Jumat, 24 Desember 2010

Mengaku Satu (Satu Tujuan, Satu Ikatan Akademisi Islam), Meyakini YANG SATU, Menuju Ilmu yang Padu.

Anggina Oktapia Latief

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) terlahir dari rahim persyarikatan Muhammadiyah yang kehadirannya dinanti dan perjuangannya diamati. Layaknya seorang anak yang berusia 46 tahun, ia seharusnya telah mampu hidup diatas kakinya sendiri bahkan mampu menghidupi orang lain serta telah memiliki kepribadian yang matang. Sangat mungkin bagi yang berusia 46 tahun harus lebih mempersiapkan diri menjelang masa tuanya, namun tidak demikian dengan IMM, IMM tidak akan pernah tua dimakan masa, meski usianya kelak akan terus bertambah namun hal tersebut bukan menjadi alasan bagi IMM untuk rapuh dan pasarah karena ia memiliki peran penting dalam membentuk masyrakat Islam yang sebenar-benarnya yakni membentuk akademisi Islam yang berakhlaq mulia.
Akademisi Islam merupakan bagian dari kepribadian seorang muslim yang terwujud dengan optimalnya peran cipta atau ’aql. ’Aql mampu memperoleh pengetahuan melalui daya argumentatif, (Hartati, dkk., 2004). Daya argumentatif termunculkan melaui suatu proses belajar yang melibatakan pembelajar dan pengajar serta media dan metode pembelajaran. IMM sebagai gerakan intelektual perlu kiranya memaksiamalkan perannya sebagai wadah yang melahirkan akademisi-akademisi Islam melalui proses pembelajaran yang tentunya sangat dekat dengan lingkungan kader-kader IMM yakni, kampus. Kampus bagi pergerakan mahasiswa bukan hanya sekedar tempat bernaung saat menerima transfer informasi atau ilmu dari dosen atau penagajar lainnya, namun kampus dijadikan mereka sebagai tempat belajar dan mempelajari setiap sendi kehidupan yang tergambar melalui gerak-gerik dan diamnya civitas akademika, perilaku dan sikap pegawai atau karyawan serta kebijakan dan peraturan yang mengarahkan atau bahkan memenjarakan penghuni kampus itu sendiri. Sampah, asap rokok, kondisi tolilet, perpustakaan dan tempat beribadah menjadi ’bacaan’ yang menarik untuk dipelajari mahasiswa suatu pergerakan yang juga IMM termasuk didalamnya. Proses belajar tersebut menjadi wajib sebetulnya bagi setiap penghuni kampus hanya saja, masing-masing mereka tidak semua mewajibkan diri untuk terlibat belajar didalamnya. Maka, bagi IMM hal tersebut bukan merupakan himbauan atau ajakan, namun suatu kewajiban yang sangat menguntungkan agar pencapaian tujuannya tercapai dengan cepat dan tepat serta bermanfaat bagi sebanyak-banyak umat. Dengan belajarnya IMM kepada setiap apa yang ada disekitarnya, minimal kampus atau dunia mahasiswa, maka akan menjadikan potensi akalnya termaksimalkan yang kemudian memicu gerak tubuh dan gerak lisannya untuk berbuat kebaikan yang semakin banyak serta menggerakkan pintu hati untuk semakin terbuka sehingga apa yang ada didalam (hati) nya, semakin jelas ’terlihat’, -apa yang ada didalam hati- menurut Riyadi (2008) adalah ruh, ruh yang mampu memancarkan nur Allah yang dapat mengendalikan jasad fisik. Tetapi bila hati manusia penuh dengan kotoran, maka akan dapat mengelabui akal untuk selalu berbuat kejahatan. Dengan demikian hubungan hati dan akal sangat erat, sehingga tidak cukup sesorang memiliki kecerdasan intelegensi saja, namun harus dibarengi dengan kecerdasan emosi.
IMM dengan potensi sumber daya mahasisawanya harus mampu mengambil peran lebih maksimal dalam mewujudkan suatu kehidupan yang sejahtera. Pemanfaatan potensi ini dapat dimulai dengan membiasakan diri untuk bersungguh-sungguh dalam belajar dibangku kuliha yang kemudian pembelajaran tersebut teraplikasikan dalam keseharian yang selam pembelajarannya beriringan dengan interaksi diri terhadap lingkungan sekitar yang meliputi lingkungan sosial dan non sosial yang akan semakin mempercepat pencapaian proses pembelajaran pada hasil yang maksimal. Mahasiswa Muhammadiyah menjadi tongkat perjuangan persyarikatan yang tiada pernah berakhir, tongkat ini haruslah dibuat dari bahan yang kuat karena ia akan menopang amanah yang cukup berat, kekuatan ini dapat diperoleh melalui daya kritis mahsiswa pada ilmu-ilmu yang didapatkannya dari proses pembelajarannya di dunia kampus, tongkat ini pun harus memiliki ukuran yang sesuai dengan pengguna agar tidak malah menyulitkan saat digunakan dan jauh dari kemanfaatan, maka IMM dalam pergerakkannya perlu menysuaikan diri dengan Muhammadiyah tanpa harus mematikan daya kreatifitas dan kekritisannya, terlebih tongkat ini harus berdaya guna tidak hanya sebagai penopang tubuh ’sang ayah’ yang tengah berusia 100 tahun, namun ia harus mampu menjadi penjaga saat ’sang ayah’ harus berjalan digelapnya malam atau remang-remangnya lampu jalanan yang dapat membantu langkah kakinya agar tidak terantuk batu, menginjak duri atau tersandung kedalam lubang, meski penglihatannya masih baik, dalam hal ini IMM kiranya harus mampu lebih tajam membaca kodisi masyarakat saat ini yang sangat cepat mengalami perubahan, perubahan-perubahan masyarakat dapat mudah terlihat gambaranya melalui tingkah laku dan gaya hidup serta cara berfikir mahasiswa dikampus yang sangat bersentuhan dengan IMM sehingga baik IMM maupaun Muhammadiyah akan lebh reaktif dalam bergerak. Gerakan yang diharapkan muncul adalah gerakan yang cepat dan tepat.
Cepatnya gerakan atau respon dan ketepatannya bukan suatu hal yang dapat diperoleh melalui sekedar mengikuti pelatihan atau kursus singkat, namun dalam hal ini sangat diperlukan pembiasaan, lebih tepatnya pembiasaan dari suatu pengetahuan dan dasar yang benar. Upaya pembiasaan yang berhasil akan terlihat dari kepribadian dan akhlak yang muncul pada orang yang mengupayakan tersebut. Baik-buruknya kepribadian dan akhlak dipengaruhi pula oleh kerja akal seperti yang telah disebutkan diatas, sehingga perlu kiranya IMM yang berlandasakan Al-quran dan As-sunnah mempelajari dasar hidupnya dengan akal sehat dan cerdas, memahami makna yang tersirat didalamnya dengan hati dan keyakinan kuat pada pemberi keduanya, serta mengupayakan secara maksimal pengamalan dari apa-apa yang didapatkannya kedalam kehidupannya dan kehidupan disekitarnya.
Setelah mencoba menjadi ’tongkat’ yang kuat, serasi dan berdaya guna dengan bahan dasar kefahaman terhadap Al-quran dan As-sunnah, perlu kiranya IMM mencoba memantaskan diri sebagai ’diri’ yang diamanahi beramar ma’ruf nahyi munkar disetiap geraknya. Amar ma’ruf nahyi munkar adalah tugas setiap umat manusia terutama umat muslim sebagai uapaya meneguhkan kedudukan mereka dihadapan Allah. Sebagaimana firman Allah SWT.:
”Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
[Q.S. Muhammad (47) : 7]
Tugas beramar ma’ruf nahyi munkar akan optimal bilamana pelaksana memahami ajaran agama Islam terlebih dahulu sebagai modal utama. Ajaran agama Islam merupakan ilmu yang tiada pernah ada habisnya meskipun seiring berjalannya waktu ilmu tersebut akan terkikis secara perlahan, bahkan tertutup atau terhalang oleh pengikutnya sendiri seperti yang pernah dinyatakan oleh Imam Al-Ghazali. Ilyas (2009), mengelompokkan ilmu menjadi dua bagian. Pertama, ilmu-ilmu kealaman (al-’ulum al-kauniyah), baik eksak maupun sosial yang secara dikotomis disebut ilmu umum. Kedua, ilmu-ilmu kewahyuan (al-’ulum al-qauliyah) yang lagi-lagi secara dikotomis disebut ilmu-ilmu agama. Islam mewajibkan kepada umatnya untuk menuntut kedua macam ilmu tersebut. Namun sifat wajibnya ada yang ’aini (kewajiban individual) dan ada yang kifayah (kewajiban kolektif). Mempelajari segala sesuatu sebatas mengenal kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan bagi seorang Muslim hukumnya fardhu’ain.
Melihat hukum menuntut ilmu tersebut maka IMM maupun Muhamadiyah sebgai firqoh (golongan kaum muslimin) memiliki kewajiban tersendiri, begitu pula setiap anggota IMM maupun Muhammadiyah masing-masing memiliki kewajiban individu. IMM sebagai firqoh perlu menguatkan perannya sebagai pemenuhan kebutuhan masyrakat atau umat secara luas dan juga sebagai bentuk kepatuhan kepada perinta Allah SWT., yang terdapat dalam Q.S. At taubah:122: ”Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. Ilyas (2009), menafsirkan ayat tersebut, jihad fii sabilillah tidak diragukan lagi merupakan seutama-utama amalan. Pahalanya sangat besar. Siapa yang gugur dalam perang suci tersebut dicatat sebagai syahid dan akan masuk sorga tanpa hisab. Namun demikian, Allah tetap tidak mengizinkan semua kaum Muslimin pergi berperang tanpa ada yang tinggal mendalami ajaran agama Islam atau tafaqquh fid din.
Mendalami ajaran agama Islam sudah jelas merupakan kewajiban umat muslim baik secara individu maupun kelompok dengan hukumnya masing-masing. Urgensi pembelajaran pendidkan agama Islam pun sudah lama terasa oleh Muhammadiyah karena hal tersebut merupakan suatu kebuthan yang mendasar pula. Muhammadiyah pernah dan masih memilki gerakan jama’ah dan dakwah jama’ah (GJDJ) yang diharap dapat terus memperpanjang dan memperluas gerakan pemurnian aqiedahnya. GJDJ memulai proses pembeljarannya dengan perlahan menanamkan pokok-pokok ajaran Islam yang meliputi empat aspek:
1. Aqiedah: Aspek keyakinan terhadap Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para nabi dan rosul, hari akhir dan taqdir.
2. Ibadah: segala caradan upacara pengabdian kepada Allah (ritual) yang telah diperintahkan dan diatur tata cara pelaksanaannya dalam Al-quran dan sunnah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
3. Akhlaq: Nilai dan perilaku baik harus diikuti perilaku sabar, syukur, tawakkal, berbakti kepada kedua orang tua, berani dan lain sebagainya, serta nilai dan perilaku buruk yang harus dijauhi seperti sombong, takabur, dengki, riya, durhaka kepada kedua orang tua dan lain sebagainya.
4. Mu’ammalah: Aspek kemasyarakatan yang mengatur pergaulan hidup manusia di atas bumi, baik tentang harta benda, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antara negara dan lain-lain sebagainya.(Ilyas, 2009).
Gerakan ini kini memudar bahkan tergantikan dengan beragam persoalan-persoalan lain, dapat sedikit dimaklumi ketika GJDJ tergeser karena mungkin Muhammadiyah harus berupaya keras dulu untuk mengadaptasikan metode ini kepada masyarakat luas, namun yang disayangkan adalah ketika gerakan ini tergeser oleh kepentingan internal. Begitu pula IMM yang memiliki wahana yang lebih memungkinkan untuk ’bermain’ dengan GJDJ nya, namun kini tergeser oleh persoalan-persoalan internal, terlebih pada IMM yang berbasiskan anggota dari PTM yang secara kuantitas memiliki basis masa besar dan diberikan ruang gerak seluas-luasnya dalam beraktifitas IMM oleh pihak PTM, terkadang membuat IMM semakin asik dengan dirinya sendiri, bercengkrama dengan persoalan-persoalan yang dihadapi segenap anggota, sibuk dengan upaya-upaya konsolidasi kedalam yang disadari atau tidak, semakin memberi peluang bagi menguatnya rasa ketergantungan kepada lembaganya, (Pakkanna, 2007). Hal tersebut menjadikan IMM tidak mandiri dan lemah dalam melahirkan kader persyerikatan dan ditambah pula dengan hilangnya budaya GJDJ yang sebetulnya sangat dimungkinkan dapat menjadi mediator yang mampu menggawangi terlahirnya kader-kader persyerikatan maupun ikatan dan sebagai wahana yang mampu membentuk suatu keluarga yang merupakan bibit-bibit subur bagi pencapaian tujuan menciptakan masyrakat Islam yang sebenar-benarnya.
Dengan demikian, IMM yang kelahirannya merupakan suatu upaya perluasan dakwah Muhammadiyah akan mencapai kekokohan peran dan matangnya kepribadian manakala IMM bergerak beriringan dengan Muhammadiyah dengan basis keilmuannya yang disalurkan melalui ranah kemahasiswaan, kemasyarakatan dan keagamaan dengan terus dipupuk oleh keimanan pada YANG SATU serta menjadikan waktu-waktu yang dilaluinya sebagai bentuk tafaqquh fid din melalui ilmu alam dan ilmu wahyuNya, untuk kemudian meneruskan ilmu yang didapatnya kapada sebanayak-banyak umat agar generasi pembela Islam terus berkembang secara kuantitas dan kualitas, yang dengannya tujuan bersama untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya akan tercapai.

Mengaku berbangsa satu; bangsa yang mencita-citakan keadailan; Mengaku berbahsa satu; bahasa kebenaran; Mengaku bertanah air satu; tanah air tanpa penindasan.
-Ikrar IMM-
(Malang, 31 Maret 2002)


Daftar Pustaka

Al-quran.

Bidang Keilmuan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. 2007. Tri Kompetensi Dasar: Peneguhan Jati Diri Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Jakarta: Bidang Keilmuan DPP IMM, 2007.

