubah:122: ”Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. Ilyas (2009), menafsirkan ayat tersebut, jihad fii sabilillah tidak diragukan lagi merupakan seutama-utama amalan. Pahalanya sangat besar. Siapa yang gugur dalam perang suci tersebut dicatat sebagai syahid dan akan masuk sorga tanpa hisab. Namun demikian, Allah tetap tidak mengizinkan semua kaum Muslimin pergi berperang tanpa ada yang tinggal mendalami ajaran agama Islam atau tafaqquh fid din. 
Mendalami ajaran agama Islam sudah jelas merupakan kewajiban umat muslim baik secara individu maupun kelompok dengan hukumnya masing-masing. Urgensi pembelajaran pendidkan agama Islam pun sudah lama terasa oleh Muhammadiyah karena hal tersebut merupakan suatu kebuthan yang mendasar pula. Muhammadiyah pernah dan masih memilki gerakan jama’ah dan dakwah jama’ah (GJDJ) yang diharap dapat terus memperpanjang dan memperluas gerakan pemurnian aqiedahnya. GJDJ memulai proses pembeljarannya dengan perlahan menanamkan pokok-pokok ajaran Islam yang meliputi empat aspek:
1.  Aqiedah: Aspek keyakinan terhadap Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para nabi dan rosul, hari akhir dan taqdir.
2. Ibadah: segala caradan upacara pengabdian kepada Allah (ritual) yang telah diperintahkan dan diatur tata cara pelaksanaannya dalam Al-quran dan sunnah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
3. Akhlaq: Nilai dan perilaku baik harus diikuti perilaku sabar, syukur, tawakkal, berbakti kepada kedua orang tua, berani dan lain sebagainya, serta nilai dan perilaku buruk yang harus dijauhi seperti sombong, takabur, dengki, riya, durhaka kepada kedua orang tua dan lain sebagainya.
4. Mu’ammalah: Aspek kemasyarakatan yang mengatur pergaulan hidup manusia di atas bumi, baik tentang harta benda, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antara negara dan lain-lain sebagainya.(Ilyas, 2009).
Gerakan ini kini memudar bahkan tergantikan dengan beragam persoalan-persoalan lain, dapat sedikit dimaklumi ketika GJDJ tergeser karena mungkin Muhammadiyah harus berupaya keras dulu untuk mengadaptasikan metode ini kepada masyarakat luas, namun yang disayangkan adalah ketika gerakan ini tergeser oleh kepentingan internal. Begitu pula IMM yang memiliki wahana yang lebih memungkinkan untuk ’bermain’ dengan GJDJ nya, namun kini tergeser oleh persoalan-persoalan internal, terlebih pada IMM yang berbasiskan anggota dari PTM yang secara kuantitas memiliki basis masa besar dan diberikan ruang gerak seluas-luasnya dalam beraktifitas IMM oleh pihak PTM, terkadang membuat IMM semakin asik dengan dirinya sendiri, bercengkrama dengan persoalan-persoalan yang dihadapi segenap anggota, sibuk dengan upaya-upaya konsolidasi kedalam yang disadari atau tidak, semakin memberi peluang bagi menguatnya rasa ketergantungan kepada lembaganya, (Pakkanna, 2007). Hal tersebut menjadikan IMM tidak mandiri dan lemah dalam melahirkan kader persyerikatan dan ditambah pula dengan hilangnya budaya GJDJ yang sebetulnya sangat dimungkinkan dapat menjadi mediator yang mampu menggawangi terlahirnya kader-kader persyerikatan maupun ikatan dan sebagai wahana yang mampu membentuk suatu keluarga yang merupakan bibit-bibit subur bagi pencapaian tujuan menciptakan masyrakat Islam yang sebenar-benarnya.
Dengan demikian, IMM yang kelahirannya merupakan suatu upaya perluasan dakwah Muhammadiyah akan mencapai kekokohan peran dan matangnya kepribadian manakala IMM bergerak beriringan dengan Muhammadiyah dengan basis keilmuannya yang disalurkan melalui ranah kemahasiswaan, kemasyarakatan dan keagamaan dengan terus dipupuk oleh keimanan pada YANG SATU serta menjadikan waktu-waktu yang dilaluinya sebagai bentuk tafaqquh fid din melalui ilmu alam dan ilmu wahyuNya, untuk kemudian meneruskan ilmu yang didapatnya kapada sebanayak-banyak umat agar generasi pembela Islam terus berkembang secara kuantitas dan kualitas, yang dengannya tujuan bersama untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya akan tercapai.
Mengaku berbangsa satu; bangsa yang mencita-citakan keadailan; Mengaku berbahsa satu; bahasa kebenaran; Mengaku bertanah air satu; tanah air tanpa penindasan.
-Ikrar IMM-
(Malang, 31 Maret 2002)
Daftar Pustaka
Al-quran.
Bidang Keilmuan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. 2007. Tri Kompetensi Dasar: Peneguhan Jati Diri Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Jakarta: Bidang Keilmuan DPP IMM, 2007.
Hartati, N., Nihayah, Z., Shaleh, A. R., Mujib, A. 2004. Islam dan Psikologi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Ilyas, Y. 2009. Cakrawala Al-quran; Tafsir Tematis Berbagai Aspek Kehidupan. Yogyakarta: Itqan Publishing.
Ilyas, Y. 2007. Tipologi Manusia Menurut Al-quran. Yogyakarta: LABDA PERSS.
Riyadi, A.A. 2008. Psikologi Sufi Al-Ghazali. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Akhir Oktober 2010 di Yogyakarta,
2:06 pm
 