Hartati, N., Nihayah, Z., Shaleh, A. R., Mujib, A. 2004. Islam dan Psikologi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Ilyas, Y. 2009. Cakrawala Al-quran; Tafsir Tematis Berbagai Aspek Kehidupan. Yogyakarta: Itqan Publishing.

Ilyas, Y. 2007. Tipologi Manusia Menurut Al-quran. Yogyakarta: LABDA PERSS.

Riyadi, A.A. 2008. Psikologi Sufi Al-Ghazali. Yogyakarta: Panji Pustaka.

Akhir Oktober 2010 di Yogyakarta,
2:06 pm

Sabtu, 09 Oktober 2010

Darul Arqam Madya (DAM) PC. IMM Djazman Al-Kindi Kota Yogyakarta 2010

“ Terbentuknya Kader Pemberdaya Masyarakat dalam Perspektif Pendidikan, Sosial, dan Ekonomi”

I. Dasar Pemikiran
Dinamika perkembangan zaman dengan segala problematikanya harus kita pahami agar kita tidak menjadi kekuatan pelengkap saja. Akan tetapi juga menjadi kekuatan utama dalam arus perkembangan sehingga kita dapat membentuk tatanan nilai dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan berumat.
Ghazwul fikr adalah bagian dari dinamika yang harus menjadi perhatian serius bagi kita sebagai agen kekuatan bangsa, mengingat dari sinilah benih peradaban tumbuh berkembang menjadi sesuatu yang riil. Tanpa disadari saat ini masyarakat kita terutama umat Islam hampir kalah telak dalam melawan perang pemikiran yang dilancarkan oleh musuh Islam (kaum kafir dan materialis). Masyarakat terjebak pada simbol-simbol yang bukan menjadi identitasnya.
Masyarakat berkiblat pada tata sistem nilai barat yang sesungguhnya berbeda jauh dari nilai-nilai yang seharusnya kita junjung, Islam. Dari sini dapat dikatakan bahwa umat Islam sedang mengalami split personality (kepribadian yang terpecah. Sehingga tidak heran bila kita merasa berada dalam sebuah masyarakat yang kering atau kosong. Nilai-nilai Islam yang seharusnya diyakini seolah-olah tidak mempunyai kekuatan dalam kehidupan.
Dr. Yusuf Qardhawi mengatakan sebenarnya umat Islam itu tidak lemah, melainkan hanya dilemahkan oleh mereka kaum materialis. Dari sisi kuantitas kita banyak, dari kekayaan alam kita melimpah, dari berfikir umat Islam tidak terlalu kalah. Sehingga, seperti yang dikatakan Syekh Muhammad Husen Fadullahbahwa logika kekuatan kita sedang dilemahkan dan untuk melawannya kita harus kembali meluruskan logika kekuatan masyarakat (umat Islam).
Adalah tugas manusia yang terpanggil yang mengetahui dan memiliki secercah kesadaran, kendatipun baru sedikit. Seperti cahaya bintang di tengah gelapnya malam kezhaliman global dan terpaan angin keserakahan kaum materialis. Cahaya bintang tersebut akan menerangi wilayah sekitar dan bertambah banyak, saling mendukung sehingga menjadi laskar bintang yang akan menerangi kehidupan dan akhirnya kegelapan kezhaliman dapat mengecil dan menghilang.
Ikatan mahasiswa Muhammadiyah dengan potensi dan keterbatasan kemampuan yang dimiliki harus mengambil peranan penting dan menjadi cahaya-cahaya yang dapat menerangi dan mempelopori gerakan pencerahan ini. Untuk itu langkah sekecil apapun harus dilakukan. Salah satunya dengan agenda perkaderan Darul Arqam Madya ini, kekuatan mahasiswa muhammadiyah dapat tumbuh dan akan menjadi kontribusi bagi perkembangan umat ke depan. Semoga Allah SWT menyertai langkah kita. Amin!

II. Nama Kegiatan
Darul Arqam Madya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Djazman Al-kindi Kota Yogyakarta

III. Dasar Kegiatan
1. Al Qur’an dan As Shunnah
2. Pancasila dan UUD 1945
3. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
4. Program Kerja Bidang Kader PC IMM Djazman Alkindi 2009-2010

IV. Tujuan Kegiatan
1. Membentuk kader militan yang memiliki kualitas keilmuan dan ketrampilan praksis sosial
2. Membentuk kader yang mampu memahami Islam sekaligus mampu mengaktualisasikannya dalam hidup keseharian.
3. Membangkitkan kesadaran kritis kader terhadap fenomena social yang tengah terjadi.
4. Membentuk karakter dan kepribadian serta mutu anggota hingga mencapai kulaifikasi kader IMM yang mempunyai wawasan tingkat daerah.


V. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
1. Darul Arqam Madya
Waktu : Selasa-Ahad, 19 - 24 Oktober 2010
Tempat : RUSUNAWA UAD
VI. Peserta :
1. Peserta terdiri dari seluruh PC IMM yang berkawasan di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah.
2. Pimpinan Komisariat se-IMM Djazman Al-Kindi.

VII. Bentuk dan Tema Kegiatan
1. Darul Arqam Madya
“Terbentuknya Kader Pemberdaya Masyarakat dalam Perspektif Pendidikan, Sosial, dan Ekonomi”

Materi :
1. Ideologis (Ke Islaman, Ke Muhammadiyahan, Ke IMMan)
2. Keorganisasian dan Kepemimpinan
3. Wawasan
4. Ketrampilan
5. Muatan Lokal

Pembicara dan Narasumber :
1. Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Yogyakarta
2. DPP IMM
3. DPD IMM DIY
4. Tim Instruktur DPD IMM DIY
5. Akademisi dan Praktisi yang berkompeten dalam bidangnya.

Yogyakarta, 22 Syawwal 1431 H
1 Oktober 2010 M


Lampiran 1

Pelindung : Ketua Umum PC IMM Djazman Al Kindi Kota Yogyakarta
Penanggung jawab : Bidang Kader PC IMM Djazman Al Kindi Kota Yogyakarta
Tim Materi : Tim Instruktur DPD IMM DIY

Lampiran II
SUSUNAN ACARA
WAKTU
(WIB) ACARA PENYAJI
Selasa, 19 Oktober 2010
08.00 – 12.00 Check in dan regristrasi peserta OC
13.00 – 17.00 Seleksi peserta
Pre-test SC
19.30 – 23.00 Orientasi
Ta’aruf
KOntrak belajar SC
Rabu, 20 Oktober 2010
08.00 – 10.30 Pembukaan:
Diskusi Panel “Membangun Kesadaran Kritis, Menebar Aksi Sosial” Pemateri I
10.30 – 12.00 Islam sebagai Agama Tauhid Pemateri II
12.00 – 13.00 ISHOMA
13.00 – 14.30 Membedah Pemikiran Para Tokoh Pemikir Islam Pemateri III
14.30 – 15.30 FGD SC
15.30 – 16.00 Sholat Ashar Imam of Training
16.00 – 17.30 Membedah Pemikiran dan Jejak Para Pendiri dan Tokoh Muhammadiyah Pemateri IV
17.30 – 19.30 Ishoma Imam Training
19.30 – 21.00 Revitalisasi Idiologi Gerakan Muhammadiyah Pemateri V
21.00 – 22.30 Psikologi dan Sosiologi Agama Pemateri VI
22.30 – 24.00 FGD SC
24.00 - … Istirahat tidur
Kamis, 21 Oktober 2010
Shalat Tahajud
Sholat Shubuh
Kuliah Shubuh Imam Training
05.30 – 07.00 Olah Raga OC
07.00 – 08.00 Keperluan pribadi dan makan
08.00 – 09.30 Transformasi Idiologi IMM Pemateri VII
09.30 – 11.30 Profil Kader IMM Pemateri VIII
11.30 – 12.00 Ice Breaking
12.00 – 13.00 Ishoma
13.00 – 14.30 Merumuskan kembali peran IMM dalam Kehidupan Ber-Islam, berMuhammadiyah dan Berbangsa Pemateri IX
14.30 – 15.30 FGD SC
15.30 – 16.00 Sholat Ashar
16.00 – 17.30 Perkembangan Idiologi Besar Dunia dan Pengaruhnya pada Kehidupan masyarakat dan Agama Pemateri X
17.30 – 19.30 Ishoma Imam Training
19.30 – 21.00 Sosiologi dan Antropologi Masyarakat Indonesia Pemateri XI
21.00- 22.30 Strategi Aksi Sosial dalam Masyarakat Pemateri XII
22.30 – 23.00 Refleksi
23.00 - .. Istirahat
Juma'at, 22 Oktober 2010
03.00 – 05.30 Shalat Tahajud
Sholat Shubuh
Kuliah Shubuh Imam Training
05.30 – 07.00 Olah Raga
07.00 – 08.00 Keperluan pribadi dan makan
08.00 – 09.30 Teknik Pembangunan Jaringan (Network Developing Technique) Pemateri XIII
09.30 – 11.30 Game
11.30 – 12.00 Psikologi dan Teknik Kepemimpinan Pemateri XIV
12.00 – 13.00 Penugasan SC
13.00 – 14.30 Ishoma OC
14.30 – 15.30 Studi Kawasan Instruktur, SC, OC
15.30 – 16.00 Sholat Ashar Imam of Training
16.00 – 17.30 Presentasi dan Diskusi SC
17.30 – 19.30 Ishoma OC
19.30 – 22.00 Transendensi Journey Season SC
22.00 – 01.00 Sidang Kelulusan SC
Ahad, 24 Oktober 2010
08.00 – 09.00 Pengumuman Kelulusan
Pemberian Sertifikat
Kontrak Komitmen SC
09.00 – 10.00 Penutupan OC
11.00 - .. Good Bye

Minggu, 15 Agustus 2010

Paulo Freire, Islam dan Pembebasan

Judul Buku: Paulo Freire, Islam dan Pembebasan
Penulis: Muh. Hanif. Dhakiri
Epilog: Drs. A. Muhaimin Iskandar, Msi.
Pengantar: KH. Mahfudz Ridwan, Lc.
Penerbit: Djambatan dan Penerbit Pena
Edisi: November 2000,
Tebal: (xxiii + 212) halaman.

Agama-agama bagaikan pedang bermata dua. Ia bisa tajam menohok dan mengakhiri suatu kekuasaan yang menindas, atau pada sisi yang lain, agama bisa juga dengan tajam melegalisasi serta menjadi alat penindasan suatu rejim. Sejarah umat manusia membuktikan bahwa agama melalui instrumen hegemonik, hirarkhis dan aturan ketaatannya, lebih berperan sebagai alat kekuasaan untuk melegalisasi praktek represif yang dijalankan untuk melanggengkan kekuasaannya. Hal itulah yang dituliskan oleh KH. Mahfuz Ridwan, Lc., dalam pengantarnya bahwa situasi penindasan yang mengungkung suatu masyarakat biasanya bertahan lama ketika agama mulai ditampilkan sebagai alat untuk melegitimasi situasi yang tidak manusiawi (hlm. xvii). Pesan itu pun kembali disuarakan oleh Muhaimin Iskandar dalam catatan epilognya dengan mengutip pendapat Karl Marx yang mengatakan bahwa agama adalah salah satu bentuk keterasingan manusia dari ketertindasan. Kegagalan agama untuk membawa pembebasan dari ketertindasan itu, telah menyebabkan agama menjadi candu rakyat yang tidak mampu memberikan solusi yang nyata bagi rakyat (hlm. 186).

Pendidikan yang Membebaskan

Penulis buku ini; Hanif, mencoba untuk menggali kembali hakekat keberagamaan yang seharusnya ditampilkan oleh manusia beragama. Dengan memakai cermin praktek pendidikan yang membebaskan sebagaimana dilakukan oleh Paulo Freire di Brazil pada paruh 1960-an. Menurut Freire, kala itu pendidikan di Brazil (dan mungkin masih terjadi sampai kini di banyak negeri, termasuk Indonesia) telah menjadi alat penindasan dari kekuasaan untuk membiarkan rakyat dalam keterbelakangannya dan ketidaksadarannya bahwa ia telah menderita dan tertindas. "Pendidikan gaya Bank", dimana murid menjadi celengan dan guru adalah orang yang menabung, atau memasukkan uang ke celengan tersebut (hlm. 6), adalah gaya pendidikan yang telah melahirkan kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid. Lebih lanjut dikatakan, "konsep pendidikan gaya bank juga memeliharanya (kontradiksi tersebut, pen) dan mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid" (hlm. 47). Murid hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang sesungguhnya. Inilah yang disebut Freire sebagai kebudayaan bisu (the culture of silence).

Kesadaran kritis menjadi titik tolak pemikiran pembebasan Freire. Tanpa kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh kekuasaan, tak mungkin pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep pendidikan Freire ditujukan untuk membuka kesadaran kritis rakyat itu melalui pemberantasan buta huruf dan pendampingan langsung dikalangan rakyat tertindas. Upaya membuka kesadaran kritis rakyat itu, dimata kekuasaan rupanya lebih dipandang sebagai suatu "gerakan politik" ketimbang suatu gerakan yang mencerdaskan rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire diusir oleh pemerintah untuk meninggalkan Brazil. Pendidikan pembebasan, menurut Freire adalah pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi "masyarakat kerucut" (submerged society) kepada masyarakat terbuka (open society).

Agama (Islam) yang Membebaskan

Berdasarkan cermin Freire sebagaimana diuraikan diatas, Hanif menggali kembali hakekat Islam sebagai agama yang diturunkan Allah untuk manusia. Menurutnya, pendidikan pembebasan yang digelindingkan oleh Freire telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dalam strategi gerakan dakwah Islam menuju transformasi sosial. Gerakan dakwah pada masa Nabi dipraktekkan sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya (hlm. 12). Lebih lanjut, penulis dengan mengutip Engineer (1993:80) menuliskan bahwa Nabi, dalam kerangka dakwah Islam untuk pembebasan umat, tidak langsung menawarkan Islam sebagai sebuah ideologi yang normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia, dengan penyusunan kembali tatatan yang telah ada menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter (hlm. 12).

Lebih lanjut, Hanif memberikan penegasan yang lebih substansial lagi. Menurutnya, Islam adalah agama pembebasan karena "Islam memberikan penghargaan terhadap manusia secara sejajar, mengutamakan kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan, mengajarkan berkata yang hak dan benar, dan mengasihi yang lemah dan tertindas" (hlm. 14). Dengan mengutip ayat-ayat Al Qur'an, diantaranya "...Kami bermaksud memberikan karunia kepada orang-orang tertindas di bumi. Kami akan menjadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi..." (QS. 28:5), penulis menegaskan bahwa asal usul diturunkannya Islam (dan juga rasul-rasul) adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu ketertindasan dan ketidaksadaran (hlm 109-112).

Pengasan yang berikut adalah perihal ibadah. Disebutkan bahwa antara ibadah ritual yang vertikal (hablun mina Allah) seperti sholat, puasa dan haji, dan ibadah sosial (hablun mina an-naas) haruslah dijalankan secara seimbang. Kekhawatiran (atau lebih tepat; keprihatinan) bahwa ketimpangan pelaksanaan kedua bentuk ibadah itu dijalankan di Indonesia diguratkan secara jelas oleh penulis, "Gejala ini nampak pada umat Islam di Indonesia, yang rata-rata&emdash;bangga dan merasa telah menjadi muslim sejati apabila telah melakukan &endash;dengan aktif&emdash;ibadah-ibadah ritual. Bukankah di Indonesia, umat lebih bangga melaksanakan haji lima kali daripada haji satu kali ditambah dengan mendermakan hartanya yang lain untuk kepentingan umat yang lain? Sementara sebagian orang melaksanakan haji hinggal lima kali, sebagian (besar) yang lain terpaksa menjual keimanannya karena kemiskinan" (catatan kaki no. 9, hlm 94). Menurut Hanif, perimbangan keduanya merupakan idealitas bagi seorang muslim yang sejati.

Gerakan Pembebasan

Setelah mendapatkan basis bahwa pesan substansial Islam adalah pesan pembebasan, selanjutnya penulis memasuki suatu tataran konseptual perihal pembebasan itu sendiri. Menurutnya pembebasan haruslah dijalankan secara dialogis dan demokratis (hlm. 134). Pembebasan dilakukan dengan menjadikan rakyat sebagai subyek pembebasan, dan bukan obyek (hlm. 133). Seperti dituliskan oleh James Y.C. Yen yang juga ditulis dalam buku ini dan telah menjadi motto gerakan-gerakan pembebasan, "...Datanglah kepada rakat. Hidup bersama rakyat. Berencana bersama rakyat. Bekerja bersama rakyat. Mulailah dengan apa yang dimiliki rakyat. Ajarlah dengan contoh, belajarlah dengan bekerja. Bukan pameran, melainkan suatu sistem, bukan pendekatan cerai-berai, melainkan mengubah. Bukan pertolongan, melainkan pembebasan..." (hlm. 134). Dengan mengutip Yen, penulis memberikan pesan yang juga penting bagi gerakan pembebasan di Indonesia, bahwa pembebasan bukanlah pada upaya-upaya karikatif (atas dasar belas kasihan) dan fragmentaris (terpisah-pisah). Pembebasan harus dilakukan sebagai upaya yang transformatif dan struktural, sebagaimana dituliskan, "...yang jelas, bahwa perubahan sosial sulit tercapai hanya dengan menekankan salah satu dari dua dimensi: manusia dan struktur. Kedua-duanya harus diubah, sebab keduanya memiliki sifat ketergantungan antara satu dengan yang lain" (hlm. 139).

Penulis juga menganalisis bagaimana pembebasan itu harus dilakukan. Dalam gerakannya, Freire menekankan pendekatan politik untuk pembebasan. Pendekatan politik ini, ternyata telah mampu untuk membekali rakyat dengan analisis struktur yang mapan, dimana tali temali penindasan itu tergantung padanya. Dengan demikian, hal itu sangat memungkinkan untuk melakukan pemetaan secara tepat terhadap kekuatan rakyat untuk mencapai perubahan. Namun, kenyataan juga membuktikan bahwa kekuasaan yang menindas cenderung reaksioner, yang selanjutnya secara dini "memenggal" jalan pembebasan yang dirintis lewat pendekatan politik (hlm. 160).

Karena itu, penulis pun menganalisis pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan pendekatan kulturalnya bagi pembebasan yang lebih berupa ajakan untuk menghilangkan sekat-sekat horisontal, daripada pendekatan politis yang mengutamakan analisis kelas dan tesis anti-kekuasaan. Menurut Gus Dur, pendekatan politik akan tidak efektif dilakukan di Indonesia karena akan mendapat "pukulan balasan" dari kekuasaan yang represif (hlm. 157). Pendekatan kultural akan memunculkan kekuatan moral, yang jika dimiliki oleh jumlah cukup manusia dalam masyarakat, akan mengubah corak hidup masyarakat itu sendiri secara total (hlm. 158).

Tetapi, Hanif pun tidak mengamini secara total pendekatan kultural tersebut. Menurutnya, "...pendekatan kultural yang memberi tekanan khusus pada kekuatan moral telah terjebak dalam romantisme gerakan. Ia tidak pernah menyelesaikan secara konkrit bentuk-bentuk penindasan manusia. Sebaliknya, tanpa disadari, ia telah memberi peluang kaum penindas untuk menyempurnakan kerja penindasan" (hlm. 161).

Karena itu, penulis menawarkan semacam sintesis pada kedua pendekatan itu. Menurutnya, pendekatan politik membawakan program yang berwatak sistematik, sedangkan pendekatan kultural lebih mementingkan program yang senantiasa berkembang dan tidak boleh "dibakukan" hanya dalam sebuah sistem saja (hlm. 162). Sintesis tersebut dinamakannya sebagai "pendekatan komplementer" yang sesungguhnya bertolak dari epos kenabian dalam agama-agama samawi. Gerakan pembebasan Nabi memberi petunjuk pentingnya faktor manusia dan struktur kekuasaan sebagai dua hal yang harus saling dipertimbangkan (hlm 163). Itulah konsep dasar Islam tentang perubahan sosial.

Penutup Sebagai suatu upaya untuk mengembalikan agama pada jalan pembebasan, buku ini telah memberikan wacana baru dalam khazanah pemikiran agama-agama. Tidak seperti buku-buku "kiri" pada umumnya yang memakai analisis Marxis dan Leninis, buku Muh. Hanif Dhakiri tersebut, justru memakai "jalur kanan", yaitu pendekatan teks agama, sejarah agama dan riwayat Nabi, untuk membawa pesan pembebasan yang "kiri" tersebut. Meskipun atas pendekatan "kanan"-nya tersebut, penulis malah mengkritik bukunya sendiri dalam kata pengantarnya, "Saya baru sadar jika dimensi liberatif dan waktak revolusioner Islam yang ingin saya munculkan itu ternyata berbau 'modernis', atau malah, lebih ekstrem lagi, bernuansa 'kanan'. Ini bukan soal suka atau tidak suka dengan kedua identitas tersebut, tetapi mengenai kenyataan bahwa pikiran dan gerakan keduanya tidak pernah meletakkan rakyat sebagai pemilik sejarah yang berkarya, mencipta dan dengan demikian harus terlibat dalam setiap proses sejarah" (hlm. viii).

Namun, sebagai sebuah buku yang lahir dari seorang yang bergelut di "dunia gerakan" yang berasal dari sebuah skripsi di kampus teologi Islam (IAIN Walisongo Salatiga), buku ini telah mematangkan embrio pemikiran "teologi pembebasan" dalam Islam. Hal itu rupanya ditangkap pula oleh Muhaimin Iskandar dalam epilognya, "...Agama harus melahirkan teologi yang membebaskan... Teologi pembebasan harus menjadi kekuatan tandingan bagi 'teologi konservatif' yang statis, dan menjadikannya sebagai kekuatan revolusioner melawan ketidakadilan yang seringkali diselipkan dalam struktur kemapanan doktrin-doktrin agama" (hlm. 187).

Agar timbangan buku ini benar-benar menjadi sebuah "timbangan", tentu kritik harus pula diberikan. Ada tiga kritik mendasar yang harus diberikan, baik pada buku ini, maupun pada pengarangnya. Pertama, kendatipun buku ini telah cukup memberikan dasar-dasar atau pijakan bagi Islam untuk kembali pada fitrah pembebasannya, tetapi Muh. Hanif Dhakiri belum "berani" untuk memberikan "kritik agama" yang komprehensif. Karena itu mungkin "nuansa kanan"-nya menjadi begitu kental, karena penulis hanya berkata-kata sangat sedikit (atau, hampir tidak ada, kecuali tentang pelaksanaan haji sebagaimana disebutkan diatas) perihal pelaksanaan keagamaan ataupun keislaman dalam tataran praktek, teologi dan pengorganisasiannya di Indonesia. Padahal, kritik agama itu telah "disenggol" oleh KH. Mahfudz Ridwan dalam pengantarnya, pun oleh Muhaimin Iskandar dalam epilognya.

Kedua, gerakan pembebasan adalah gerakan yang pluralis, melibatkan banyak pihak dan kelompok. Karena itu, seharusnya ketika membahas tentang suatu gerakan pembebasan, dasar-dasar pluralisme hendaknya dapat lebih ditekankan agar pada tataran praktisnya nanti tidak menimbulkan pengelompokan baru berdasarkan sentimen kelompok dan agama. Tanpa pluralisme, gerakan pembebasan cenderung akan menghasilkan suatu kelompok diktator baru yang telah dimenangkan melalui gerakan revolusioner, sebagaimana terjadi di negara-negara komunis.

Ketiga, dalam mensinstesiskan pendekatan politik dan kultural dari gerakan pembebasan yang disebutnya sebagai "pendekatan komplementer", penulis belum sampai pada tataran penjelas (deskriptif)-nya. Dalam bukunya tersebut, penulis hanya memberikan "pengesahan" bahwa pendekatan komplementer itu telah dijalankan oleh Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan diatas. Sehingga ketika memasuki bagian akhir buku ini, terasa suatu suasana yang menggantung, belum berpijak pada bumi dimana praktek penindasan itu terjadi. Mungkin, inilah buku dengan suatu proses pemikiran yang belum final.

Namun, sebagaimana dikatakan oleh penulis sendiri bahwa bukunya tersebut adalah suatu bentuk ketelanjangan pemikirannya ketika menuliskan skripsi berjudul "Al-Fikratu at-Tarbawiyyatu li-Paulo Freire fi al-Shokhafiyyati al-Islamiyyati" dengan segala kekurangannya. Karena itu, biarlah buku itu menjadi catatan evolusi pemikiran Muh. Hanif Dhakiri, yang tentunya akan dilanjutkan lagi dalam buku-bukunya kemudian.

Jumat, 13 Agustus 2010

EMOSI

Sudah lama diketahui bahwa emosi merupakan salah satu aspek berpengaruh besar terhadap sikap manusia. Bersama dengan dua aspek lainnya, yakni kognitif (daya pikir) dan konatif (psikomotorik), emosi atau yang sering disebut aspek afektif, merupakan penentu sikap, salah satu predisposisi perilaku manusia. Namun tidak banyak yang mempermasalahkan aspek emosi hingga muncul Daniel Goleman (1997) yang mengangkatnya menjadi topik utama di bukunya. Kecerdasan emosi memang bukanlah konsep baru dalam dunia psikologi. Lama sebelum Goleman (1997) di tahun 1920, E.L. Thorndike sudah mengungkap social intelligence, yaitu kemampuan mengelola hubungan antar pribadi baik pada pria maupun wanita. Thorndike percaya bahwa kecerdasan sosial merupakan syarat penting bagi keberhasilan seseorang di berbagai aspek kehidupannya.

Salah satu pengendali kematangan emosi adalah pengetahuan yang mendalam mengenai emosi itu sendiri. Banyak orang tidak tahu menahu mengenai emosi atau besikap negatif terhadap emosi karena kurangnya pengetahuan akan aspek ini. Seorang anak yang terbiasa dididik orang tuanya untuk tidak boleh menangis, tidak boleh terlalu memakai perasaan akhirnya akan membangun kerangka berpikir bahwa perasaan, memang sesuatu yang negatif dan oleh karena itu harus dihindari. Akibatnya anak akan menjadi sangat rasional, sulit untuk memahami perasaan yang dialami orang lain serta menuntut orang lain agar tidak menggunakan emosi. Salah satu definisi akurat tentang pengertian emosi diungkap Prezz (1999) seorang EQ organizational consultant dan pengajar senior di Potchefstroom University, Afrika Selatan, secara tegas mengatakan emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Sifat dan intensitas emosi biasanya terkait erat dengan aktivitas kognitif (berpikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi. Emosi adalah hasil reaksi kognitif terhadap situasi spesifik.

Emosilah yang seringkali menghambat orang tidak melakukan perubahan. Ada perasaan takut dengan yang akan terjadi, ada rasa cemas, ada rasa khwatir, ada pula rasa marah karena adanya perubahan. Hal tersebut itulah yang seringkali menjelaskan mengapa orang tidak mengubah polanya untuk berani mengikuti jalur-jalur menapaki jenjang kesuksesan. Hal ini sekaligus pula menjelaskan pula mengapa banyak orang yang sukses yang akhirnya terlalu puas dengan kondisinya, selanjutnya takut melangkah. Akhirnya menjadi orang yang gagal.

Emosi pada prinsipnya menggambarkan perasaan manusia menghadapi berbagai situasi yang berbeda. Oleh karena emosi merupakan reaksi manusiawi terhadap berbagai situasi nyata maka sebenarnya tidak ada emosi baik atau emosi buruk. Berbagai buku psikologi yang membahas masalah emosi seperti yang dibahas Atkinson (1983) membedakan emosi hanya 2 jenis yakni emosi menyenangkan dan emosi tidak menyenangkan. Dengan demikian emosi di kantor dapat dikatakan baik atau buruk hanya tergantung pada akibat yang ditimbulkan baik terhadap individu maupun orang lain yang berhubungan (Martin, 2003).

Tantangan menonjol bagi pekerja saat ini terutama adalah bertambahnya jam kerja serta keharusan untuk mengelola hal-hal berpotensi stress dan berfungsi efektif di tengah kompleksitas bisnis. Selain itu pekerja dituntut mampu menempatkan kedupan kerja dan keluarga selalu dalam posisi seimbang. Bahkan hanya soal kemampuan logika, saat ini tantangan pekerjaan juga terletak pada kemampuan berelasi dan berempati. Dalam berkata, bertindak dan mengambil keputusan, seseorang membutuhkan kecerdasan emosi yang tinggi, sehingga mampu melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain.

Emosi menjadi penting karena ekspresi emosi yang tepat terbukti bisa melenyapkan stress pekerjaan. Semakin tepat mengkomunikasikan perasaan, semakin nyaman perasaan tersebut. Ketrampilan manajemen emosi memungkinkan individu menjadi akrab dan mampu bersahabat, berkomunikasi dengan tulus dan terbuka dengan orang lain. Berbagai riset tentang emosi umumnya berkesimpulan sederhana bahwa ‘adalah penting untuk membawa emosi yang menyenangkan ke tempat kerja’. Emosi yang tadinya sering ditinggal di rumah saat berangkat kerja saat ini justru semakin perlu dilibatkan di setiap setting bisnis. Naisbitt (1997) pun dalam bukunya “High Tech, High Touch : Technology and Our Search for Meaning” mendukung pendapat ini. Dikatakannya pada situasi teknologi mewabah, justru haus akan sentuhan kemanusiaan. Perkembangan tehnologi yang luar biasa yang kini terjadi dirasakan tidak diiringi dengan perubahan sosial yang memadai. Naisbitt (1997) menyebut era saat ini sebagai ‘zona keracunan tehnologi’. Di satu sisi sangat memuja tehnologi, di sisi lain melihat ada bagian yang hilang dari tehnologi, yaitu sentuhan kemanusiaan yang kita idamkan (Martin, 2003).

Dari uraian tersebut diatas emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Sifat dan intensitas emosi biasanya terkait erat dengan aktivitas kognitif (berpikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi.

PENDIDIKAN UNTUK GENERASI ISLAM

Indonesia sarat akan sumber daya alam, baik migas dan non-migas, brunei kaya akan minyak bumi dan banyak sekali contoh-contoh lain yang bisa kita ambil. Pada dasarnya minyak bumi dan kekayaan alam lainya, akan dapat habis apabila dipakai terus-menerus dengan tanpa adanya upaya untuk pelestariannya. Apabila negera-negara kaya akan sumber daya alam tersebut sudah habis sumber daya alamnya, tentu tidak ada lagi yang dapat dijual, dan pada akhirnya mereka akan menjadi Negara miskin yang tidak punya nilai jual. Kondisi itu harus bisa di fahami oleh berbagai fihak baik di Indonesia, brunei dan Malaysia, di mana Negara-negara tersebut memiliki kekayaan alam yang cukup besar.
Saya kira dalam permasalahan ini Negara seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei memiliki karakter yang sama, di mana Negara-negara tersebut cukup memiliki sumber daya alam yang cukup besar. Mengingat yang telah disebutkan di atas bahwasanya sumber daya alam dapat habis, maka perlu sekiranya dari pemerintah masing-masing Negara tersebut untuk segera untuk memikirkan dunia pendidikan. Dunia pendidikan yang akan mengelola dan memproses sumber daya manusia menjadi berkualitas. Disamping itu SDM yang diperkirakan tidak akan pernah habis hendaknya menjadi sebuah sektor yang strategis untuk dikembangkan. Tentu kita masih ingat dengan jepang, yang mana Negara tersebut pernah di Bom Nuklir oleh sekutu, sehingga otomatis kesetabilan Negara tersebut goyah. Dalam kondisi demikian kaisar jepang tidak menanyakan kepada stafnya”berapa tentara yang masih hidup”akan tetapi menanyakan “berapa guru yang masih hidup”, dan sekarang bisa kita lihat betapa hingar-bingarnya jepang dengan kemajuan teknologinya.
Indonesia, Malaysia dan Brunei yang merupakan Negara dengan penduduk mayoritas Muslim, tentu tidak boleh melupakan system pendidikan islam bagi generasinya mudanya. Dengan potensi penduduk muslim yang besar, mestinya kita tidak akan kesulitan untuk mencetak genrasi muslim yang tangguh, yaitu generasi yang memiliki kedalaman dalam ilmu Agama dan dapat menguasai perkembangan ilmu dan teknologi. Untuk menjadi seorang generasi muslim yang berkualitas, hendaknya mampu menguasai 2 disiplin ilmu yaitu : ilmu yang sifatnya fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Kenapa harus demikian, karena 2 hal itu di dasarkan pada hakekat manusia yang bersifat ganda (dual nature), aspek fisikalnya berhubungan pada ilmu-ilmu pengetahuan yang bersifat fisikal dan tekhnikal/fardhu kifayah, sedangkan kondisi spiritualnya sebagai mana terkandung dalam istilah ruh, nafs, qalb, dan aql yang intinya berhubungan dengan ilmu inti/fardhu ain, menurut Wan Mohd Nor Wan Daud (1998:274).
Ilmu fardhu ain (ilmu agama)
Setiap manusia wajib mempelajari ilmu, ini karena merupakan inti dari sebuah ilmu pengetahuan. Menurut KH AR Fakhrudin Ketua Umum PP Muhammadiyah, yang merupakan salah satu ormas besar di Indonesia mengunkapkan bahw “bahwasanya kalau seseorang sholat, puasa dan mengerjakan amal shalih tetapi masih tetap membicarakan kejelekan orang lain dan masih suka berbuat maksiat, maka ibadahnya sifatnya masih main-main, untuk itu kegiatan ibadah umat muslim juga menjadi wahana pembelajaran, orang yang sudah beribadah dengan baik hendaknya bisa lebih baik dan berbeda dengan yang tidak ibadah.
Menurut ihkwan al-shafa mengingatkan pada akhir abab 10 akan terjadi kegagalan ilmu pengetahuan di kerenakan ilmu sekarang berlandaskan aspek keduniawian. Begitu juga dengan Al ghazali yang menekankan bahwasanya membersihkan hati adalah merupakan tugas pertama yang hendaknya dilakukan oleh pelajar dalam mencari ilmu, sedangkan untuk guru menempatkan keikhlasan sebagai kewajiban yang kedua setelah membimbing peserta didik dengan rasa simpati dan seakan-akan seperti anaknya sendiri, selain itu Nashir Al-Din Al-Thusi juga menekankan ilmu untuk mencari ridha Alloh SWT, menghilangkan kebodohan di hati, menhidupkan Agama Alloh dan melestarikan Islam melalui Amar ma’ruf nahi munkar.
Demikianlah sekelumit pentinganya landasan spiritual (ilmu agama) dalam kegiatan ilmu pengetahuan dan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social. Secara umum ilmu fardhu ain antara lain adalah sebagai berikut:
1. Al Qur’an
Dalam hal ini yang dimaksud Al Qur’an dalam pembacaannya dan interpretasinya (tafsir dan takwil), menururut Al Attas dalam Wan Mohd Nor Wan Daud (1998:275), beliau menganggap bahwa Al Qur’an adalah karya ilmiah yang mapan, dan yang tidak mudah terkena kesalahan fundamental. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ilmu tafsir adalah ilmu yang mendekati sebuah ilmu pasti, karena di dalamnya berdasarkan pada sifat-sifat dasar bahasa arab yang menjaga segala perubahan-perubahan yang tidak beraturan baik arti dan istilahnya, maupun berdasarkan pada Al Qur’an dan hadist.
2. Sunnah
Kehidupan nabi, meliputi sejarah dan risalah nabi-nabi terdahulu , hadist dan perawinya. Dalam hal ini hadis juga menjadi penjelas hukum-hukum yang ada dalam Al Qur’an.
3. Syariat
Fiqih dan hukum, terkait prinsip-prinsip dan pengamalan islam (iman, islam, ihsan). Ilmu syariat dalam pelaksanaannya dalam masyarakat harus didasarkan pada ilmu yang tepat, moderat dan adil.
4. Ilmu kalam
Tuhan, Dzat-nya, sifat-sifat, nama-nama dan perbuatannya ( At-tauhid), merupakan materi yang sangat penting untuk membentuk generasi yang muslim, kadang kita mengaku bahwa tidak ada sembahan lain kecuali Alloh SWT, akan tetapi mungkin bisa jadi tanpa sengaja manusia membuat thaghut-thaghut yang disembah.
5. Ilmu bahasa
Ilmu bahasa, terkait dengan tata bahasanya, dan sastra. Tujuannya adalah, selain untuk ketrampilan berkomunikasi dengan bahasa arab, melainkan juga ketrampilan untuk menganalisis sumber-sumber primer dalam khasanah islam, intelektual dan spiritual penting dalam bahasa arab. Menurut Ust Fathurahman Kamal, Dosen di Ma’had Ali Bin Abi Thalib UMY, kalau kita mau belajar islam dengan benar dan tersistematik, harus belajar bahasa arab.
Ilmu fardhu kifayah
Ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang sifatnya kolektif. Oleh karena itu setiap umat muslim tidak di wajibkan untuk mempelajari ilmu ini, akan tetapi seluruh mukminin akan bertanggung jawab apabila tidak ada satupun yang mempelajarinya, karena nantinya masyarakat itu sendiri yang akan merasakan akibatnya.
Dalam hal ini umat islam banyak ketinggalan dengan Negara barat, banyak sektor-sektor industry yang banyak dikuasai oleh barat, sedangkan Negara-negara muslim banyak yang ketinggalan dalam hal IPTEK dengan negera-negara di barat (eropa). Banyak sekali kita lihat barang-barang elektronik dan lainnya bukan buatan orang-orang muslim.
Sebenarnya para pemuda muslim banyak yang pandai dan bahkan lebih, namun terkadang mereka kurang mendapatkan kesempatan untuk berkarya, terkadang pula mereka yang pandai dan cerdas sering terjebak pada orientasi keduniawian saja, jadinya nilai imbal balik kepada umat muslim terhadap karya-karyanya sangat kurang. Contoh-contoh ilmu yang bersifat fardhu kifayah antara lain adalah :
1. Ilmu kemanusiaan
2. Ilmu alam
3. Ilmu hitung
4. Teknologi dan informasi
5. Perbandingan agama
6. Kebudayaan
7. Ilmu ekonomi
8. Ilmu politik
9. ilmu kesehatan
10. Ilmu linguistic, bahasa islam dan sejarah islam dan ilmu-ilmu penting lainya.
Dengan mempelajari kedua ilmu tersebut yang menjadikannya terintegrasi, sehingga para generasi muslim yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang beriman, dan berakhlak mulia. Di Indonesia ormas islam Muhammadiyah sudah menuju ke arah tersebut, dengan jalan membangun banyak sekali akses-akses pendidikan, yang nantinya diharapkan akan menjadi generasi muslim yang tangguh dan memiliki andil besar terhadap perkembangan umat islam.
oleh: sigit Wibowo

Kamis, 12 Agustus 2010

Istilah Seputar Lebaran

Di awal bulan suci Ramadhan, menjelang Iedul Fitri hingga sesudahnya, ummat muslim dan masyarakat luas di Indonesia saling berbagi ucapan dan ungkapan melalui SMS, email, telepon atau disampaikan pada saat bertemu langsung. Akan tetapi ternyata banyak yang kurang memahami apa makna berbagai macam ucapan dan ungkapan tersebut serta dari mana asal usulnya. Jadi kebanyakan cuma ikut-ikutan saja atau demi sopan santun. Sehingga kadangkala menjadi kurang tepat penggunaannya.

Misalnya, ketika memasuki bulan suci Ramadhan biasanya orang mengucapkan “marhaban ya ramadhan” yang merupakan ungkapan yang berasal dari bahasa arab artinya “selamat datang bulan suci Ramadhan”. Kalau di luar negeri, biasanya ditambahkan “ramadhan mubarak” yang artinya “bulan yang penuh berkah”. Jadi kalimat ini diucapkan dengan tujuan untuk saling berbagi suka cita menyambut kedatangan bulan suci yang penuh berkah dan biasanya diikuti ungkapan ajakan untuk berlomba dalam kebaikan.

Sebagian orang, yang mungkin lebih mengerti, memilih mengucapkan kalimat yang lebih panjang di awal dan akhir bulan Ramadhan, yaitu “allahumma taqobbal minna shiyamana, wa qiyamana, wa sujudana, wa tilawatana, wa shodaqona. Taqobbalallahu minna wa minkum kullu aamin wa antum bi khoir” yang artinya “semoga Allah SWT membalas amal ibadah kita-saya dan anda (puasa, sholat malam, sujud, tilawah AL Qur’an, shodaqoh, dll.) dengan balasan yang baik”.

Atau mengucapkan versi singkatnya “taqobbalallahu minna wa minkum” yang artinya “semoga Allah SWT menerima (amal ibadah) aku dan kalian”. Kalimat ini sering diucapkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Beberapa sahabat menambahkan ucapan ini dengan kalimat “shiyamana wa shiyamakum” yang artinya “puasaku dan puasa kalian”. Artinya ini adalah doa agar amal ibadah, terutama puasanya diterima Allah SWT.


Ungkapan Khas Indonesia

Namun ada beberapa ungkapan hanya khas dikenal di Indonesia saja (tidak dimengerti ummat muslim di negara lain). Yang paling populer adalah kalimat “minal ‘aidin wal faizin” walau berasal dari kata-kata dalam bahasa arab, namun di arab sendiri kalimat ini tidak dipahami. “Minal ‘aidin” artinya secara bebas adalah “golongan yang kembali” dan kalimat “wal faizin” artinya “golongan yang menang”. Sehingga makna ungkapan tersebut adalah doa “semoga kita semua termasuk golongan yang kembali (fitrah, suci seperti bayi) dan termasuk orang yang meraih kemenangan (melawan hawa nafsu selama bulan suci Ramadhan)”. “Minal ‘aidin wal faizin” biasanya diawali dengan kata “ja’alanallah” sehingga menjadi “ja’alanallahu minal ‘aidin wal faizin”. Artinya kurang lebih, semoga Allah menjadikan kita termasuk (golongan) orang-orang yang kembali (fitrah) dan menjadi pemenang.

Jadi, ungkapan ini merupakan budaya lokal Indonesia yang diyakini sudah cukup lama berkembang di masyarakat. Akan tetapi ternyata masih cukup banyak salah kaprah yang mengartikan “minal ‘aidin wal faizin” sebagai ucapan “mohon maaf lahir dan batin” dalam bahasa arab. Itupun penulisan transliterasinya juga sering salah ejaan misalnya kata “‘aidin” ditulis “aidzin” (dengan huruf arab “dzal” bukan “dal”) serta kata “faizin” ditulis “faidzin” dimana perbedaan satu huruf saja akan mengakibatkan perbedaan makna. Bisa dimaklumi, mungkin mereka yang tidak mengetahui ini merasa malu bertanya apa arti sebenarnya dan bagaimana cara penulisannya yang benar, karena ungkapan ini sudah sangat umum, memasyarakat dan sering digunakan dimana-mana. Kalau bertanya kok kesannya memalukan sekali, masa tidak tahu? Demikian kira-kira penyebab salah kaprah yang terus berlanjut ini

Penggunaan kalimat “minal aidin wal faizin” yang lebih sesuai makna seharusnya adalah sebagai kalimat penutup ucapan yang lebih lengkap di akhir bulan puasa: “taqabbalallahu minna wa minkum wa ja’alanallahu minal ‘aidin wal faizin” yang artinya “Semoga Allah menerima amalan-amalan yang telah saya dan anda kerjakan dan semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang kembali kepada fitrah dan orang-orang yang mendapatkan kemenangan”.


Halal bi Halal

Ungkapan lain yang juga hanya bisa dipahami oleh orang Indonesia adalah istilah “halal bi halal”. Meskipun ungkapan ini menggunakan bahasa arab, namun justru tidak dapat dimengerti oleh orang arab. Karena dari segi tata bahasa arab tidak dikenal susunan kata yang semacam ini, mirip seperti kasus ungkapan “minal ‘aidin wal faizin” yang oleh sebagian ulama dikatakan: mungkin asalnya adalah ungkapan dalam bahasa lokal yang dibahasa-arab-kan. Arti “halal bi halal” kurang lebih adalah “halal bertemu halal”. Asal usul frasa ini pun ada banyak versi dan setiap daerah di Indonesia nampaknya punya sejarah masing-masing yang berbeda.

Kalangan pesantren dan kaum santri misalnya mengatakan bahwa bersama dengan ucapan ini, kedua belah pihak sepakat untuk saling menghalalkan segala sesuatu yang semula haram diantara mereka. Atau dalam bahasa yang sederhana “saling memaafkan satu sama lain”. Ungkapan ini dianggap sangat tepat untuk mewakili budaya saling memaafkan sepanjang bulan Syawwal (setelah bulan Ramadhan). Karena agama Islam mengajarkan bahwa pada bulan suci Ramadhan semua dosa diampuni Allah SWT kecuali dosa kepada sesama ummat manusia.

Sehingga di bulan Syawwal banyak dilakukan ritual budaya “halal bi halal” yaitu berkumpulnya handai taulan untuk saling memaafkan yang umumnya diselenggarakan melalui acara yang dirayakan secara besar-besaran mengundang sebanyak-banyaknya kerabat atau kelompok-kelompok pergaulan masyarakat. Bahkan bagi kalangan pejabat/pemimpin/tokoh masyarakat dikenal istilah “open house” dimana setelah sholat Iedul Fitri para pemuka masyarakat dan seluruh anggota keluarganya bersiap diri di rumah untuk menerima kunjungan anak buah, relasi dan masyarakat umum. Tujuannya sekedar bersalam-salaman, bermaaf-maafan dan kadang-kadang juga sambil memberikan sedekah sehingga bisa menimbulkan kemacetan luar biasa

Di arab sendiri dan masyarakat Islam lain di berbagai belahan dunia, budaya dan ritual yang mirip dengan “halal bi halal” seperti di Indonesia hanya dilakukan di lingkungan keluarga besar saja serta tidak diacarakan secara khusus yang melibatkan banyak orang bahkan massa.

Sebenarnya menurut hukum syariat, pemaknaan “halal” dan “haram” di dalam hubungan kemasyarakatan ini kurang tepat. Karena sesuatu yang diberikan maafnya itu belum tentu adalah hal yang haram. Misalnya perbuatan khilaf belum tentu adalah haram sehingga perlu dihalalkan. Penggunaan istilah “halal bi halal” ini nampaknya lebih cenderung karena alasan budaya daripada syariat (hukum). Kemungkinan asalnya diilhami ritual “bersalaman” dalam prosesi “akad nikah” yang kemudian diikuti dengan kata “halal”. Sehingga sekarang ini kegiatan “halal bi halal” selain menjadi momentum untuk saling memaafkan, juga identik dengan aktivitas saling bersalam-salaman.

Kelompok masyarakat yang lebih awam umumnya mengartikan “halal bi halal” ini sebagai “saat menikmati segala yang semula diharamkan di siang hari (selama bulan suci Ramadhan) dan merayakan bersama handai taulan sambil kita saling memaafkan” yaitu makan, minum, ber-jima’ antara suami isteri. Jadi ungkapan pendek itu ternyata artinya bisa jadi panjang juga

Dari segi budaya, “halal bi halal” dimaknai sebagai kesempatan untuk silaturahim, saling memaafkan dan mempererat pertalian kekeluargaan serta kekerabatan yang ini diyakini akan mampu menciptakan keharmonisan dan meningkatkan kerukunan diantara sesama di dalam masyarakat. Upaya ini mudah dipahami karena suku bangsa Indonesia memang amat erat persaudaraannya. Sehingga momentum “halal bi halal” dipandang sebagai suatu tuntunan ajaran agama, bagian dari ritual sekaligus sarana melestarikan budaya.


Salah Kaprah

Istilah “silaturahim” sendiri paling sering digunakan pada momentum Iedul Fitri ini. Akan tetapi masih banyak orang justru salah kaprah dalam menyebutkannya menjadi “silaturahmi” yang ternyata makna kalimatnya menjadi berbeda jauh. Istilah “silaturahim” berasal dari kata dalam bahasa arab “silah” yang artinya “menyambungkan” dan “rahim” yang artinya “kasih sayang dan pengertian”. Sehingga kalimat “silaturahim” maknanya adalah “menyambungkan kasih sayang dan pengertian”.

Ini sangat berbeda dengan makna kata “silah” yaitu “menyambungkan” dan “rahmi” yang ternyata artinya “rasa nyeri pada saat seorang ibu hendak melahirkan”. Lha, kan ternyata tidak nyambung dengan maksud penggunaan kalimat ungkapan ini untuk menggambarkan aktivitas saling berkunjung untuk mempererat tali persaudaraan dan kekerabatan. Padahal justru istilah salah kaprah “silaturahmi” ini terlanjur lebih populer di tengah masyarakat

Mirip dengan salah kaprah penyebutan istilah “muhrim” untuk lawan jenis yang haram dinikahi. Padahal arti kata “muhrim” dalam bahasa arab adalah “orang yang mengharamkan (sesuatu yang sebenarnya halal, misalnya ber-jima dengan suami atau isteri)” dimana ini biasanya terjadi pada orang yang sedang mengenakan pakaian “ihram” alias yang sedang melaksanakan ibadah umrah atau haji. Istilah yang benar adalah “mahram” yang artinya “orang yang diharamkan (untuk dinikahi – menurut syariat)”. Salah satu hadist terkenal yang menggunakan istilah ini adalah “dilarang berduaan bagi pria dan wanita yang bukan mahram”. Konon di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah kaprah ini tidak (belum) diperbaiki sehingga kata “muhrim” dan “mahram” tetap diartikan sama yaitu “orang yang haram dinikahi”, padahal sebenarnya arti kedua kata tersebut berbeda.

Konon salah kaprah ini terjadi karena masalah perbedaan dialek. Rumpun bahasa melayu termasuk bahasa daerah Sunda dan Jawa yang cukup kuat pengaruhnya di tengah masyarakat, sulit di dalam mengucapkan kata-kata arab. Sehingga kata “silaturahim” dan “mahram”, karena dialek, berubahlah menjadi “silaturahmi” dan “muhrim” yang tanpa sengaja ternyata di dalam bahasa arab ada artinya juga dan berbeda makna.

Tetapi ternyata salah kaprah bukan hanya terjadi akibat penggunaan istilah serapan bahasa asing ataupun lokal, melainkan juga terjadi pada Bahasa Indonesia yang baku. Misalnya orang sering menyampaikan ucapan “Selamat hari raya Iedul Fitri”. Sebenarnya ini salah, karena yang seharusnya diberi selamat adalah “perayaannya” bukan “hari-nya”. Sehingga pengucapan yang benar adalah “Selamat (merayakan) Iedul Fitri” atau kalau di hari besar agama lain, misalnya Natal (Nasrani), adalah “Selamat (merayakan) Natal”. Kalau di hari ulang tahun adalah “Selamat ulang tahun”. Konon salah kaprah ini pernah dikoreksi oleh Pak Anton Mulyono pakar Bahasa Indonesia di TVRI sekitar 20 tahun yang lalu

Ada salah kaprah yang lainnya berkaitan dengan anjuran menyegerakan berbuka puasa, sebagaimana dijelaskan oleh Pak Hidayat Nur Wahid. Yang pada intinya, Rasulullah SAW memang manganjurkan agar segera berbuka puasa (biasanya dengan beberapa biji kurma dan air yang kadang diberi madu) sedang ketika sahur justru sebaiknya lebih lambat, yaitu menjelang waktu subuh. Akan tetapi, ucapan segera berbuka puasa itu bukan dengan ungkapan “batalkan dulu puasanya”. Karena ternyata niat “batal puasa” dengan “berbuka puasa” itu berbeda makna dan juga implikasi hukumnya. Sekalipun sudah masuk waktu berbuka puasa, tetapi kalau niatnya membatalkan puasa, maka bisa jadi batal sungguhan puasanya! Wah, padahal maksudnya adalah ingin menyegerakan berbuka puasa. Kan rugi? Jadi, istilah yang tepat untuk menganjurkan segera berbuka puasa adalah ungkapan “ayo segera berbuka puasa” bukan “batalkan dulu puasanya”.

Mengingat ternyata ada banyak salah kaprah, maka harus lebih hati-hati agar ibadah kita sempurna.


Dalil Rujukan

Kegiatan “halal bi halal” ini kemudian oleh para ulama diberikan rujukan dalil di dalam Al Quran sebagai landasan ritual budaya yang sudah mendarah daging di tengah masyarakat Indonesia tersebut. Bahkan bukan hanya menjadi monopoli ummat muslim, karena ummat agama lain juga akhirnya memanfaatkannya untuk meningkatkan dan menjaga kerukunan serta keharmonisan

Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab salah satu ayat yang sering dijadikan landasan “halal bi halal” adalah “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam) berbuat kebaikan”. (Q.S. 2:148). Titik tekan ayat di atas adalah pada berbuat kebaikan dan perilaku berorientasi nilai. Perilaku semacam ini akan mentransformasi dunia menjadi sebuah surga. Firman Allah (SWT), “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang yang meminta-minta ; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat ; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, benar (imannya) ; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. 2:177).

Berangkat dari makna “halal bi halal” tersebut, pesan universal Islam untuk selalu berbuat baik, memaafkan orang lain dan saling berbagi kasih sayang hendaknya tetap menjadi warna masyarakat Muslim Indonesia. Akhirnya, Islam di wilayah ini adalah Islam yang “rahmatan lil alamiin (rahmat bagi seluruh alam semesta)”.

Selanjutnya Prof. Dr. Quraish Shihab menerangkan dalam bukunya Lentera Hati:

Makna bentukan kata yang berasal dari “halal” antara lain berarti “menyelesaikan masalah, meluruskan benang kusut, melepaskan ikatan dan mencairkan yang beku”. Maka “halal bi halal” diterjemahkan sebagai kegiatan untuk “meluruskan benang kusut, menghangatkan hubungan yang beku sehingga cair kembali, melepaskan ikatan yang membelenggu, serta menyelesaikan masalah yang menghalangi terjalinnya keharmonisan hubungan”.

Demikianlah hubungan antar manusia, masalah bisa timbul karena kita lama tidak berkunjung atau bertegur sapa kepada seseorang, atau ada sikap adil yang kita ambil namun menyakitkan orang lain atau timbul keretakan hubungan dari salah paham akibat ucapan dan lirikan mata yang tidak disengaja. Kesemuanya ini, tidak haram menurut pandangan hukum, namun perlu diselesaikan secara baik.

Itulah makna serta substansi “halal bi halal” atau jika istilah tersebut enggan kita gunakan, katakanlah bahwa itu merupakan hakikat Iedul Fitri, sehingga semakin banyak dan seringnya kita mengulurkan tangan dan melapangkan dada dan semakin parah luka hati yang kita obati dengan memaafkan, maka semakin dalam pula penghayatan dan pengamalan kita terhadap hakikat “halal bi halal”. Bentuknya memang khas Indonesia, namun hakikatnya sesuai ajaran Islam.

Landasan lainnya yang sering digunakan adalah Al Quran surat Ali ‘Imron ayat 134-135 yang intinya diperintahkan, bagi seorang Muslim yang bertaqwa bila melakukan kesalahan, paling tidak harus menyadari perbuatannya lalu memohon ampun atas kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, mampu menahan amarah dan memaafkan dan berbuat kebajikan terhadap orang lain. Jadi tidak cukup hanya meminta maaf, tetapi harus juga diikuti perbuatan baik yang menyenangkan orang lain secara berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari dan ini berlaku kepada semua ummat manusia bukan hanya sesama muslim sehingga “halal bi halal” adalah tradisi yang merefleksikan Islam sebagai agama toleran yang mengedepankan pendekatan kerukunan dengan semua agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk saling berlomba-lomba dalam kebajikan (fastabiqul khoirot).


Ungkapan Lokal

Nah, kalau semua istilah yang telah dijelaskan tersebut berasal dari bahasa arab dan atau di-arab-arab-kan, bagaimana dengan istilah atau ungkapan yang berasal dari bahasa setempat di berbagai daerah di Indonesia? Ternyata urusannya jauh lebih pelik lagi

Salah satu istilah yang paling populer adalah “lebaran”. Berdasarkan linguistik (ilmu bahasa) ternyata tidak ada keterangan dan rujukan yang baku. Sehingga istilah “lebaran” diterima sebagai ungkapan khusus yang ada begitu saja serta hidup di dalam keseharian masyarakat luas. Kamus Besar Bahasa Indonesia pun mengartikan kata “lebaran” sebagai “hari raya ummat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawwal setelah menjalankan ibadah puasa di bulan sebelumnya (Ramadhan). Hari raya ini disebut dengan Iedul Fitri”, sedangkan “lebaran besar” adalah istilah untuk menandai hari raya Iedul Adha atau disebut juga “lebaran haji”. Tidak ada penjelasan dari mana asal usul kata ini dan apa saja rujukannya dan masyarakat juga tidak terlalu mempedulikannya.

Sebagian kelompok misalnya orang Jawa beranggapan istilah “lebaran” berasal dari ungkapan bahasa Jawa “wis bar (sudah selesai)”, maksudnya sudah selesai menjalankan ibadah puasa. Kata “bar” sendiri adalah bentuk pendek dari kata “lebar” yang artinya “selesai”. Bahasa Jawa memang suka memberikan akhiran “an” untuk suatu kata kerja. Misalnya asal kata “bubar” yang diberi akhiran “an” menjadi “bubaran” yang umumnya menjadi berkonotasi jamak. Kata “bubar” sendiri adalah bentuk populer/rendah dari kata “lebar”. Seperti diketahui Bahasa Jawa mengenal tingkatan bahasa yang berbeda dan berlaku untuk kelompok masyarakat tertentu. Kata “bubar” dan “lebar” maknanya sama, tetapi kata “bubar” digunakan oleh masyarakat awam, sedangkan kata “lebar” digunakan oleh para priyayi (bangsawan), sebagai istilah yang lebih halus/sopan.

Jadi ungkapan “wis bar” bentuk singkat ungkapan “wes bubar” yang berlaku untuk masyarakat awam. Sedang ungkapan “sampun lebar” digunakan oleh golongan masyarakat yang lebih tinggi tingkatan sosialnya. Selanjutnya kata “lebar” diserap ke dalam Bahasa Indonesia dengan akhiran “an”, sehingga menjadi istilah umum yang kita kenal sekarang yaitu “lebaran”. Artinya kurang lebih “perayaan secara bersama dengan handai taulan setelah selesai menjalankan ibadah puasa”.

Namun justru sangat jarang orang Jawa memakai istilah “lebaran” ini. Umumnya digunakan istilah “sugeng riyadin” yang artinya “selamat hari raya” sebagai suatu ungkapan sopan/halus dan “riyoyo” yang merupakan bentuk kasar/rendah-nya. Kalau kata kerja jamaknya bisa diduga menggunakan akhiran “an” yaitu “riyoyoan” alias merayakan hari raya. Selain itu ada ungkapan lain untuk menyebut “hari raya” yang maknanya sedikit berbeda yaitu “bada” yang berasal dari serapan bahasa Arab “ba’da” artinya “setelah”. Sehingga “riyoyoan” juga berarti “bada-an” yang bermakna “perayaan setelah berpuasa di bulan suci Ramadhan”. Ucapan “sugeng riyadin” biasanya kemudian diikuti dengan ungkapan permohonaan maaf “nyuwun pangaksami” (halus) atau “nyuwun pangapunten” (kasar) “sedoyo kalepatan” (segala kesalahan). Sedang kalau anak muda biasa to the point “sepurane yo” (maafkan ya).

Artinya ucapan selamat itu tidak berdiri sendiri melainkan segera diikuti ungkapan permohonan maaf yang menunjukkan kuatnya asimiliasi ajaran agama Islam ke dalam budaya perayaan Jawa tersebut. Meskipun ritual bermaaf-maafan, bersalaman, berkumpulnya kerabat dalam jumlah besar di dalam suatu acara khusus semacam “halal bi halal” ini tidak dikenal di arab dan di tempat masyarakat muslim lainnya. Di Indonesia, “halal bi halal” bahkan sudah dimulai sejak masih di lapangan atau masjid setelah sholat Ied. Bahkan sering dengan cara berbaris memutar diantara seluruh jamaah dan disertai mendendangkan syair shalawat “allahumma sholli ala muhammad, ya robbi sholli alaihi wassalim” secara bersama-sama.

Yang banyak menggunakan istilah “lebaran” justru masyarakat Betawi. Menurut mereka, istilah “lebaran” berasal dari kata “lebar” yang maknanya “luas” yaitu sebagai gambaran keluasan hati atau kelegaan setelah keberhasilan menuntaskan ibadah selama bulan suci Ramadhan dan kegembiraan dalam menyambut perayaan hari kemenangan dan karena bersilaturahim dengan sanak saudara dan handai taulan.

Orang Malaysia, ternyata juga menggunakan istilah “lebaran”, tetapi mereka juga tidak tahu dari mana asal usul istilah ini. Apakah karena meniru kebiasaan di Indonesia, ataukah memang ada keterkaitan dengan bahasa dan budaya Melayu? Sampai saat ini tidak ada rujukan, catatan atau bukti memadai yang bisa menjelaskannya.

Yang lucu adalah cerita asal usul kata “lebaran” ini menurut seorang anggota dan peserta diskusi di Detik Forum.

Ceritanya ada 2 orang berlogat Medan sedang ngobrol:

si A : Cam mana ni, makan ta boleh, minum ta boleh, bersetubuh dengan istri sendiri di siang hari tak boleh. Sempit kale kau

si B : tapi selepas bulan ini lebaran lah kau.

Jadi, mungkin arti lebaran menurut orang Medan adalah lebih lebar, lebih bebas, lebih luas.


Saling Memaafkan

Inti ekspresi budaya berupa berbagai ungkapan di atas adalah untuk melaksanakan ajaran agama yaitu agar sesama manusia saling memaafkan. Ternyata yang paling utama menurut tuntunan Rasulullah SAW, saling memaafkan justru dilakukan sesaat sebelum memasuki bulan Ramadhan. Sehingga ketika melaksanakan ibadah puasa dan amalan lainnya di bulan Ramadhan itu hati telah bersih. Itu sebabnya mengapa pentahapan di dalam ritual Ramadhan itu diawali dengan 10 hari pertama yang penuh dengan Rahmat (kasih sayang) dari Allah, karena ummatnya telah saling memaafkan dan menjalin kembali silaturahim serta melaksanakan ibadah itu bersama-sama (serentak) di seluruh dunia. Hal ini menunjukkan kebesaran Allah dan ajaran agama yang mulia ini. Kemudian dilanjutkan dengan 10 hari yang kedua penuh dengan ampunan dan ditutup 10 hari terakhir menuju pembebasan dari siksa api neraka (terutama karena berkah malam “lailatul al qodar” – kebaikan setara 1000 bulan = 83,3 tahun, yang konon kata Rasulullah terjadi pada malam-malam ganjil 10 hari terakhir terutama malam 27 dan 29 Ramadhan).

Pada prinsipnya, ibadah puasa di bulan Ramadhan itu akan dipandang sempurna apabila mampu membangkitkan kepekaan sosial, rasa empati dan kasih sayang terhadap sesama. Dimana semua itu baru bisa terlaksana apabila telah melepaskan diri dari segala penyakit hati berupa kesombongan, benci, dendam, curiga, iri, dengki, hasad, fitnah dan suudzon terhadap sesamanya. Rasulullah SAW menekankan agar di awal Ramadhan segala urusan yang bisa menjadi penyebab penyakit hati seperti hutang piutang agar dapat diselesaikan dengan saling memaafkan sehingga di akhir Ramadhan mampu menutup bulan yang indah ini dengan berbagi bersama fukara masakin, kaum dhuafa dengan mengeluarkan zakat dan merayakan Iedul Fitri bersama-sama seluruh ummat. Sungguh suatu ajaran rangkaian sikap mental dan perilaku yang sempurna.


Qiyamul Lail

10 hari terakhir bulan Ramadhan menyimpan keutamaan dan keistimewaan dibanding 20 hari sebelumnya yang tak tertandingi hikmah dan pahalanya. Rasulullah SAW mengajak ummatnya untuk memperbanyak amalan ibadah dan bahkan meninggalkan duniawi, rumah, isteri, anak, pekerjaan sejenak dilupakan dan digantikan ritual sepenuhnya taqorrub (mendekatkan diri) pada Allah SWT dengan ber’iktikaf (tinggal dan berdiam diri) di masjid sambil memaksimalkan pekerjaan amalan seperti dzikir dan tadarus (mengaji) termasuk sholat sunnah.

Di sejumlah tempat di Indonesia para ulama berinisiatif menyelenggarakan ritual tambahan yang khas dilakukan khusus pada 10 malam terakhir di bulan Ramadhan. Tradisi ritual ini disebut dengan “likuran” yang artinya “dua puluhan” dalam bahasa Jawa atau “maleman” yang artinya ibadah di malam hari. Disebut dengan “maleman” karena inti ibadah tersebut adalah sholat malam (“qiyamul lail”), terutama sholat witir. Ritual ibadah ini dilaksanakan biasanya dimulai pada tengah malam hingga saat menjelang sahur pada malam-malam tanggal ganjil yaitu malam tanggal 21, 23, 25, 27 dan 29 bulan Ramadhan.

Biasanya masjid-masjid yang menyelenggarakan sholat tarawih akan mengumumkan pada setiap malam ganjil tersebut bahwa setelah sholat tarawih tidak dilaksanakan sholat witir seperti biasanya, karena sholat witir akan diselenggarakan tersendiri di tengah malam. Sholat witir ini biasanya akan diawali dengan dzikir bersama, “taklim muawanatul hasanah” (ceramah agama) dan diantara salam antara sholat witir dibacakan doa witir dan dzikir bersama-sama dengan jamaah. Pada umumnya sholat witir ini dilaksanakan sebanyak 11 rakaat, tiap 2 rakaat ditutup salam dan 3 rakaat dengan satu salam di akhir rangkaian dengan membaca surat-surat pendek (Juz Amma). Mirip seperti sholat tarawih. Walaupun ada juga yang melaksanakan dengan jumlah rakaat lebih banyak dan membaca surat panjang hingga meng-khatam-kan Al Quran.

Disarankan bagi jamaah yang sudah terbiasa melaksanakan “qiyamul lail” seperti sholat taubat, tasbih, hajat dan tahajud agar melaksanakannya terlebih dahulu sebelum sholat witir ini. Dan yang lebih seru sebenarnya, setelah sholat witir berjamaah di tengah malam ini kemudian dilanjutkan dengan sahur bersama berlanjut hingga masuk waktu subuh. Terutama kegiatan ini diminati oleh kaum muda. Sehingga 10 malam terakhir ini akan terasa lebih semarak.


Fenomena Mudik

Aktivitas “halal bi halal” dan “lebaran” yang khas budaya Indonesia ternyata juga berkaitan erat dengan histeria massal yang nyaris sama besarnya dengan Iedul Fitri itu sendiri, yaitu MUDIK atau PULANG KAMPUNG. Sebuah kegiatan yang tak ada duanya di dunia ini. Dimana puluhan juta manusia kaum urban, tidak peduli muslim atau abangan atau bahkan non muslim, derajat kedudukan jabatan status sosialnya, kaya maupun miskin, mulai bayi sampai kakek nenek, pada satu periode waktu yang nyaris bersamaan, dengan berbagai cara berduyun-duyun berkunjung ke kampung halaman untuk satu alasan yang sama, berkumpul bersama keluarga, sanak saudara dan handai taulan serta kerabat dan tetangga.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “mudik” artinya “berlayar atau pergi ke udik (hulu sungai)”. Makna keduanya adalah “pulang ke kampung halaman”. Kata “udik” mengandung makna positif, yaitu “bagian atas sungai atau bagian kepala sungai yang dekat sumber mata air, sehingga jernih dan belum terkena polusi”. Sehingga, entah bagaimana istilah “mudik” ini bersesuaian makna dengan filosofi Iedul Fitri yaitu kembali ke “fitri” alias “jiwa yang bersih seperti bayi yang baru lahir”.

Kata “udik” juga kerap dikonotasikan dengan “bebal, bodoh, bego, kampungan” dan beberapa kata negatif sejenisnya. Namun dalam konteks Iedul Fitri pengertiannya yang lebih tepat yang mengandung makna “kejernihan, kebersihan dan kesucian”. Sehingga peristiwa mudik diartikan oleh masyarakat urban sebagai upaya spiritual untuk menyempurnakan kesucian ibadah bulan suci Ramadhan dengan menuntaskan silaturahim dan berkunjung kepada orang tua yang umumnya memang masih tinggal di kampung dan melaksanakan tradisi “sungkeman” yaitu memohon maaf kepada orang tua sambil mencium kaki atau menunduk di pangkuan Bapak dan Ibu sebagai simbolisme seorang bayi yang kembali ke dalam buaian orang tua.

Menurut budayawan Jacob Soemardjo, secara historis, mudik adalah warisan tradisi primordial di Jawa yang sudah ada sejak sebelum berdiri Kerajaan Majapahit untuk membersihkan pekuburan dan doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan untuk memohon keselamatan kampung halamannya yang rutin dilakukan sekali dalam setahun. Ritual ini disebut dengan “nyekar” atau “nyadran” yang artinya kurang lebih adalah “menaburkan bunga sambil berdoa (di atas kuburan orang tua, leluhur atau pemimpin yang dihormati – biasanya ulama atau wali)”. Sejak pengaruh Islam, tradisi ini berangsur terkikis, karena dianggap syirik (kecuali di kalangan sebagian kelompok Islam kultural, tradisi nyekar tetap bertahan dan dilaksanakan di awal bulan Ramadhan dan atau sesaat setelah sholat Ied). Namun semangat pulang kembali ke desa setahun sekali itu tetap lestari dan kembali termanifestasi pada saat momentum mudik Iedul Fitri.

Mudik adalah fenomena realitas sosial budaya dan ekonomi yang walaupun tidak ada dasar di dalam ajaran agama namun seolah telah menjadi ritual wajib. Ajang silaturahim terbesar di dunia yang hanya ada di Indonesia. Bukti nyata bahwa di negara ini azas kekeluargaan tetap hidup lestari walaupun justru sering dinafikan para pemimpin, pejabat dan wakil rakyat demi kepentingan sesaat yang sesat sehingga setiap tahun kita melihat bagaimana negara ini gagal melakukan penataan manajemen untuk melayani para pemudik secara layak, aman, nyaman dan bermartabat. Yang kita lihat selalu hanya keruwetan dan berbagai tragedi kemanusiaan yang seharusnya dapat diantisipasi sehingga tidak perlu terjadi.


Tradisi Munggahan

Selain “nyekar” atau “nyadran” ada suatu tradisi menyambut datangnya bulan suci Ramadhan yang hidup di sebagian masyarakat Jawa Tengah dan terutama Sunda. Ritual ini disebut dengan “munggahan” sebuah ungkapan yang berasal dari kata “unggah” yang artinya “mancat atau naik ke posisi/kedudukan yang lebih tinggi”. Secara etimologis kurang lebih maksudnya adalah perlambang upaya “lelaku” manusia (terutama di bulan suci Ramadhan) untuk mencapai derajat kemuliaan yang lebih tinggi di mata Tuhan .

Di dalam Kamus Umum Basa Sunda (1992), “munggah” berarti hari pertama puasa pada tanggal satu bulan Ramadan “unggah kana bulan anu punjul martabatna” yang kalau ditafsir secara kontekstual bisa berarti bulan yang luhur bermartabat dan harus dipenuhi laku lampah yang bermartabat pula. Sehingga diharapkan, setelah seseorang sukses melalui ibadah di bulan suci Ramadhan, nantinya akan menjadi sifat-sifat baik yang berlanjut di bulan-bulan berikutnya. Menjadi manusia yang bermartabat dan lebih tinggi derajat kemuliaannya.

Tradisi “munggahan” dalam manifestasinya di masa kini dilaksanakan dengan cara menyelenggarakan majelis talim mendengarkan ceramah agama dan tanya jawab sambil berkumpul, makan bersama, silaturahim sambil bermaaf-maafan. Intinya menyiapkan mental untuk menjalani berbagai macam ibadah di bulan suci. Karena itu, biasanya ceramah akan banyak mengupas dan mengulang kembali (sebagai pengingat) sisi syarat dan rukun peribadatan, filosofi dan fadlilah-nya. Mulai dari puasa itu sendiri, sholat tarawih, witir, sholat malam lainnya, zakat dan termasuk ritual budaya yang menyertainya.


Perayaan Kupatan

Tradisi lain yang tak kalah serunya adalah “kupatan”, sebuah istilah yang berasal dari kata “kupat” atau setelah di-Indonesiakan menjadi “ketupat”. Yaitu sebutan untuk makanan dari beras yang dimasukkan ke dalam kotak anyaman pelepah daun kelapa muda (janur). Makanan ini sangat mirip dengan “lontong” dimana cara membuatnya juga sama, yaitu beras dimasukkan ke dalam bungkus daun kemudian ditanak selama beberapa jam. Yang berbeda hanya bungkusnya dan juga tentu saja aromanya. Biasanya “lontong” dibungkus dengan pelepah daun pisang.

Asal-usul makanan ini konon pada jaman Wali Songo, sebagai pengganti lontong. Dibuat dari pelepah daun kelapa dan disajikan bersama masakan yang ber-santan karena diyakini pohon kelapa adalah tanaman yang sangat berguna, mulai dari batang, akar, daun, buahnya, airnya, serabutnya, batok-nya dlsb. bisa dimanfaatkan untuk kehidupan manusia. Sehingga, hendaknya manusia meniru dan memanfaatkan umurnya untuk berbuat manfaat kepada sesamanya. Selain itu bentuk ketupat yang persegi empat diyakini melambangkan rukun Islam yang ke empat yaitu berpuasa di bulan Ramadhan.

Ya, Iedul Fitri memang identik “ketupat”. Sebagai makanan yang disajikan sebagai menu utama yang disantap bersama keluarga setelah sholat Ied. Lauknya di setiap daerah berbeda-beda, namun umumnya terdiri atas opor ayam, sayur lodeh kacang, sambal goreng ati sapi dan krecek (kulit sapi) serta kadang-kadang ada semur daging atau lidah sapi serta telor ayam rebus dengan bumbu petis. Kemudian sebagai penyedap diatasnya ditaburi bawang goreng dan bubuk kacang kedelai. Lezat!

Konon kata “kupat” berasal dari ungkapan dalam bahasa Jawa yaitu “ngaku lepat” yang artinya “mengaku salah” atau “kulo lepat” yang artinya “saya (mengaku) salah”. Sehingga ada tradisi dimana orang saling berkirim hantaran ketupat dan kelengkapannya kepada tetangga sebagai simbol ungkapan pengakuan atas segala kesalahan dan permintaan maaf. Tradisi hantaran ini berbeda-beda di tiap daerah pelaksanaannya, ada yang di awal Ramadhan, sehari sebelum lebaran dan bertepatan pada hari raya setelah sholat Ied.

Namun tradisi yang paling kuat justru perayaan “kupatan” baru dilaksanakan pada hari ke-7 (tujuh) bulan Syawwal. Tradisi ini dikaitkan dengan ritual “syawwalan” yaitu merayakan penutupan puasa bulan Syawwal. Puasa di bulan Syawwal? Ya. Memang ritual ini jarang dilaksanakan dan kurang dikenal oleh ummat muslim pada umumnya. Sebenarnya sehari setelah Iedul Fitri, yaitu tanggal 2 – 7 Syawwal ummat muslim dianjurkan untuk melanjutkan berpuasa selama 6 (enam) hari berturut-turut yang disebut dengan puasa Syawwal. Konon, bagi yang melaksanakan puasa ini akan diganjar pahala dihapuskan dosa-dosanya selama 1 (satu) tahun ke depan. Barangkali hitungan totalnya seperti ini: puasa bulan Ramadhan selama 30 (tiga puluh) hari ditambah 6 (enam) hari = 36 (tiga puluh enam hari) dikalikan 10 (sepuluh) ganjaran pahala = 360 (tiga ratus enam puluh) hari atau tepat satu tahun menurut jumlah hari penanggalan masehi. Tapi, biasanya hitungan secara syariat Islam kan mengikuti penanggalan Qomariah bukan Masehi? Nah, jadi sebaiknya soal mitos hitungan pahala itu lupakan saja, laksanakan ibadah dengan niat tulus hanya karena Allah SWT semata dan bukan karena mengharapkan ganjaran yang dihitung dengan rumus macam-macam

Jadi “kupatan” atau “syawwalan” agaknya semula dimaksudkan untuk merayakan telah berakhirnya puasa sunnah pada bulan Syawwal. Barangkali itu filosofinya makanan kupat dan santan yang sama-sama berwarna putih, melambangkan semakin putihnya hati setelah menuntaskan puasa (prihatin) dan bermaaf-maafan kepada sesama.

Sebagaimana tradisi lainnya, di setiap daerah ada istilahnya masing-masing. Di Madura misalnya “kupatan” disebut dengan “tellasan topa’” yang dimeriahkan dengan tontonan pertunjukan kesenian dan ini juga terjadi di daerah lainnya.

Kesimpulannya, Indonesia ini memang sungguh negeri kaya budaya yang sangat majemuk dan saya merasa bangga sebagai seorang muslim dan sekaligus warga negara Indonesia.


Wallahualam bishowwab.

sumber: http://www.pataka.net/2008/09/29/istilah-seputar-lebaran/

Rabu, 14 Juli 2010

Info Beasiswa S2

UNIVERSITAS PARAMADINA dengan dukungan penuh dari INDIKA ENERGY dan MEDCO FOUNDATION menyediakan 15 fellowship bagi WARTAWAN atau AKTIVIS

LSM untuk mengambil S2 di Paramadina Graduate School, di bidang sbb:
(1) Strategic Finance,
(2) Islamic Business & Finance,
(3) Diplomacy,
(4) Political Communication,
(5) Corporate Communication.

Fellowship dengan nilai Rp 40 â€" 65 juta per-mahasiswa tersebut

meng-cover seluruh biaya kuliah yang dilaksanakan selama 3 semester.

Kuliah, yang dilaksanakan dalam bahasa Inggris dan Indonesia

(bilingual), dilaksanakan di Kampus Paramadina Postgraduate Schools,

di The Energy Tower, Lt 22, SCBD, Jakarta, dari Senin-Kamis, jam 19:00

â€" 21:00, sehingga tidak mengganggu karir para mahasiswa.

Untuk yang berminat mendaftar melalui jalur REGULER, biaya kuliah

adalah sbb:
(1) Strategic Finance
(2) Islamic Business & Finance
(3) Diplomacy
(4) Political Communication
(5) Corporate Communication

Terdapat berbagai skema beasiswa bagi pendaftar yang mempunyai skor

test tinggi.

Jadwal Pendaftaran adalah: 7 Juni - 16 Juli 2010

Untuk informasi lebih lengkap silakan menghubungi:
(1) Aniza mobile: 0818 0662 0749,
(2) Fiqie mobile: 0856 9444 6628,
(3) Info 24 Jam: 021-4431 7373
(4) kunjungi website: http://gradschool.paramadina.ac.id/

Demikian kami sampaikan, semoga menjadi perhatian.

Terima kasih & salam,

Humas Universitas Paramadina
Info 24 Jam: 021-4431 7373

Rabu, 07 Juli 2010

Din, terpilih kembali menjadi Ketua Umum PP Muh. 2010-2015

Yogyakarta – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengakui dirinya selalu berdimensi ganda dalam menyikapi hasil penetapannya sebagai Ketum baru untuk kedua kalinya.

“Tentu manusiawi ada sisi kebahagiaan karena amanat kepemimpinan adalah anugerah. Anugerah dari Tuhan karena mendapat kepercayaan dari orang banyak. Namun amanat ini juga sangat berat” ujarnya saat ditemui wartawan, di Sportorium Rabu (07/07/2010).

Ia juga mengungkapkan kebijakan yang dibuat nantinya bukanlah keputusan dan programnya sendiri, karena hal itu merupakan keputusan Muktamar yang akan disahkan dalam sidang pleno Muktamar. “Pemimpin hanya memimpin pelaksanaan program – program yang telah diputuskan,” jelas Din.

Disinggung mengenai hubungannya dengan pemerintah, Din mengemukakan hubungan yang proporsional dengan pemerintah karena Muhammadiyah ikut mendirikan negara yang bersifat substansi institusional. “Siapapun presidennya, Muhammadiyah tetap loyal kritis, melakukan kritik bila ada hal tak sesuai dari pemerintah karena Muhammadiyah memiliki prinsip amal ma’ruf nahi munkar.” katanya. Ia juga menambahkan bahwa Muhammadiyah tidak punya hubungan dengan partai politik manapun.

Penasehat PP Muhammadiyah, Prof. Syafii Maarif juga memprediksi bahwa cara memimpin Din Syamsuddin pada periode keduanya akan dengan cara yang berbeda,” Karena ada beberapa catatan dari Muktamar, ada catatan yang saya tahu tapi tidak mau saya sebut,”paparnya saat diwawancarai di lantai dasar gedung Rektorat UMY beberapa saat sebelum pengumuman Ketua Umum baru.

Yogyakarta – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2010-2015 dijabat oleh Prof. Dr. Din Syamsuddin. Demikian Ketua Panitia Pemilihan Drs. Rosyad Sholeh, Rabu (07/07/2010) Pukul 11.35 mengumumkan hasil rapat formatur di depan sidang Pleno Muktamar di Sportorium Univ. Muhammadiyah Yogyakarta. Paduan Suara “Setuju….! “ membahana, sesaat ketika Rosyad Soleh meminta persetujuan peserta sidang.


Setelah persetujuan itu, Rosyad Soleh kemudian mengumumkan bahwa yang menjadi Sekretaris Umum mendampingi Din Syamsuddin adalah Dr. Agung Danarto. Sekretaris umum ini tidak perlu dimintakan persetujuan dari Muktamirin, karena sifatnya hanya pemberitahuan.

Pengumuman hasil rapat formatur ini sempat mundur hingga 11.35 WIB, dari jadeal seharusnya pukul 10.00. Formatur yang berembug di gedung rektorat UMY baru menuruni tangga pukul 11.24 WIB setelah menentukan Ketua Umum dan Sekretaris Umum.

Sabtu, 19 Juni 2010

Stres dan Penanggulangannya

Hidup manusia ditandai oleh usaha-usaha pemenuhan kebutuhan, baik fisik, mental-emosional, material maupun spiritual. Bila kebutuhan dapat dipenuhi dengan baik, berarti tercapai keseimbangan dan kepuasan. Tetapi pada kenyataannya seringkali usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut mendapat banyak rintangan dan hambatan.

Tekanan-tekanan dan kesulitan-kesulitan hidup ini sering membawa manusia berada dalam keadaan stress. Stress dapat dialami oleh segala lapisan umur.

Stress dapat bersifat fisik, biologis dan psikologis. Kuman-kuman penyakit yang menyerang tubuh manusia menimbulkan stress biologis yang menimbulkan berbagai reaksi pertahanan tubuh. Sedangkan stress psikologis dapat bersumber dari beberapa hal yang dapat menimbulkan gangguan rasa sejahtera dan keseimbangan hidup.

SUMBER STRESS

Sumber stress dapat digolongkan dalam bentuk-bentuk:

1. Krisis

Krisis adalah perubahan/peristiwa yang timbul mendadak dan menggoncangkan keseimbangan seseorang diluar jangkauan daya penyesuaian sehari-hari. Misalnya: krisis di bidang usaha, hubungan keluarga dan sebagainya.

2. Frutrasi

Frustrasi adaah kegagalan dalam usaha pemuasan kebutuhan-kebutuhan/dorongan naluri, sehingga timbul kekecewaan. Frutrasi timbul bila niat atau usaha seseorang terhalang oleh rintangan-rintangan (dari luar: kelaparan, kemarau, kematian, dan sebagainya dan dari dalam: lelah, cacat mental, rasa rendah diri dan sebagainya) yang menghambat kemajuan suatu cita-cita yang hendak dicapainya.

3. Konflik

Konflik adalah pertentangan antara 2 keinginan/dorongan yaitu antara kekuatan dorongan naluri dan kekuatan yang mengenalikan dorongan-dorongan naluri tersebut.

4. Tekanan

Stress dapat ditimbulkan tekanan yang berhubungan dengan tanggung jawab yang besar yang harus ditanggungnya. (Dari dalam diri sendiri: cita-cita, kepala keluarga, dan sebagainya dan dari luar: istri yang terlalu menuntut, orangtua yang menginginkan anaknya berprestasi).

AKIBAT STRESS

Akibat stress tergantung dari reaksi seseorang terhadap stress. Umumnya stress yang berlarut-larut menimbulkan perasaan cemas, takut, tertekan, kehilangan rasa aman, harga diri terancam, gelisah, keluar keringat dingin, jantung sering berdebar-debar, pusing, sulit atau suka makan dan sulit tidur). Kecemasan yang berat dan berlangsung lama akan menurunkan kemampuan dan efisiensi seseorang dalam menjalankan fungsi-fungsi hidupnya dan pada akhirnya dapat menimbulkan berbagai macam gangguan jiwa.

REAKSI TERHADAP STRESS

Reaksi seseorang terhadap stress berbeda-beda tergantung dari:
1. Tingkat kedewasaan kepribadian
2. Pendidikan dan pengalaman hidup seseorang

Reaksi psikologis yang mungkin timbul dalam menghadapi stress:
1. menghadapi langsung dengan segala resikonya.
2. menarik diri dan tak tahu menahu tentang persoalan yang dihadapinya/lari dari kenyataan.
3. menggunakan mekanisme pertahanan diri.

PENANGGULANGAN STRESS

*

Mengenal dan menyadari sumber-sumber stress.
*

Membina kedewasaan kepribadian melalui pendidikan dan pengalaman hidup.
*

Mengembangan hidup sehat. Antara lain dengan cara: merasa cukup dengan apa yang dimilikinya, tidak tergesa-gesa ingin mencapai keinginannya, menyadari perbedaan antara keinginan dan kebutuhan, dan sebagain
*

ya.
*

Mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk segala sesuatu yang terjadi dengan tetap beriman kepadaNYa.
*

Minta bimbingan kepada sahabat dekat, orang-orang yang lebih dewasa, psikolog, orang yang dewasa rohaninya, dan sebagainya).
*

Hindarkan sikap-sikap negatif antara lain: memberontak terhadap keadaan, sikap apatis, marah-marah. Hal-hal tersebut tidak menyelesaikan masalah tetapi justru membuka masalah baru.

Selamat mencoba ..........

Kebohongan dan Popularitas

Psikolog dari Universitas Massachusetts, Amerika Serikat, Robert S. Feldman menemukan adanya hubungan antara kebohongan dan popularitas di kalangan pelajar (anak muda). Penelitian yang dilakukan Robert S. Feldman ini dimuat dalam edisi terbaru Journal of Nonverbal Behavior.

"Kami menemukan bahwa kebohongan yang dilakukan oleh pelajar sebenarnya menunjukkan bahwa pelajar tersebut memiliki kemampuan kontrol sosial yang tinggi", demikian kata Feldman.

Feldman melakukan penelitian terhadap 32 orang tua pelajar tingkat menengah dan atas yang berusia antara 11 hingga 16 tahun, dan memberikan kuesioner yang berisi tentang berbagai informasi mengenai aktivitas anak-anak mereka, hubungan sosial, serta kemampuan anak-anak mereka di sekolah. Berdasarkan atas data-data itu, para pelajar dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang memiliki tingkat sosialisasi yang rendah, dan kelompok yang memiliki tingkat sosialisasi yang tinggi. Para pelajar dalam dua kelompok tersebut diminta satu persatu untuk melakukan tes terhadap rasa yang sedap pada minuman yang manis, serta minuman masam dan minuman yang tidak sedap. Kemudian mereka diminta untuk meyakinkan para pengawas bahwa mereka menyukai atau tidak menyukai apa yang mereka minum. Ini membuat para pelajar tersebut membuat satu pernyataan yang benar dan satu pernyataan yang bohong.

Kegiatan itu direkam dalam bentuk video dan diedit secara seimbang menjadi bagian-bagian tertentu. Kepada 48 orang mahasiswa diperlihatkan rekaman ke-64 kegiatan tes itu untuk mengevaluasi efektifitas para pelajar mengekspresikan reaksi mereka saat mencicipi minuman yang disajikan dalam tes. Hasilnya ternyata bertentangan dengan tes minum yang dilakukan, umur, jenis kelamin para pelajar yang dites, dan kemampuan sosialisasi seperti yang dikatakan orang tua pra pelajar yang menjalani tes.

"Kami ingin mendapatkan bahwa kemampuan sosialisasi yang tinggi akan membuat seseorang lebih mudah memperdayakan orang lain, atau bahwa menjadi seorang pembohong besar akan membuat seseorang semakin terkenal", kata Feldman.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja adolesen lebih mampu melakukan kebohongan dibandingkan dengan remaja yang lebih muda. Remaja putri juga didapati lebih bisa melakukan kebohongan dibanding remaja pria. Pada semua tingkatan usia dan jenis kelamin, mereka yang memiliki kemampuan sosialisasi yang lebih tinggi ternyata lebih berpotesial untuk menjadi pembohong besar. Saat berbohong, mereka lebih mampu mengendalikan ekspresi wajah, gerakan tubuh, intonasi suara, serta kontak mata. Sedangkan mereka yang kurang bagus kemampuan sosialisasinya, mengalami banyak kesulitan dalam mengontrol perilakunya saat berbohong.

"Penelitian ini menunjukkan kepada kita bahwa tidak realistis jika kita selalu berharap bahwa manusia akan selalu berkata jujur. Sebenarnya kita tidak ingin menerima kenyataan ini. Anak-anak pada usia muda berpikir untuk selalu bersopan santun dan berkata manis dalam segala situasi, meskipun sebenarnya yang mereka katakan bukanlah suatu kejujuran yang sebenarnya. Dengan begitu, mereka dapat diterima dengan baik oleh lingkungannya, semakin mendapat tempat, dan semakin populer", demikian kata Feldman.

Memahami Post-Power Syndrome

Rudi, pemuda gagah berusia 23 tahun semakin hari semakin sebal saja melihat tingkah ayahnya. Bayangkan saja, siapa yang tidak sebal bila memiliki ayah yang sudah pensiun dan menganggur, tetapi bila berbicara selalu yang muluk-muluk. Ayahnya tak henti-hentinya bercerita tentang betapa hebatnya dia dulu ketika menjabat direktur utama dari sebuah perusahaan garmen di Surabaya. Seakan-akan dia tidak pernah sadar, bahwa cerita yang selalu diulang-ulangnya sudah puluhan kali keluar masuk telinga Rudi. Bila ditegur, ayahnya tidak bisa menerima dan menganggap Rudi belum berpengalaman atau masih bau kencur.

Bila teman-teman Rudi main ke rumah, ayahnya selalu memberikan "kuliah" kepada teman-temannya supaya mereka mencontoh apa yang sudah dikerjakan ayahnya. Bahkan bukan hanya di rumah, di lingkungan tetanggapun, ayah Rudi dikenal sebagai "pengobral" cerita masa lalu yang sudah usang. Akibatnya, bukan hanya Rudi saja yang jengkel, tetapi tetangganya yang sudah bosan mendengar cerita ayahnya juga langsung menyingkir begitu melihat ayah Rudi datang.

Post-power syndrome, adalah gejala yang terjadi di mana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (karirnya, kecantikannya, ketampanannya, kecerdasannya, atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini. Seperti yang terjadi kepada ayah Rudi, beliau mengalami post-power syndrome. Beliau selalu ingin mengungkapkan betapa beliau begitu bangga akan masa lalunya yang dilaluinya dengan jerih payah yang luar biasa (menurutnya).

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya post-power syndrome. Pensiun dini dan PHK adalah salah satu dari faktor tersebut. Bila orang yang mendapatkan pensiun dini tidak bisa menerima keadaan bahwa tenaganya sudah tidak dipakai lagi, walaupun menurutnya dirinya masih bisa memberi kontribusi yang signifikan kepada perusahaan, post-power syndrom akan dengan mudah menyerang. Apalagi bila ternyata usianya sudah termasuk usia kurang produktif dan ditolak ketika melamar di perusahaan lain, post-power syndrom yang menyerangnya akan semakin parah.

Kejadian traumatik juga menjadi salah satu penyebab terjadinya post-power syndrome. Misalnya kecelakaan yang dialami oleh seorang pelari, yang menyebabkan kakinya harus diamputasi. Bila dia tidak mampu menerima keadaan yang dialaminya, dia akan mengalami post-power syndrome. Dan jika terus berlarut-larut, tidak mustahil gangguan jiwa yang lebih berat akan dideritanya.

Post-power syndrome hampir selalu dialami terutama orang yang sudah lanjut usia dan pensiun dari pekerjaannya. Hanya saja banyak orang yang berhasil melalui fase ini dengan cepat dan dapat menerima kenyataan dengan hati yang lapang. Tetapi pada kasus-kasus tertentu, dimana seseorang tidak mampu menerima kenyataan yang ada, ditambah dengan tuntutan hidup yang terus mendesak, dan dirinya adalah satu-satunya penopang hidup keluarga, resiko terjadinya post-power syndrome yang berat semakin besar.

Beberapa kasus post-power syndrome yang berat diikuti oleh gangguan jiwa seperti tidak bisa berpikir rasional dalam jangka waktu tertentu, depresi yang berat, atau pada pribadi-pribadi introfert (tertutup) terjadi psikosomatik (sakit yang disebabkan beban emosi yang tidak tersalurkan) yang parah.

Penanganan

Bila seorang penderita post-power syndrome dapat menemukan aktualisasi diri yang baru, hal itu akan sangat menolong baginya. Misalnya seorang manajer yang terkena PHK, tetapi bisa beraktualisasi diri di bisnis baru yang dirintisnya (agrobisnis misalnya), ia akan terhindar dari resiko terserang post-power syndrome.

Di samping itu, dukungan lingkungan terdekat, dalam hal ini keluarga, dan kematangan emosi seseorang sangat berpengaruh pada terlewatinya fase post-power syndrome ini. Seseorang yang bisa menerima kenyataan dan keberadaannya dengan baik akan lebih mampu melewati fase ini dibanding dengan seseorang yang memiliki konflik emosi.

Dukungan dan pengertian dari orang-orang tercinta sangat membantu penderita. Bila penderita melihat bahwa orang-orang yang dicintainya memahami dan mengerti tentang keadaan dirinya, atau ketidak mampuannya mencari nafkah, ia akan lebih bisa menerima keadaannya dan lebih mampu berpikir secara dingin. Hal itu akan mengembalikan kreativitas dan produktifitasnya, meskipun tidak sehebat dulu. Akan sangat berbeda hasilnya jika keluarga malah mengejek dan selalu menyindirnya, menggerutu, bahkan mengolok-oloknya.

Post-power syndrome menyerang siapa saja, baik pria maupun wanita. Kematangan emosi dan kehangatan keluarga sangat membantu untuk melewati fase ini. Dan satu cara untuk mempersiapkan diri menghadapi post-power syndrome adalah gemar menabung dan hidup sederhana. Karena bila post-power syndrome menyerang, sementara penderita sudah terbiasa hidup mewah, akibatnya akan lebih parah.

Berita Kader

UAD MENYELENGGARAKAN DISKUSI PUBLIK DI KANTOR HARIAN KEDAULATAN RAKYAT

Thumbnail imageYogyakarta – UAD menyelenggarakan diskusi publik dalam rangka Milad UAD ke-49 bekerja sama dengan PT. PB Kedaulatan Rakyat (KR) Yogyakarta yang bertema Menggagas Pemimpin Masa aDepan. Acara yang dilaksanakan pada hari Sabtu (14/11/2009) bertempat di Aula Harian Kedaulatan Rakyat Jl. Mangkubumi 40-41 Yogyakarta. Menghadirkan. Prof. Abdul Munir Mulkhan dan Dr. Khoirudin Bashori serta mengikutsertakan Saiful Azhar Azis selaku Presiden BEM UAD sebagai pembicara.

Acara yang berlangsung pada pukul 09.00 s/d 12.00 WIB itu dibuka oleh Drs. Kasiyarno, M. Hum selaku Rektor UAD. Beliau menegaskan bahwa diskusi publik yang diadakan oleh UAD kerja sama dengan KR ini merupakan langkah awal untuk menjadikan generasi muda menjadi pemimpin yang mempunyai kualitas dan mampu memberikan yang terbaik untuk banyak orang. “Acara diskusi publik ini rencananya akan diadakan secara rutin dengan beragam tema yang menarik dan up to date”,tegas Drs. Dedi Pramono, M.Hum selaku Kepala Biro Admisi dan Akademik.

Diskusi yang dipimpin oleh Drs. Arwan Tuti Arta selaku Reporter KR sekaligus penulis ini berjalan dengan lancar. Perbincangan berlangsung dengan seru. Ketika Dr. Khoirudin Bashori menjelaskan tentang kepemimpinan (leadership) yang mempunyai jiwa revitalisasi spirit dan mempunyai kotribusi bagi masyarakat kedepannya. Perbincangan kedua tidak kalah menariknya saat Prof. Abdul Munir Mulkhan menjelaskan bagaimana pemimpin yang semakin kehilangan jiwanya di Indonesia. “Pemimpin yang menembus batas itu bisa dipelajari, tapi pemimpin itu lahir dari gerbang (kandungan) sejarah dalam dinamika kehidupan sosial”, tegas Beliau.

Selanjutnya diskusi diteruskan oleh Saiful Azhar Azis, mahasiswa Psikologi UAD sekaligus Presiden BEM UAD yang menggagas pemimpin masa depan. Acara yang dihadiri kurang lebih 150 peserta itu terdiri dari mahasiswa, siswa, dan dosen serta masyaraka umum. Respon perserta yang datang tersebut begitu antusias menanggapi masalah kepemimpinan. Terlihat ketika sesi pertanyaan dibuka, semua peserta ingin menanyakan tentang apa yang telah dijelaskan oleh para pembicara. “Saya sangat senang dengan diadakanya diskusi publik ini, mengingat Indonesia sekarang mengalami penyurutan jiwa kepemimpinan saat ini. Kegiatan seperti ini sangat penting untuk menumbuhkan jiwa pemimpin yang baru”, tutur Syaiful Azhar Azis saat ditemui di acara tersebut. (sbwh)